Maafkan Hatiku yang Terkunci

Poppy Fadhilah
Seorang mahasiswa Jurnalistik PNJ semester 5 yang sebentar lagi magang. Suka Reporting, Menulis, Fotografi, dan Kuliner. Berpengalaman bekerja lepas sebagai Reporter, Penulis, dan Fotografer sejak tahun 2015. Pernah bekerja di dunia Entertaiment.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2020 14:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Poppy Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Tidak adakah kesempatan untukku?” ucapnya sore itu. Aku menunduk lemah, tidak sanggup menjawab. Ada sebagian perempuan yang menutup hatinya karena merasa belum siap. Salah satunya aku. Aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku akan menyesali keputusan ini?
ADVERTISEMENT
Hari itu aku liputan sebuah acara pameran karya di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Aku sebagai reporter dan temanku, Indah sebagai kameramen, melakukan banyak wawancara. Bahkan aku mengikuti sebuah pelatihan prakarya dalam acara itu untuk menambah konten liputan kami. Tanpa kusadari, di situlah semua berawal.
Aku membuat prakarya menghias sampul buku dengan teknik cetak. Kita mulai dari membuat pola di karet cetaknya, mengukilnya, hingga mencetak tinta dengan cetakan tersebut ke sampul buku. Jujur, prakarya bukan salah satu bidang keahlianku. Aku harus berjuang untuk menyelesaikannya, bahkan sampai tanganku terluka. Akupun akhirnya dibantu oleh pemandu pelatihannya. Setelah selesai, karya-karya kami diberi nama dan dikumpulkan dalam sebuah meja.
Waktu terus berjalan, akupun sudah melupakan buku karyaku. Pada suatu sore, tiba-tiba ada sebuah akun tidak dikenal menghubungiku di Instagram. Mengatakan dia mendapat kontakku dari temannya yang ternyata juga temanku. Kemudian kutahu, dia kakak tingkat di jurusanku yang menjadi pemandu pelatihan. Dia bermaksud ingin memberikan hasil karyaku. Kami pun janji bertemu di lobi lantai satu.
ADVERTISEMENT
Aku orang yang sangat terbuka, bahkan dengan orang yang baru kukenal. Obrolan kami cukup menarik, karena aku sangat senang berbincang tentang banyak hal. Kami menjadi teman kemudian. Memiliki ketertarikan dengan film dan selera humor yang sama membuat kami tidak pernah kehabisan topik bahasan. Dari situ, entah kenapa semua menjadi berbeda untuknya.
Menurutku, berteman dengan laki-laki adalah hal yang sangat biasa. Aku terbiasa berteman baik dengan laki-laki sejak kecil. Kebanyakan orang yang percaya bahwa perempuan dan laki-laki tidak pernah bisa hanya berteman. Namun, aku kurang setuju. Karena aku tidak pernah menyukai teman laki-lakiku.
Walaupun satu jurusan, kami berbeda program studi. Dia juga dua tingkat di atasku. Kenyataan ini yang membuat kami jarang sekali bertemu secara langsung. Kalau bertemu pun kami hanya bersapa singkat.
ADVERTISEMENT
Aku mendapat tiket menonton peragaan busana “Jakarta Fashion & Food Festival”. Namun ketiga sahabatku tidak bisa ikut karena ada acara 17 Agustusan di daerah rumah masing-masing. Aula hotel tempat peragaan busana dekat dari rumahku, hanya 15 menit perjalanan. Tapi, aku tidak suka pergi sendirian. Jadi, kuhubungilah dia dan kami pun janji bertemu di dekat rumahku.
Seharian itu kami banyak mengobrol. Mulai dari kehidupan kampus hingga film-film terbaru. Selesai pemotretan kami makan malam di pusat perbelanjaan yang menyatu dengan hotel tersebut.
Saat kami ingin pulang, tidak ada satupun angkutan kota (angkot) 37 yang mau berhenti. Hari semakin malam, aku mulai khawatir orang tuaku cemas. Setelah cukup lama duduk di trotoar, kami melihat angkot 37 yang cukup kosong. Sontak kami langsung berlari ke tengah jalan, mengejar angkot itu. Kami tertawa bahagia. Akhirnya bisa pulang. Malam itu, dia mnegantarku sampai depan gang rumahku, “Sudah malam, kapan-kapan saja mampirnya!” katanya.
ADVERTISEMENT
Setelah hari itu, kami menjadi lebih dekat. Walaupun jarang bertemu, tapi kami baik-baik saja. Satu dua waktu kami bermain di pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di Kota Depok. Entah sekedar berburu promo makanan atau menonton film di bioskop.
Sahabat-sahabatku, Indah, Gita, dan Mega mulai curiga ada sesuatu di antara kami. Jujur, aku memang kurang peka dengan perasaan lawan jenis. Aku punya beberapa mantan, tapi aku tidak pernah merasakan jatuh cinta. Aneh, bukan? Mereka bilang, dia suka padaku. Aku tidak tahu. Benarkah?
Waktu itu aku pergi ke Jambi untuk menghadiri pernikahan abang sepupuku. Aku sedang sibuk mempersiapkan pameran foto kala itu. Untuk mengisi ketidakhadiranku, tugas-tugas kuliah kukirimkan lewat email dan minta tolong Indah untuk mengumpulkannya.
ADVERTISEMENT
Ada tugas mencari koran, majalah, dan tabloid masing-masing 10 yang beredar di Indonesia. Apa daya di daerah rumah saudaraku tidak banyak media massa yang tersedia. Masih kuingat, dia rela malam-malam berkendara sendirian ke toko buku hanya untuk membantu tugasku. “Tidakkah dia terlalu baik?” gumamku dalam hati.
Sepulangnya aku ke Jakarta, tidak lupa kuberikan buah tangan sebagai ucapan terima kasih untuknya. Aku tahu dengan pasti, oleh-oleh yang kuberikan tidak sebanding dengan bantuan-bantuannya kala itu. Namun, dia tetap senang dan berterima kasih. Syukurlah.
Tiba saatnya mahasiswa tingkat akhir untuk studi banding ke luar kota. Angkatannya pergi ke Jogjakarta dan Bali selama beberapa hari. Terhalang sinyal, komunikasi kami menjadi sulit. Kami tidak lagi mengobrol sesering dulu. Aku tahu itu. Aku hanya diam kala itu, karena aku tidak ingin menganggu acara pentingnya.
ADVERTISEMENT
Rupanya itu menjadi petaka. Dia mulai berbeda. Dia bilang aku berubah. Padahal banyak hal yang ingin dia ceritakan. Dia tidak tahu sesibuk apa aku. Ada kegiatan yang menyita fokusku. Walaupun dia agak berubah, dia sangat berusaha bertemu denganku walau hanya sebentar. Dia tidak punya banyak waktu tersisa katanya, dia ingin segera memberikan oleh-oleh padaku.
Oleh-olehnya banyak, ada kaos, gelang, dan pie susu khas Bali. Dia tidak banyak bicara hari itu. Entah kenapa agak sedikit canggung rasanya, mungkin hanya perasaanku saja. Kami masih mengobrol, tapi ada hal yang menjadi tambah aneh. Sikapnya mulai terasa janggal. Kata-katanya mulai membingungkanku. Terkadang hanya kubaca pesan-pesannya. Aku sungguh tidak mengerti maksudnya. Sampai tidak sadar, kami telah menyakiti hati satu sama lain. Aku memutuskan untuk bertanya langsung apa maksudnya.
ADVERTISEMENT
Pulang kuliah sore itu, kami pergi ke salah satu kafe pasta di dekat kampus. Di situlah kami bercerita dari sudut pandang masing-masing. Hal yang tentunya mengejutkanku, aku tak tahu telah melangkah terlalu jauh. Aku tidak sadar ada hati yang terluka karena itu. Sebenarnya, tidak ada alasan untuk menolaknya. Dia sangat baik, cukup menyenangkan, dan cukup rajin beribadah. “Apa lagi kurangnya?” batinku.
Tapi aku sadar, bahwa aku tidak tahu caranya membuka hatiku. Aku belum siap menempatkan seseorang spesial di sisiku. Tapi aku juga takut kami tidak bisa berteman lagi. Mulutku bungkam. Tak siap menghacurkan hatinya. Namun juga tidak siap menerimanya. Hari mulai malam, aku harus ambil keputusan. “Maafkan hatiku yang masih terkunci rapat. Maafkan hatiku yang belum siap menempatkan orang spesial di sana. Ini bukan salahmu. Jangan pernah salahkan dirimu.” ujarku pelan, aku benar-benar takut akan menyesali keputusanku di kemudian hari. Akankah aku?
ADVERTISEMENT