Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Martabat Tujuh, Ajaran Sekaligus Sumber Hukum Masyarakat Buton Tempo Dulu
10 Desember 2020 17:55 WIB
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Martabat Tujuh ialah merupakan salah satu doktrin terpenting dalam mistisme Islam. Tak kecuali di Nusantara, bahkan boleh jadi konsep Martabat Tujuh ialah salah satu ajaran terpopuler dalam tradisi keilmuan Islam di sini. Tema ini ditemukan dalam banyak naskah klasik keagamaan di Aceh, Palembang, Jawa, Sunda, Banjar, Buton, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Mudahnya sufisme menjadi jalan masuk penyebaran Islam juga tak terlepas dari kuatnya latar belakang tradisi kepertapaan (ascetism) atau mistisme dalam masyarakat Nusantara. Dalam konteks inilah, ajaran Martabat Tujuh turut masuk dan kemudian menjadi begitu populer di Nusantara.
Martabat Tujuh pertama kali mengemuka dari teks tasawuf, At-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh an-Nabiy, dikarang oleh Muhammad Ibnu Fadhlillah al-Burhanfuri al-Hindi, seorang sufi kenamaan dari Gujarat (w. 1620 M). Kitab ini berisi tentang tujuh martabat ilahiah yang didasarkan atas pemikiran falsafi Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili.
Menariknya, martabat tujuh digunakan sebagai sumber hukum oleh masyarakat Buton pada masa dahulu. Dalam istilah lokal masyarakat Buton dinamai Undang-Undang Murtabat Tujuh Sara Wolio, atau lebih populer disebut Undang-undang Martabat Tujuh.
ADVERTISEMENT
Perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan ke kesultanan Islam juga mempengaruhi perubahan pola kehidupan sosial politik bagi masyarakat Buton. Perjalanan sejarah ketatanegaraan Buton berkembang secara progresif setelah diundangkannya konstitusi Martabat Tujuh. Di bidang politik terjadi perubahan tata cara pemilihan pejabat, termasuk tentu saja pada pemilihan seorang raja.
Sebelum lahirnya konstitusi Martabat Tujuh di Buton, posisi raja yaitu dari raja pertama hingga Sultan Ketiga—yang berarti sudah sembilan raja—selalu menggunakan sistem monarki absolut. Posisi raja selalu diwariskan kepada putra mahkota secara turun-temurun. Namun pasca lahirnya konstitusi Martabat Tujuh, maka proses pengangkatan raja diubah dan harus didasarkan pada persetujuan dari Pata Limbona. Sistem pemilihan raja, konon juga dilakukan melalui proses yang sangat rahasia dan sakral.
Bentuk pemerintahan Buton bukanlah lagi bersifat monarki absolut melainkan lebih menyerupai sistem monarki parlementer. Dikatakan demikian, karena proses pengangkatan raja tidaklah serta-merta didasarkan pada kehendak raja melainkan harus melalui mekanisme musyawarah mufakat. Dalam konteks inilah, posisi Pata Limbona, yang pada perkembangannya menjadi Sio Limbona yaitu Majelis Syara Kesultanan Buton, maka secara kelembagaan jelas berfungsi sebagai semacam parlemen.
ADVERTISEMENT
Posisi sultan secara politik diawasi oleh Sio Limbona dan sultan juga sekaligus bertanggung jawab kepada lembaga ini. Laiknya sistem demokrasi di zaman sekarang, sekiranya sultan dianggap melakukan pelanggaran atas konstitusi, maka Sio Limbona bukan hanya bisa mengkritik tetapi juga bisa mengambil tindakan pemecatan sang raja.
Konstitusi Martabat Tujuh mengupayakan penegakan hukum pada masa itu bisa dikatakan tidaklah tebang pilih. Siapapun yang terbukti secara hukum bersalah akan diadili sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tak terkecuali, sultan atau raja sekalipun .
Sumber artikel: indonesia.go.id