Perbedaan Pernikahan Adat Jawa Solo dengan Adat Yogya

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
8 November 2017 17:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernikahan anak Presiden Jokowi, yaitu Kahiyang Ayu dengan Bobby yang tengah menjadi sorotan, agaknya memperlihatkan bagaimana Jokowi yang benar-benar menjunjung adat Jawa dimana ia dibesarkan, pernikahannya digelar dengan konsep pernikahan adat keraton Solo.
ADVERTISEMENT
Bebicara mengenai adat pernikahan adat Jawa, selama ini orang terkadang salah kaprah mengenai pernikahan dengan konsep adat Jawa. Meski masyarakat Jawa secara geografis meliputi wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun keraton Yogyakarta dan Surakarta hadir sebagai dua pusat kebudayaan Jawa terletak di Jawa tengah. Begitu juga dalam adat pernikahan Jawa sebenarnya terbagi ke dalam dua kiblat, yaitu adat pernikahan Kraton Surakarta, Solo dengan adat pernikahan adat Kraton Yogyakarta.
Secara garis besar rangkaian upacaranya tampak sama. Baik gaya Yogyakarta maupun Surakarta mengenal upacara siraman, midodareni, ijab, panggih, dan kacar-kucur. Tetapi sebenarnya, sarana serta rincian upacaranya tidaklah persis sama.
Siraman dalam gaya Kraton Surakarta berjumlah Sembilan, angka sembilan mempunyai makna untuk mengenang kaluhuran Wali songo, yang bermakna manunggalnya Jawa dan Islam. Selain itu angka Sembilan juga bermakna babakan hawa sanga yang harus dikendalikan. Sedangkan untuk Kraton Yogyakarta yang memberikan siraman berjumlah tujuh ini mempunyai makna pitulung yang berarti memberikan pertolongan.
ADVERTISEMENT
Dalam adat Kraton Surakarta, usai upacara siraman ada upacara dodol dawet, inilah salah satu jenis upacara perkawinan adat Jawa yang bergaya Kraton Surakarta. Jual dawet ini adalah simbol dari ungkapan kata kemruwet, artinya, pada saat pesta perkawinan nanti diharapkan jumlah tamunya banyak, Warna merah pada gula jawa dan putih pada santan, merupakan suatu simbol keberanian dan kesucian, dan simbol bertemunya pria dan wanita.
Sedangkan yang menjadi ciri khas Perkawinan adat Keraton Yogyakarta diantaranya adalah
adanya tarian edan-edanan atau disebut dengan beksan edan-edanan (tari gila-gilaan) karena seolah-olah tingkah penari layaknya orang gila. Tarian ini memiliki makna sebagai sarana untuk mengusir bala, roh bergentayangan yang akanmengganggu jalannya upacara panggih.
Perbedaan yang mencolok lainya adalah ketika malam “midodareni”. Dalam pernikahan adat Jawa Solo terdapat tradisi yang dinamakan ‘upacara jual beli kembang mayang’. Sedangkan untuk pernikahan adat Jawa Yogya, kembang Mayang sudah dipersiapkan sejak sore sebelum dilakukanya acara Malam Midodareni.
ADVERTISEMENT
Perbedaan lainya dapat ditemui pada pelakasanaan Panggih. Untuk upacara lempar sirih pada pelaksanaan panggih pernikahan adat Jawa Solo dilakukan satu kali pelemparan saja, Sedangkan dalam pernikahan adat jawa Yogya mempelai pria harus melempar 4 sirih, dan mempelai perempuannya melempar 3 linting daun sirih.
Well, jangan salah kaprah lagi yaaa!
Sumber : Fatkhur Rohman. 2015. Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton Surakarta dan Yogyakarta (Studi Komparasi)
foto: kabari.co