news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Review 'Ma Rainey's Black Bottom': Persembahan Terakhir dari Chadwick Boseman

Konten Media Partner
20 Desember 2020 8:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ma Rainey's Black Bottom (Foto: Netflix)
zoom-in-whitePerbesar
Ma Rainey's Black Bottom (Foto: Netflix)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Meskipun dirinya sudah tiada, persembahan terakhir mendiang Chadwick Boseman lewat Netflix ternyata masih bisa menghibur kita di masa-masa sulit seperti sekarang. Ma Rainey's Black Bottom, disutradarai George C. Wolfe, menunjukkan betapa versatilnya seorang Chadwick Boseman sebagai aktor. Ia berhasil membuat kami tertawa, terharu, bahkan mengutuk karakternya. Namun, hal itu juga tak lepas dari apiknya naskah Ruben Santiago-Hudson yang mengadaptasi sandiwara berjudul sama karya August Wilson.
ADVERTISEMENT
Bersetting di masa Great Migration (1910s), ketika komunitas kulit hitam mulai berpindah ke Amerika Utara untuk menghindari segregasi di Selatan, film ini bercerita tentang upaya Ma Rainey (Viola Davis) dan bandnya untuk menyelesaikan album terbaru mereka. Oleh sang manajer, Irvin (Jeremy Shamos), album Ma Rainey digadang-gadangkan akan mengubah scene music Blues di Amerika Utara seiring berjalannya Great Migration.
Rekaman, sayangnya, tidak berjalan sesuai rencana. Semua bermula ketika keempat personil band Ma Rainey saling berdebat soal bagaimana musik mereka akan dibawakan. Keempat personil tersebut adalah Levee sang trumpetist (Chadwick Boseman), Cutler sang saxophonist (Colman Domingoi), Toledo sang pianist (Glynn Turman), dan Slow Drag sang bassist (Michael Potts).
Levee menjadi katalis atas konflik tersebut. Dijanjikan rekaman oleh Irvin yang menyukai aransemennya atas lagu Ma Rainey, Levee pede setengah mati bahwa dirinya akan menjadi figur sentral yang baru. Ia meminta semua anggota band untuk mengikuti gaya permainannya yang lebih "upbeat" dibandingkan aransemen original Ma Rainey.
ADVERTISEMENT
Awalnya, anggota band lainnya segan untuk mengikuti gaya Levee. Apalagi, dia figur paling muda di band. Namun, arahan Irvin agar aransemen Levee yang dipakai membuat semuanya terpaksa mengubah gaya bermain. Konflik memburuk ketika Ma Rainey mendapati musiknya diubah secara sepihak. Berusaha mempertahankan status quo di dapur rekaman, Ma Rainey mengancam akan keluar apabila aransemen tidak dikembalikan seperti semula. Ma Rainey tahu betul bahwa baik Levee maupun Irvin masih membutuhkan dirinya sebagai sumber pendapatan.
Chadwick Boseman di Ma Rainey's Black Bottom (Foto: Netflix)
Di balik kisah tersebut, Ma Rainey's Black Bottom berfokus pada tiga hal. Mereka adalah industri musik, rasialisme, dan ketuhanan. Ketiganya saling beririsan satu sama lain, menjadi tulang punggung dari keseluruhan cerita Ma Rainey's Black Bottom yang berdurasi kurang lebih 90 menit.
ADVERTISEMENT
Unsur industri musik diwakili oleh proses rekaman yang dijalani oleh Ma Rainey dan keempat personil bandanya. Selanjutnya, unsur rasialisme diperlihatkan lewat bagaimana Ma Rainey dan keempat personil bandnya bisa berakhir di dapur rekaman. Sementara itu, untuk unsur ketuhanan, diperlihatkan dari motivasi Levee bergabung ke band milik Ma Rainey.
Berada di dapur rekaman saat Great Migration adalah prestasi bagi anggota komunitas kulit hitam seperti Ma Rainey dan bandnya. Saat itu, segregasi masih berlangsung di mana warga kulit hitam diperlakukan seperti makhluk asing. Sebagai contoh, untuk kencing, mereka tidak boleh memakai toilet yang sama dengan warga kulit putih. Hal yang sama berlaku untuk industri musik di mana penyanyi kulit putih lebih mendapat keistimewaan dibanding musisi kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Bukan perkara gampang bagi Ma Rainey dan bandnya bisa mencapai titik tersebut. Mereka membutuhkan belasan tahun, tampil dari satu tenda pertunjukkan ke tenda lainnya, untuk kemudian dipandang pantas masuk ke dapur rekaman. Namun, sesampainya di titik tersebut, mereka mendapati bahwa prasangka dan rasialisme tak otomatis hilang. Mereka tetap dinilai rendah, seberapapun keuntungan yang mereka hadirkan. Bagi Ma Rainey, jika dirinya tidak melawan, maka tak ada bedanya ia bekerja di perkebunan dengan di dapur rekaman.
Di saat Ma Rainey berfokus pada mengubah status quo, motivasi Levee lebih personal. Mendapatkan kesempatan rekaman dengan band bentukannya sendiri adalah upaya pembuktian dan balas dendam. Ia ingin memperlihatkan bahwa ia bisa lebih sukses dibandingkan warga kulit putih yang pernah menyiksa keluarganya. Jika gagal, maka menurut Levee warga kulit hitam memang sudah dikutuk Tuhan untuk selalu direndahkan. Levee bahkan tidak keberatan memandang Tuhan sama "putihnya" dengan warga kulit putih kala itu karena menurut dia memang begitu adanya.
ADVERTISEMENT
"Jika Tuhan memang peduli terhadap kita, kenapa dia tidak menyelamatkan ibu ku? Dia menyebutkan nama Tuhan ketika mereka (warga kulit putih) menyiksanya, tetapi Tuhan tidak sekalipun memberikan bantuan," ujar Levee.
Meski membawa isu-isu rumit, Ma Rainey's Black Bottom tidak terjebak pada presentasi yang kelewat serius atau melodramatis. Ma Rainey's Black Bottom, dalam sebagian besar wujudnya, adalah drama komedi. Alhasil, cukup sering isu-isu rumit tersebut dibawakan lewat celetukan-celutukan jenaka atau saling saut antara Ma Rainey, Levee, dan personil band lainnya.
Bagaimana isu-isu rumit itu dipresentasikan baru berubah menjelang sepertiga terakhir film. Seiring berkembangnya konflik, interaksi antara Ma Rainey, Levee, dan karakter-karakter lainnya kian intense. Celetukan-celutukan jenaka berubah menjadi saling hina. Diskusi ketuhanan berubah menjadi penistaan. Kekerasan verbal berubah menjadi fisikal.
ADVERTISEMENT
Penonton akan dibuat serasa duduk di ujung kursi melihat bagaimana konflik itu berkembang. Sutradara Wolfe dengan apik mempermainkan penonton dengan menunjukkan berbagai hal yang bisa menjadi clue akhir film ini. Masing-masing memberikan pemahaman yang berbeda, tergantung siapa yang menonton. Lebih dari sekali kami membayangkan ending yang brutal.

Pengalaman menonton Ma Rainey's Black Bottom

Hampir mirip dengan 12 Angry Men. Seiring berjalannya cerita, film terasa makin intense dan claustrophobic. Hal itu diperkuat keputusan kedua film menggunakan set lokasi yang sempit dan terbatas. Mayoritas kisah Ma Rainey's Black Bottom hanya berlatar di dua tempat, ruang ganti dan studio rekaman, yang luas totalnya tak sampai 100 meter persegi.
Asyiknya presentasi Ma Rainey's Black Bottom tak lepas dari akting para pemainnya. Dalam hal ini, Chadwick Boseman lah yang menjadi motor utama dari film ini. Ia berhasil menunjukkan betapa versatilnya ia dalam memerankan Levee yang tak hanya songong, jenaka, dan energetik, tetapi juga rapuh dan berbahaya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Boseman tampak sangat menikmati perannya sebagai Levee. Entah apakah karena ia sadar waktunya tidak banyak, Ia berakting tanpa beban. Ia memberi nyawa dan gairah terhadap setiap adegan di mana ia memiliki peran signifikan.
Viola Davis juga tampil mengesankan. Walaupun ia tidak memiliki porsi sedominan Chadwick Boseman, dirinya tidak setengah-setengah dalam memerankan Ma Rainey. Di bawah kendali Davis, Ma Rainey adalah definisi dari swagger. Karakternya terasa powerful, stylish, dan independen, mampu menarik perhatian dari Boseman yang memiliki porsi lebih dominan. Acungan jempol juga patut diberikan ketika ia membawakan musik-musik blues dari Ma Rainey seperti Black Bottom dan Moonshine Blues.
Di luar kelebihannya, kekurangan Ma Rainey's Black Bottom lebih ke sisi musikal dan visualnya. Di sisi musikal, musik blues Ma Rainey kurang mendapat tempat di film ini. Total, hanya tiga kali karakter Ma Rainey diperlihatkan menyanyi bersama bandnya. Bahkan, musik blues relatif jarang menjadi suara latar. Ironis.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dari sisi visual, film ini terkadang bisa terasa seperti panggung sandiwara. Hal itu makin menjadi-jadi ketika para karakternya sudah mulai ber-monolog. Kami tahu bahwa film ini diangkat dari sandiwara berjudul sama, namun bukan berarti gayanya juga harus sama.
Akhir kata, Ma Rainey's Black Bottom adalah film Chadwick Boseman dari awal hingga akhir. Sutradara George C. Wolfe tidak hanya berhasil memberikan penghormatan terhadap karaktyer Ma Rainey, tetapi juga kepada Chadwick Boseman sebagai aktor. Sungguh disayangkan apabila mengingat kembali bahwa ia sudah tiada. Setidaknya, ia pergi dengan salah satu penampilan paling apik sepanjang karirnya.