Pembantaian Bosnia, Bukan Sebuah Perang

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
3 April 2018 9:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemakaman 8.000 Muslim Bosnia yang dibantai di Srebrenica oleh Tentara Serbia pada 1995 (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pemakaman 8.000 Muslim Bosnia yang dibantai di Srebrenica oleh Tentara Serbia pada 1995 (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Tahun 1992, Bosnia dan Serbia menjadi perhatian utama seluruh masyarakat dunia. Konflik yang terjadi di antara kedua pihak itu sudah mencapai puncak. Perdamaian menjadi satu-satunya jalan yang tidak mungkin untuk ditempuh, pilihan terbaik hanyalah mengangkat senjata di medan perang. Semua pihak yang terlibat seperti tidak dapat berpikir mencari jalan teraman untuk warganya. Bosnia telah benar-benar tertutupi kabut duka.
ADVERTISEMENT
Tanggal 11 Juli 1995, pembunuhan massal pertama terjadi di Srebrenica, Bosnia, setelah tentara Serbia berhasil menduduki wilayah itu. Kekajaman terjadi di seluruh penjuru kota. Masyarakat seperti tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Kota yang sebelumnya damai, berubah menjadi lahan pembantaian tentara Serbia.
Anak-anak menjerit menyaksikan kedua orangtuanya tak berdaya bersimbah darah. Orang-orang berusha menyelamatkan diri dengan berlari dan bersembunyi, namun sudah tidak ada lagi tempat aman yang bisa mereka temukan di kota itu. Pembantaian di Srebrenica telah menghilangkan 8000 lebih nyawa tak berdosa.
Pembantaian yang dikenal dengan Genosida Srebrenica, telah membuka mata dunia bahwa perang akan selalu membawa penderitaan. Dunia seakan lupa dengan dampak buruk setelah perang sejak berakhirnya Perang Dunia II. Bahkan tidak benar jika menyebut konflik ini sebagai perang yang adil.
ADVERTISEMENT
Peperangan di Bosnia disebut-sebut terjadi karena kepentingan etnis dan agama. Tentara Serbia berencana melakukan pembersihan etnis di luar mereka, sehingga membuat umat muslim Bosnia beramai-ramai mengungi ke kamp pengungsian. Namun dalam perkembangannya, perang Serbia dan Bosnia diketahui terjadi karena adanya kepentingan politik di antara keduanya.
Semua pihak akhirnya menginginkan adanya perdamaian, menghentikan perang menjadi jalan terbaik untuk kedua belah pihak. Akhirnya pada Desember 1995, setelah penderitaan selama 5 bulan, dilakukan Perjanjian Dayton di Amerika Serikat.
Perjanjian ini menjadi wujud kepedulian dunia akan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Bosnia. Perjanjian tersebut dimotori oleh Amerika Serikat, sebagai pusat kekuatan dunia.
Dalam catatan perjanjian disebutkan bahwa wilayah Bosnia-Herzegovina sebelum perang terbagi menjadi dua. Etnis Serbia di Bosnia yang sebelum perang hanya menguasai 31% dari populasi, mendapat 49% wilayah Bosnia-Herzegovina. Mereka kemudian mendirikan Republik Srpska, lengkap dengan lembaga negara dan pemerintahannya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan etnis muslim Bosnia dan Kroasia yang mendomonasi, sebanyak 60% dari populasi, hanya diberi 51% wilayah. Perjanjian itu memang tidak memberikan kepuasan pada pihak yang dirugikan, namun jika melihat dampak yang akan terjadi jika perang terus dilakukan, maka pilihan itu adalah yang terbaik.
Pada bulan Mei 2011, pemerintah Serbia berhasil menangkap Jenderal Ratko Mladic, yang merupakan otak dibalik pembantaian Bosnia. Mahkamah Kriminal PBB mendakwa Ratko Mladic atas tuduhannya memimpin pasukan Serbia melakukan aksi pembantaian. Ia berserta empat mantan tentaranya yang ikut terlibat dijatuhi hukuman seberat-beratnya.
Pada Juni 2012, pengadilan memvonis Stanko Kojic dengan hukuman 43 tahun penjara, Franc Kos dan Zoran Goronja dengan hukuman 40 tahun penjara, dan Vlastimir Golijan dihukum 19 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Hakim dalam pengadilan menyebut bahwa keempat tentara itu bersalah karena beristirahat di sela-sela pembantaian untuk makan siang dan minum bir. Sementara, mayat korban pembantaian bertebaran di sekitar mereka. Atas dasar itulah hakim menilai bahwa mereka menunjukkan sikap sebagai seorang pembunuh dalam membantai korbannya. Perlahan, tokoh-tokoh lain yang ikut terlibat mulai diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam pembantaian yang mereka lakukan.
Sumber : Elga, A. Yusrianto. 2014. Kisah-Kisah Pembantaian Kejam dalam Perang Dunia. Jakarta : Palapa.