Periode Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang Tidak Stabil

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
29 Mei 2018 14:04 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Masa Kekhalifah (Foto: flickr)
Ali bin Abi Thalib adalah putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ali merupakan sepupu Nabi Muhammad SAW, yang kemudian menjadi menantu Rasul setelah menikahi Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW. Ali bin Abi Thalib masuk Islam pada usia yang sangat muda dan termasuk orang yang pertama masuk Islam dari golongan pria.
ADVERTISEMENT
Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat baik dalam berperang dan berdiplomasi. Ia terkenal dengan kepiawaiannya memainkan pedang dan pena untuk kepentingan Islam. Ali pun orang yang sangat bijaksana, sehingga ia menjadi penasihat ketika zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib mengikuti hampir seluruh peperangan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, Ali tidak sempat membaiatnya karena sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW.
Setelah Utsman bin Affan wafat, Ali adalah calon terkuat untuk menggantikannya sebagai khalifah. Namun peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman membuat umat Islam terpecah menjadi empat golongan, yaitu pengikut Utsman bin Affan yang menuntut balas atas kematian Utsman, dan mencalonkan Muawiyah sebagai khalifah. Kemudian pengikut Ali bin Abi Thalib yang mengajukan Ali sebagai khalifah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, ada kaum moderat yang tidak mengajukan siapapun, dan menyerahkan seluruh hasilnya kepada Allah SWT. Terakhir golongan yang berpegang kepada prinsip jemaah, di antaranya diikuti oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamah bin Zaid, dan Muhammad bin Maslamah, serta diikuti oleh 10.000 orang sahabat dan tabi’in yang memandang bahwa Utsman dan Ali sama-sama sebagai pemimpin umat Islam.
Ali bin Abi Thalib banyak didukung oleh sahabat senior untuk menjadi seorang khalifah, bahkan para pemberontak di zaman Khalifah Utsman pun banyak yang mendukung Ali. Awalnya Ali bin Abi Thalib menolak untuk menjadi khalifah karena ia berpendapat ada yang lebih baik daripada dirinya.
Namun, desakan yang dilakukan oleh sahabat, ditambah tidak adalah lagi yang bersedia dicalonkan, membuat Ali bin Abi Thalib akhirnya menerima untuk menjadi khalifah demi kepentingan umat. Ali di baiat pertama kali oleh Thalhah bin Ubaidilah, kemudian diikuti oleh Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqqash, dan selanjutnya diikuti oleh orang-orang dari kalangan Anshar dan Muhajirin.
ADVERTISEMENT
Tindakan pertama yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib setelah menjabat sebagai khalifah adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan pada masa Khalifah Utsman untuk dijadikan sebagai milik negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat.
Seperti Ibnu Amir penguasa Bashrah diganti oleh Utsman bin Hanif, dan Abdullah sebagai Gubernur Mesir diganti oleh Qays. Tetapi, ada salah seorang penguasa yang menolak meletakkan jabatannya, yaitu Muawiyah yang menjabat sebagai Gubernur Suriah, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Pemerintahan Khalifah Ali dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena muncul banyak pemberontakan dari internal kaum muslimin. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Thalhah dan Zubair, diikuti oleh Siti Aisyah yang kemudian memicu terjadinya Perang Jamal.
ADVERTISEMENT
Pemberontakan ini diawali dari penarikan baiat oleh Thalhah dan Zubair, karena merasa bahwa Khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh Khalifah Utsman. Dalam peristiwa ini Muawiyah turut andil, walau hanya sebatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas Khalifah Ali di mata umat Islam.
Pada perang antarsahabat ini, Thalhah dan Zubair tewas terbunuh ketika hendak melarikan diri. Sedangkan Siti Aisyah dikembalikan ke Madinah. Sebanyak lebih dari 10.000 umat Islam gugur pada peperangan itu.
Pemberontakan kedua dilakukan oleh Muawiyah, yang menolak Khalifah Ali, bahkan menempatkan dirinya setara dengan khalifah walaupun ia hanya seorang gubernur. Akhirnya muncullah Perang Shiffin yang melibatkan kelompok Muawiyah dengan kelompok Khalifah Ali.
Pada perang ini, Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikan segala bentuk pemberontakan di antara umat Islam. Perang ini terjadi di kota Shiffin, yang hampir dimenangkan oleh pasukan Khalifah Ali. Namun berkat kecerdikan pasukan Muawiyah yang dipimpin oleh Amr bin Ash, pasukan Ali gagal mendapatkan kemenangan.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, Amr bin Ash mengacungkan Al-Quran dan tombaknya, yang memiliki arti meminta perdamaian menggunakan Al-Quran. Khalifah Ali sebenarnya mengetahui bahwa hal itu hanyalah strategi yang dilakukan oleh pasukan Muawiyah, namun karena didesak oleh pasukannya, khalifah menerima tawaran tersebut. Akhirnya dilakukanlah perundingan untuk mencapai perdamaian.
Sumber: Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia