Teater Lebih Dari Sekadar Berperan

Poppy Fadhilah
Seorang mahasiswa Jurnalistik PNJ semester 5 yang sebentar lagi magang. Suka Reporting, Menulis, Fotografi, dan Kuliner. Berpengalaman bekerja lepas sebagai Reporter, Penulis, dan Fotografer sejak tahun 2015. Pernah bekerja di dunia Entertaiment.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 8:39 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Poppy Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penampilan penari pembuka Candrasa Sabtu Siang pada Pementasan Teater Musikal "The Great Rahwana" pada Sabtu (21/9). Foto : Dokumentasi.
zoom-in-whitePerbesar
Penampilan penari pembuka Candrasa Sabtu Siang pada Pementasan Teater Musikal "The Great Rahwana" pada Sabtu (21/9). Foto : Dokumentasi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Ketika satu sama lain belajar untuk saling mencintai layaknya keluarga, saya percaya satu sama lain akan bisa memahami perbedaan perbedaan ini dan memprioritaskan satu tujuan bersama dibanding kekurangan masing-masing. Dalam keluarga pasti ada gesekan, tapi kita tidak pernah meninggalkan keluarga sebenci dan kesalnya kita sama keluarga, kan?" ujar Dolfry Indra Suri, Ketua Yayasan Teater Keliling secara eksklusif pada Kamis (7/5).
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun aku bergelut di dunia seni peran, mulai dari sinetron hingga film. Namun, rasanya berbeda dengan teater. Sangat berbeda.
Teater bukan hal asing untukku. Kata ibu sejak umurku 2 tahun, aku sering ikut latihan-latihan teater di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Waktu itu aku masih terlalu kecil untuk ikut pementasan, namun aku sangat menikmati latihan teater yang kuanggap seperti bermain bersama. Walaupun begitu, akhirnya akupun mengikuti pementasan Teater Papan saat SMK.
Setelah sekian tahun tidak lagi latihan teater, hatiku kembali tergoda dengan kabar pementasan teater musikal "The Great Rahwana" yang dipersembahkan Teater Keliling. Hatiku bersuka cita. Setelah sekian lama dahagaku ingin bermain teater lagi, akhirnya dapat segera diwujudkan. Aku mendaftar menjadi penari pembuka untuk pementasan itu.
ADVERTISEMENT
Sejak pertengahan 2019, setiap Sabtu dan Minggu kami latihan di Gedung F Kemendikbud atau juga Taman Suropati pada pukul 9 pagi. Hal yang paling membedakan teater dengan seni peran lainnya adalah rasa kekeluargaan yang dipupuk sedemikian dalam. Awal-awal latihan kami hanya fokus untuk membentuk tali ikatan keluarga baru. Sangat menarik, bukan? Karena teater itu tempat untuk berkarya berbagai macam karakter manusia di dalamnya. Untuk bisa saling bekerja sama, maka tim harus saling memahami dengan kekeluargaan dalam teater itu sendiri.
Pagi itu cerah, angin sepoi-sepoi berlomba dengan kicauan burung-burung Taman Suropati. Kami sudah pemanasan dan berbaris rapi, ternyata ada kejutan hari itu. Walaupun kami penari pembuka, kami semua tetap ikut latihan bertarung. Belajar jurus-jurus bela diri menjadi pengalaman baru yang tak pernah kubayangkan sejak dulu. Belajar memberikan serangan sepenuh tenaga, tangkisan kilat menolak lawan, mengunci badan lawan, sampai-sampai merasakan sakitnya dibanting lawan jatuh ke tanah.
ADVERTISEMENT
Setiap selesai latihan, ada sebuah tradisi bergandengan tangan membentuk satu lingkaran besar untuk berdoa, bernyanyi bersama, dan selalu ditutup dengan berpelukan dengan siapa saja. Tidak ada rasa sungkan, kami saling menebar cinta pada keluarga baru ini. Hal-hal kecil yang tidak terasa semakin mengeratkan rasa kekeluargaan kami.
Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Kami mulai mendalami gerakan-gerakan tari dari berbagai peran, mulai dari manusia, raksasa hingga monyet. Walaupun gerakan tarinya tidak mudah, kami menari dengan penuh antusias hingga merasakan badan pegal bersama-sama. Namun, lama kelamaan jumlah kami terus berkurang, seleksi alam katanya. Rasanya sangat sedih, satu per satu kami kehilangan keluarga.
Para penari pembuka kemudian dibagi 4 kelompok besar berdasarkan waktu tampil. Ada Candrasa Sabtu Siang (105 orang), Pancasona Sabtu Malam (88 orang), Pancasona Minggu Siang (103 orang), dan Candrasa Minggu Malam (101 orang). Setiap kelompok tampil sebanyak 2 kali yaitu pada pembukaan dan penutupan.
Pementasan Teater Musikal "The Great Rahwana" pada Sabtu (21/9). Foto : Dokumentasi.
Proses penuh drama
ADVERTISEMENT
Waktu pentas kian mendekat, kami kemudian fokus latihan dengan kelompok masing-masing. Walaupun sudah dalam kelompok yang lebih kecil, ternyata bukan perkara mudah menyatukan visi orang-orang. Kami punya ketua, Yahya namanya. Namun, sikapnya yang terlalu santai kadang membuat para anggota sedikit gemas. Tak melihat ada progres yang berarti, akhirnya Firsty mengambil alih proses latihan dan memimpin kami dalam menyelaraskan gerakan.
Malam sebelum pertunjukkan, Candrasa Sabtu Siang kembali adu mulut. Kali ini cukup hebat, ada dua kubu yang merasa benar. Masalahnya tentang posisi menari saat di panggung. Semuanya ingin menari di panggung megah Ciputra Artpreneur. Namun, konsepnya memang harus ada yang menari di tangga-tangga penonton. Aku paham semua orang ingin 'terlihat', namun kenyataannya yang hafal gerakan dengan baik hanya sebagian orang. Jujur, waktu itu sangat menakutkan bagiku, mereka saling menunjuk dan berteriak, bahkan ada yang sampai mengumpat. Sebagian besar kami hanya bisa bungkam seribu bahasa. Beruntung masalah ini tidak berlarut-larut, rasa kekeluargaan yang telah tertanam di dalam hati membuat kami tidak betah lama-lama bertengkar.
ADVERTISEMENT
Aku mendapat posisi paling depan. Senang rasanya tapi juga harus siap menerima tanggung jawab terhadap teman-teman di belakang. Sepuluh orang yang berada di baris pertama pun ditekan habis-habisan. "Ayo baris depan mana semangatnya!" "Kekompakan kita tergantung sama baris depan! Ayo semangat!" "Itu coba dikompakin lagi temponya! Harus sama ya teman-teman!" "Baris satu latihan kekompakan lagi, yuk!" Tekanan-tekanan tersebut malah menjadi cambuk pembakar semangat. Dukungan hangat dari keluarga terasa sangat mengembirakan.
Pementasan Teater Musikal "The Great Rahwana" pada Sabtu (21/9). Foto : Dokumentasi.
Menjadi Keluarga
Waktu pementasan pun tiba, kami sudah siap di balik tirai besar itu, menunggu pembawa acara membuka acara. Cukup lama kami menunggu, mungkin ada 10-15 menit. Kami di balik tirai saling melempar senyum hangat, menguatkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Kemudian tirai pun dibuka, terpampang jelas ratusan pasang mata, dari keluarga, teman, hingga tokoh-tokoh penting menatap kami penuh antusias. Aku tidak merasa gugup, dengan senyun lebar kuhentakkan kakiku sekuat mungkin untuk membakar semangat kawan-kawan yang lain. Benar saja, hentakan kaki-kaki kami kemudian menjadi getaran hebat yang sukses membuat bulu kuduk merinding. Menjadi penampil penutup juga hal yang sangat menggembirakan, menyaksikan gemuruh tepuk tangan penonton sangat melegakan. Artinya kami sukses menghibur ratusan penonton siang itu.
Dari pengalaman ini aku sadar, bahwa teater bukan hanya persoalan melakonkan peran. Bukan sekedar berhasil menjual tiket satu teater besar. Bukan sekedar tampil sempurna menghibur penonton. Tapi ada proses di baliknya yang mendewasakan. Ada banyak orang yang awalnya asing kemudian memiliki hubungan keluarga yang terikat kuat. Bahwa teater lebih dari sekedar pementasan di atas panggung belaka.
ADVERTISEMENT