Kesultanan Buton, Kerajaan dengan Sistem Pemerintahan Terbaik

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
29 Januari 2021 14:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kesultanan Buton.| RRI
zoom-in-whitePerbesar
Kesultanan Buton.| RRI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kesultanan Buton adalah salah satu kerajaan bercorak Islam di Indonesia yang berada di Sulawesi Tenggara. Berdirinya kerajaan ini tidak lepas dari peranan orang-orang Melayu yang datang ke wilayah Buton pada akhir abad ke-13 M.
ADVERTISEMENT
Ada empat tokoh melayu yang terkenal, yaitu Sipanjongan, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo. Keempat orang asal Semenanjung Melayu itu datang ke Buton secara terpisah bersama dengan pengikutnya masing-masing.
Setelah melakukan interaksi yang cukup lama di wilayah Buton, akhirnya mereka membangun sebuah desa, yang berdiri dengan pemerintahannya masing-masing. Di sisi lain, wilayah Buton ketika itu dihuni oleh beberapa komunitas adat, seperti Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todangan, dan Batauga. Pada 1332, desa-desa bentukan bangsa Melayu dan komunitas-komunitas adat itu melebur menjadi satu, sehingga berdirilah Kerajaan Buton. Raja pertama kerajaan Buton adalah seorang perempuan, bergelar Rajaputri Wa Kaa Kaa.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. | Wikimedia Commons
Sebelum menjadi kerajaan bercorak Islam, pemerintahan di Buton diduga kuat dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Diperkirakan ajaran Hindu Budha di Buton berasal dari kerajaan Majapahit. Hal itu diperkuat oleh keterangan di kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca, yang menyebutkan istilah Butuni untuk menjelaskan Pulau Buton yang ketika itu menjadi salah satu wilayah taklukan Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
Kerajaan Buton beralih menjadi kesultanan sejak masa pemerintahan raja ke-6, yakni La Kilaponto atau Raja Murhum (1491-1537). Ada beberapa pendapat mengenai masuk dan berkembangnya agama Islam di Buton. Pertama, pendapat yang mengatakan penyebaran ajaran Islam di Buton dilakukan oleh kesultanan Bone di Sulawesi Selatan.
Kedua, pendapat yang mengatakan ajaran Islam masuk ke Buton dibawa oleh ulama dari Timur Tengah, bernama Sayid Jamaluddin al-Kubra pada 1412. Kemudian dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani berasal dari Johor, yang berhasil mengislamkan Raja Marhum. Ketiga, pendapat yang mengatakan ajaran Islam di Buton berasal dari kesultanan Ternate, yang dibawa oleh Sultan Zainal Abidin.
Raja Murhum. | Wikimedia Commons
Agama Islam berkembang sangat pesat di wilayah kesultanan Buton, ajarannya banyak diamalkan oleh pemerintahan, maupun masyarakatnya. Peraturan undang-undang di kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh, yang sangat erat dengan tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi, dan kedudukan kesultanan secara formal.
ADVERTISEMENT
Pada masa kejayaannya, kesultanan Buton menjalin hubungan baik dengan seluruh kerajaan di Sulawesi, bahkan hingga ke pulau Jawa. Hubungan diplomatik itu membuat perekonomian di wilayah kesultanan Buton menjadi baik, terutama karena hubungan perdagangannya.
Pada abad ke-17, pemerintahan Buton sudah mengembangkan sistem perpajakan yang sangat baik jika dibandingkan kerajaan lain di Sulawesi. Kesultanan Buton pun memiliki alat pertukaran atau mata uang yang disebut kampua. Alat tukar ini terbuat dari kain yang ditenun.
Kampua, alat tukar Kesultanan Buton. | Museum Nasional Indonesia
Dalam praktek hukum, kesultanan Buton memiliki sistem yang sangat baik. Hukum ditegakkan secara setara bagi seluruh masyarakat Buton tanpa pandang bulu. Siapapun yang melakukan kesalahan secara hukum, baik itu rakyat jelata ataupun pejabat istana, akan dijatuhi hukuman yang setimpal. Sepanjang sejarahnya, teradpat 12 sultan Buton yang pernah dihukum karena melanggar aturan.
ADVERTISEMENT
Kesultanan Buton membangun sebuah benteng pertahanan untuk melindungi kerajaan dari berbagai ancaman. Benteng itu dibuat pada 1634, masa pemerintahan Sultan La Buke. Benteng dibangun sepanjang 2.740 meter untuk melindungi area seluas 401.900 meter persegi.
Tembok benteng memiliki ketebalan 2 meter dengan ketinggan antara 2 sampai 8 meter. Benteng ini pun dilengkapi dengan 16 bastion atau menara pengintai, dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan, kurang lebih 3 kilometer dari pantai.
Kesultanan Buton memiliki hubungan yang cukup baik dengan VOC. Pada 1612, VOC mengimkan utusannya ke wilayah Buton, dan pada 1613 dilakukan perjanjian antara VOC dan Buton. Isi perjanjian itu antara lain VOC akan membantu melindungi Buton dari berbagai serangan musuh, sementara VOC diberikan izin menetap di wilayah Buton.
Kesultanan Buton | Dinas Kebudayaan Kabupaten Buton
Namun VOC jelas memiliki niat buruk terhadap pulau yang posisinya sangat stategis untuk menguasai jalur perdagangan di wilayah timur itu. Buton memang menjadi salah satu pusat perdagangan rempah-rempah di wilayah timur Indonesia sehingga Belanda sangat menginginkannya.
ADVERTISEMENT
Hubungan keduanya mulai retak pada 1637, hingga terjadilah perang yang berlangsung selama setahun. Perang menimbulkan banyak korban berjatuhan di kedua pihak. Namun sampai perang berakhir, VOC tidak berhasil menjatuhkan dan merebut benteng kesultanan Buton.
Perang kembali terjadi pada 1752, 1755, dan 1776, karena VOC melakukan kecurangan dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah Buton yang sangat merugikan. Di bawah pimpinan Sultan La Karambau, Buton berhasil mengatasi Belanda.
Namun, muncul konflik internal di lingkungan kerajaan yang memperlemah kekuatan kesultanan Buton. Berbagai ancaman terus menyelimuti Buton hingga akhirnya Indonesia merdeka pada 1945. Kesultanan Buton pun masuk dalam pemerintahan Indonesia, wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Keraton Buton pada tahun 1910-1940. | Wikimedia Commons
***
Referensi:
ADVERTISEMENT