Konten dari Pengguna
Memandang yang Lain: Dari "Having" Menuju "Being"
13 Juli 2025 18:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Memandang yang Lain: Dari "Having" Menuju "Being"
Manusia sejati bukanlah ia yang memiliki banyak, tetapi ia yang “ada” secara utuh dalam relasi dan kesadaran diri.Pormadi Simbolon
Tulisan dari Pormadi Simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dunia kini terasa makin terbelah, tidak pasti dan makin cair di era digital. Mata pencaharian, identitas dan status bersifat sementara, cair, dan kontigen. Pekerjaa yang dulu menetap, sekarang bisa hilang seketika. Kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin semakin melebar. Relasi antar individu kerap dilihat dari harta milik dan gelar, bukan dari nilai-nilai luhur dari harkat dan martabat manusia itu sendiri. Orang miskin dilihat sebagai konsumen cacat, orang kaya menjadi konsumen yang dicari.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi seperti ini, kita dapat menyaksikan kegamangan banyak orang dalam mendefinisikan siapa diri mereka, atau kita sendiri kurang yakin memaknai siapa diri kita. Banyak yang terjebak dalam keyakinan bahwa nilai diri mereka terletak pada apa yang mereka miliki—status, kekuasaan, aset, atau afiliasi kelompok. Pertanyaannya, apakah kepemilikan benar-benar mencerminkan kemanusiaan kita yang paling hakiki?
Butuh Pengakuan Sosial
Michèle Lamont, sosiolog asal Kanada, menawarkan perspektif yang menantang logika dominan ini. Dalam berbagai penelitiannya, Lamont menunjukkan bahwa nilai diri dan martabat seseorang tidak selalu bergantung pada status ekonomi atau latar belakang budaya, tetapi justru pada pengakuan sosial—yakni bagaimana seseorang diperlakukan secara adil dan dihargai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam The Dignity of Working Men (2000), ia menulis bahwa para pekerja dari latar belakang berbeda mendefinisikan martabat mereka bukan berdasarkan kekayaan, tetapi melalui kerja keras, integritas moral, dan kontribusi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa being—menjadi orang yang berguna dan dihormati—lebih bermakna ketimbang sekadar having. Bagi Lamont, Martabat kelas pekerja tidak bisa dipisahkan dari nilai moral yang mereka junjung — dan pengakuan atas itu adalah syarat solidaritas yang sejati.
ADVERTISEMENT
Dalam buku terbarunya Seeing Others (2023), Lamont bahkan menyatakan bahwa untuk menyembuhkan masyarakat yang terpecah, kita perlu memperluas “batas-batas pengakuan” (boundaries of worth), dengan mengakui martabat orang lain tanpa memandang status atau kelompok identitasnya. Pengakuan ini menjadi kunci dalam membangun inklusi sosial.
Gagasan ini sejajar dengan pemikiran filsuf Erich Fromm, yang secara tajam membedakan dua orientasi eksistensial manusia: having (memiliki) dan being (menjadi). Dalam To Have or To Be? (1976), Fromm mengkritik budaya modern yang menjadikan kepemilikan sebagai tolok ukur keberhasilan, dan menyerukan agar manusia kembali kepada keberadaan yang otentik, penuh kasih, dan kreatif. Bagi Fromm, manusia sejati bukanlah ia yang memiliki banyak, tetapi ia yang “ada” secara utuh dalam relasi dan kesadaran diri. Baginya, memiliki adalah ilusi stabilitas, menjadi adalah kenyataan hidup.
ADVERTISEMENT
Orientasi pada Being
Dalam konteks dunia yang terfragmentasi dan cair, orientasi pada being menjadi sangat relevan. Lamont mengingatkan bahwa masyarakat sering menciptakan batas-batas moral yang mengecualikan kelompok tertentu dari pengakuan sosial. Sementara itu, Axel Honneth, dalam The Struggle for Recognition (1995), menyebut bahwa penghinaan dan ketidakakuhan sosial (disrespect) melukai identitas seseorang dan memicu konflik. Menurutnya, perjuangan sosial sebenarnya adalah perjuangan untuk diakui, untuk dihargai sebagai pribadi yang bermartabat. Manusia berjuang bukan hanya untuk kesejahteraan, tapi untuk dihargai.
Relevansi pemikiran ini di Indonesia sangat kuat. Ketegangan antarkelompok, sentimen mayoritas-minoritas di berbagai daerah, hingga peminggiran warga miskin di kota-kota besar menjadi bukti bahwa kita masih sering memandang nilai manusia dari apa yang dimiliki. Dalam praktik pendidikan, pelayanan publik, dan bahkan media sosial, kita melihat kecenderungan menilai orang dari gelar, jabatan, atau kemewahan, alih-alih dari integritas atau kontribusinya. “Anda ini siapa?”, kerap menjadi pertanyaan yang muncul. Kalau seseorang miskin, maka ia dilabeli “bukan siapa-siapa”.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin memperbaiki keadaan ini, kita harus bergerak dari budaya having ke being. Ini juga sejalan dengan pendekatan capabilities yang dikembangkan Amartya Sen dan Martha Nussbaum (1993), yang menekankan bahwa ukuran kemajuan bukanlah akumulasi materi, melainkan kemampuan seseorang untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang bermakna dalam hidupnya—mulai dari berpartisipasi di masyarakat hingga merawat orang lain.
Karena itu, penting bagi kita membudayakan nilai-nilai being dalam kehidupan bersama: mendidik anak-anak untuk tidak hanya mengejar gelar, tapi juga mengembangkan empati; menyusun kebijakan yang mengangkat partisipasi warga biasa; serta memberi penghormatan kepada mereka yang bekerja dalam diam merawat lingkungan, keberagaman, dan solidaritas.
Sejatinya, dalam dunia yang makin cair dan tidak pasti, being bukan sekadar pilihan moral, tapi kebutuhan sosial. Saatnya kita mendefinisikan ulang diri kita bukan dari apa yang kita punya, tetapi dari siapa kita bagi sesama. Sebab di sanalah letak kemanusiaan yang sejati dan bermakna. (*)
ADVERTISEMENT

