Review Green Book: Road Trip dan Persahabatan Antar Ras

Play Stop Rewatch
Media yang fokus membahas pop culture dan aktif di channel YouTube serta instagram.
Konten dari Pengguna
10 Februari 2019 10:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Play Stop Rewatch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Green Book (Dreamworks Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Green Book (Dreamworks Pictures)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta – Tony ‘Lip’ Vallelonga (Viggo Mortenson) tak mau mendengar kata ‘tidak’ dari Dr.Don Shirley (Mahershala Ali). Sambil menyorongkan seember ayam Kentucky Fried Chicken ke depan muka Don, Tony “memaksanya” untuk mengambil satu potong paha ayam dan memakannya. Saat itu, Don mengaku kepada Tony bahwa ia tidak pernah sekalipun memakan ayam goreng dari gerai milik Kolonel Sanders tersebut walaupun kebanyakan orang kulit hitam seperti ia menyukainya.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana cara memakannya? Tidak ada piring, pisau, ataupun garpu di sini,” ujar Don dari kursi belakang Cadillac DeVille yang disopiri Tony. “Gunakan tanganmu seperti bagaimana yang lain memakannya,” balas pria Italia tersebut yang sibuk mengunyah sambil menyetir mobil. “Aku tidak ingin ada bekas minyak di tanganku ataupun remahan ayam di selimutku,” ujar Don lagi dengan nada jijik.
Don pada akhirnya memakan ayam tersebut dengan harapan Tony berhenti memaksanya. Tidak ia sangka, usai gigitan pertama, ayam goreng tersebut ternyata memang sungguh enak. Don berakhir menghabiskannya dan bahkan memakan satu potong ayam lagi.
“Sekarang tulangnya harus aku apakan?” ujar Don usai melahap ayam yang diberikan kepadanya. Tony, dengan sigap, membuka jendela mobil dan membuang semua tulang yang ada ke jalan. “Itu yang kita lakukan,” ujar Tony dengan nada bangga. Sambil tersenyum, Don geleng-geleng kepala melihat ulah Tony dan kemudian mengikuti apa yang ia contohkan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Don belajar untuk memahami serta bersikap seperti orang kulit hitam dan bagaimana Tony mencoba untuk tidak bersikap rasis adalah kisah besar yang diusung Green Book. Film garapan sutradara komedi Peter Farelly tersebut, yang terkenal lewat seri Dumb and Dumber, mengacu pada kisah nyata perjalanan Don dan Tony untuk menyelesaikan tur musik di Amerika Selatan pada tahun 60an.
Naskah film ini sendiri digarap oleh putra Tony, Nick Vallelonga, yang sudah lama ingin mengadaptasi kisah perjalanan ayahnya dan Don. Dikutip dari situs Variety, Nick mengaku baru sekarang berani menggarap kisah perjalanan tersebut karena Don melarangnya selama bertahun-tahun. Menurut Don, kata Nick, tidak elok jika kisah perjalanannya bersama Tony digarap ketika dirinya masih hidup. Adapun Don dan Tony sama-sama meninggal dunia pada tahun 2013.
ADVERTISEMENT
Jika Don dan Tony masih hidup, mereka berhak bangga atas hasil karya Nick dan Peter karena Green Book bukanlah film yang mengecewakan. Film yang meraih nominasi Oscar untuk kategori Best Picture tersebut berhasil menyajikan kisah persahabatan yang unik dan menarik diikuti.
Adalah latar oksimoron Don dan Tony yang membuat kisah Green Book memiliki kualitas unik dan menarik tersebut. Sebagai orang kulit hitam, Don dikisahkan lebih tahu bersikap seperti bangsawan aristokrat di saat kebanyakan orang kulit hitam berjibaku dengan perlakuan rasis dan prasangka buruk. Sementara itu, Tony, merasa lebih ‘kulit hitam’ dibandingkan Don karena ia tahu bagaimana gaya hidup orang kulit hitam meski sesungguhnya ia terjebak dengan stereotip yang ia bangun sendiri.
ADVERTISEMENT
Sepanjang film, penonton akan dibawa terbahak-bahak melihat upaya Don dan Tony mempelajari satu sama lain. Misalnya, selain adegan KFC, adalah adegan Don balik mengajarkan Tony soal bagaimana menulis surat cinta yang romantis untuk istrinya, Dolores (Linda Cardellini). Sebelumnya diajarkan oleh Don, Tony hanya mampu menulis surat yang bercerita tentang apa yang dia makan, bagaimana ia mencuci baju, dan kadang-kadang betapa menyebalkanya Don.
Cerita yang menarik bukan satu-satunya hal yang menonjol dari film ini. Hal menonjol lainnya hadir dari sisi sinematografi. Cinematographer Sean Porter berhasil menampilkan visual yang memanjakan mata, terutama lewat pengambilan gambar lanskap Amerika Selatan yang kaya akan hutan, sawah, serta padang rumput hijau. Sinematografi yang apik tersebut makin komplet dengan set piece yang terasa realistis dan akurat untuk menggambarkan pedalaman Amerika Selatan di tahun 60an.
ADVERTISEMENT
Akting Viggo dan Mahershala juga patut diacungi jempol. Keduanya tampil maksimal dan menyakinkan sebagai dua orang yang sebenarnya mengalami krisis ras dan identitas. Viggo, misalnya, tampil menyakinkan sebagai seorang pria Italia tanpa memberi kesan komikal mengingat ia harus menggunakan gesture dan gaya berbicara orang Italia yang bisa berubah menjadi bencana di tangan aktor yang salah. Hal senada berlaku untuk Mahershala yang lewat gesture dan wajahnya berhasil menunjukkan konflik batin Don yang tidak bisa diterima komunitas kulit hitam maupun putih karena gaya hidupnya.
Jujur saja, sulit untuk mengkritik film ini. Secara garis besar, nyaris tidak ada yang mengecewakan. Namun, jika ditanya apa yang bisa dikembangkan, maka kisah Green Book sebenarnya bisa dieksplor secara lebih dalam lagi. Ada kalanya film ini terasa terlalu menonjolkan komedi dan lupa memberi porsi lumayan terhadap sisi drama dari konflik rasnya. Mengingat film ini digarap oleh sutradara komedi, ketimpangan itu mungkin memang tak terhindarkan sejak awal.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kekurangan tersebut, kembali bisa dikatakan bahwa Green Book bukanlah film yang mengecewakan. Eksekusinya yang jenaka, di dalam kisahnya yang drama, membuat film ini tergolong ringan untuk ditonton segala kalangan.
ANDRI | ISTMAN | VARIETY