Aku Rindu, Nek!

Poppy Fadhilah
Seorang mahasiswa Jurnalistik PNJ semester 5 yang sebentar lagi magang. Suka Reporting, Menulis, Fotografi, dan Kuliner. Berpengalaman bekerja lepas sebagai Reporter, Penulis, dan Fotografer sejak tahun 2015. Pernah bekerja di dunia Entertaiment.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 8:38 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Poppy Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sosok nenek adalah salah satu figur spesial bagi setiap orang. Namun, tidak semua orang dapat bertemu dengan neneknya. Hanya beberapa orang yang beruntung saja dapat bertemu dengannya. Salah satunya aku.
ADVERTISEMENT
Nenekku pandai bercerita, seperti aku. Kami sering bertukar cerita kehidupan. Nenekku lahir pada tahun 1930. Dia sering menceritakan hidupnya yang lahir di zaman penjajahan. Memilukan sekali ceritanya. Kegiatan bertukar cerita dengannya sangat menyenangkan, sayangnya kita tidak bisa sering bertemu.
Kegiatan mudik menjadi satu-satunya kesempatanku untuk bertemu dengan keluarga besar di kampung halaman. Melepas rindu yang sudah dibendung bertahun-tahun. Orang tuaku adalah perantau. Aku sendiri lahir dan besar di ibu kota.
Kampung halamanku jauh dari Jakarta. Sekitar 1.315 km jarak antara Jakarta dan Sulit Air, Sumatera Barat. Butuh uang yang tidak sedikit untuk pulang. Untuk itu, urusan mudik sendiri tidak mampu kulakukan setiap tahun.
ADVERTISEMENT
Aku lahir dari keluarga yang kecil, sederhana, dan penuh gelak tawa. Aku adalah anak tunggal. Hidup sebagai anak tunggal bukanlah suatu perkara yang selalu menyenangkan seperti kata orang. Kesepian tanpa saudara kandung kadang menjadi tamparan yang cukup menyedihkan.
Berkat nenekku yang memiliki banyak anak, aku jadi punya banyak sepupu. Nenek yang lahir pada tahun 1930, mempunyai 10 orang anak, 3 laki – laki dan 4 perempuan. Namun, 3 orang sudah meninggal dunia. Uniknya, dia memiliki 2 pasang anak kembar. Salah satunya ibuku.
Nenekku bernama Nuraini. Seorang perempuan yang sudah mulai pikun itu selalu kurindukan. Mata birunya yang jernih penuh cinta serta tangan kecil penuh keriput menjadi tempat yang hangat untuk berlabuh. Nenekku juga sangat suka mendengar aku bercerita. Dia selalu memberikan perhatian penuh dan membuatku menjadi lebih tenang. “Sudah, tidak apa! Sini nenek peluk!” katanya untuk memenangkanku.
ADVERTISEMENT
Aku teringat sewaktu kecil pernah merengek minta dibuatkan kue sapik oleh nenek. Apa daya nenekku juga sudah tidak kuat. Tapi aku tetap memaksanya untuk membuat kue itu. Maaf ya, Nek!
Nenek sangat senang mengaji. Walaupun umurnya sudah senja, dia tidak membutuhkan kacamata plus seperti orang tua kebanyakan. Suara mengajinya pun sangat merdu didengar. Membuat hati siapa saja yang mendengarnya ikut tentram. Itulah salah satu alasan aku selalu rindu padanya.
Dia sangat pandai memasak. Rendang buatan nenekku sangat istimewa. Rendang hitam yang dimasak berjam-jam di atas tungku kayu bakar. Selain rasanya yang sangat enak, rendang buatannya dapat awet berminggu-minggu. Rendang jenis ini sangat sulit ditemukan, apalagi di Jakarta. Sulit rasanya jika aku tiba-tiba rindu masakannya.
ADVERTISEMENT
Sekarang nenek dirawat oleh adik ibuku yang tinggal di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Jalan pagi menjadi hobi yang sangat disukainya. Berkat itu, nenekku selalu sehat. Selain itu, nenek sangat suka makanan ringan, seperti biskuit dan kerupuk. Walaupun sudah tidak punya gigi, nenekku tetap menyukainya.
Semoga nenek selalu sehat dan panjang umur. Terima kasih atas pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berharga dari nenek. Ceritamu, tatapanmu, pelukanmu, hingga suara mengajimu yang selalu membuat hatiku rindu. Aku selalu berharap bisa menghabiskan lebih banyak lagi waktu bersamamu. Dengan ini, kukirimkan salam rindu dari cucumu yang jauh di rantau.