Perjuangan Kartini Mendobrak Adat Feodal yang Membelenggu Perempuan

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
21 April 2018 17:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
R.A. Kartini (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
R.A. Kartini (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Kartini menghadapi masa-masa sulit ketika ia memasuki usia remaja. Bagaimanapun juga Kartini adalah seorang bangsawan yang sampai kapanpun tidak akan bisa terlepas dari belenggu adat kuno.
ADVERTISEMENT
Tahun 1892, ketika berusia 12 tahun, ia harus meninggalkan segala kegiatannya, termasuk tidak melanjutkan pendidikannya, dan lebih fokus pada masa pingitannya. Ayahnya memang mengedepankan pendidikan di atas segalanya, tetapi masih belum dapat melepaskan seluruh adat kebiasaan keluarga bangsawan.
Kartini dianggap sudah cukup besar untuk patuh pada adat, dan harus dikurung di dalam rumah tanpa sedikitpun berhubungan dengan dunia luar sampai kelak ada pria yang datang untuk mempersuntingnya sebagai istri. Dunia Kartini kini menjadi sangat sempit, terbatas oleh dinding-dinding gedung rumahnya tanpa sedikit pun ruang untuknya dapat melihat keramaian kota yang belum lama dirasakannya.
Kartini baru lulus Sekolah Rendah, dan tanpa persiapan apapun ia harus melepaskan seluruh kesenangan sebagai anak-anak. Kartini harus mempraktekan segala kebiasaan seorang putri bangsawan, seperti berbicara halus dan lirih, tidak boleh tertawa, hanya tersenyum dengan bibir tertutup, berjalan perlahan-lahan, berjongkok dan menundukkan kepala ketika ada anggota keluarga yang lebih tua berjalan di depannya, dan masih banyak peraturan lainnya. Sebuah kebiasaan yang selama ini ditentang oleh Kartini.
ADVERTISEMENT
Awalnya Kartini tinggal dalam pingitan seorang diri selama 4 tahun, namun kemudian adik-adiknya, Roekmini dan Kardinah, menemaninya sejak tahun 1896 hingga tahun 1898. Proses pingitan yang dirasakan oleh Kartini sangatlah menyiksa dirinya. Dari hari ke hari, Kartini merasakan kesedihan yang mendalam karena kebebasannya telah benar-benar direnggut.
Terkadang ia mencoba untuk menghibur diri dengan mempelajari buku-buku yang ia punya, tetapi belajar tanpa seorang guru terasa sangat sulit. Kartini sedih karena waktu yang ia miliki benar-benar tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
Kartini memang terbukti sebagai wanita yang sangat tangguh dan cerdas. Ia mulai berpikir untuk memanfaatkan keadaannya ini menjadi kekuatan bagi dirinya. Kartini sadar bahwa ia hanya akan menyia-nyiakan waktunya jika terus menangis dan memberontak pada takdir yang sudah ditetapkan, yang tidak memberi hasil apapun.
ADVERTISEMENT
Kartini menggunakan waktu sebaik mungkin untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini mengenai keadaan yang sedang ia hadapi.
Kartini mulai mengingat-ingat segala informasi yang pernah didengar dan dilihatnya mengenai adat dan kebiasaan para bangsawan, termasuk informasi tentang sistem pernikahan secara adat yang menurutnya sangat merugikan kaum perempuan. Semua infromasi itu disusun menjadi pertanyaan-pertanyaan yang sangat bergejolak dihatinya.
Beberapa kesimpulan yang didapatnya memang tidak banyak terbukti menjawab rasa penasarannya, mengingat Kartini muda hanyalah seorang anak yang baru memasuki dunia kuno para bangsawan. Namun cara berfikirnya itu sangatlah luar biasa bagi seorang anak perempuan Jawa pada abad ke-19.
Rasanya Kartini memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang pemikir yang sangat cerdas. Segala bentuk keadaan di masyarakat yang tidak menguntungkan dan tidak adil bagi kaum perempuan menjadi pemicu bagi Kartini untuk terus bertanya dan mencari jawaban.
ADVERTISEMENT
Bagi Kartini, dalam pernikahan adat para perempuan lebih banyak mengalami duka daripada suka. Sebab mereka tidak diberikan banyak hak di dalam keluarga, hanya kewajiban terhadap suami saja yang harus diutamakan. Tidak seperti kaum laki-laki yang memiliki banyak hak dan sedikit kewajiban, ditambah mereka yang dapat mempunyai lebih dari satu istri.
Mengetahui banyak fakta yang terjadi, Kartini semakin bertekad untuk mengubah tradisi kolot yang merugikan itu. Kartini menyadari bahwa adat feodal itu dapat terus dipraktekan dan bertahan lama adalah karena kaum perempuan selalu menerima nasibnya dengan berdiam diri. Mereka tidak pernah menentang, maupun tidak pernah mencoba untuk memberontak.
Jelas hal itu tidak mungkin mereka lakukan, karena para perempuan dari kalangan bangsawan nafkahnya tergantung pada suami. Nafkah sama dengan hidup, jika mereka menentang maka mereka akan dicerai, jika mereka dicerai maka mereka tidak akan dapat nafkah, jika tidak mendapatkan nafkah berarti mereka tidak bisa hidup. Begitulah seterusnya hingga maut menjemput keduanya.
ADVERTISEMENT
Perempuan dari kalangan ningrat tidak pernah bekerja, dan tidak pernah dididik agar dapat mencari nafkah sendiri. Sehingga mereka tidak dapat berdiri sendiri dan selalu bergantung pada suaminya.
Kartini berpikir bahwa keadaan itu terjadi lantaran para perempuan tidak mendapat pendidikan yang cukup baik layaknya kaum laki-laki. Setiap anak laki-laki diberi kesempatan bersekolah setinggi-tingginya, bahkan sampai ke negeri Belanda. Sedang para perempuan harus tinggal di rumah, dan tidak boleh bersekolah. Hal itulah yang menyebabkan perempuan selalu dianggap bodoh. Lalu apa yang harus dilakukan?
Menurut Kartini cara memperbaiki permasalahan itu sangat mudah. Pertama, perempuan harus diberi hak untuk mendapat pendidikan supaya dapat mengejar ketertinggalannya. Tidak hanya bersekolah di Sekolah Rendah, tetapi harus dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Perempuan yang terpelajar dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, dan tidak lagi bergantung pada suaminya. Lambat laun para perempuan pasti akan berpikir untuk memperjuangkan haknya, dan menolak untuk dinikahkan secara paksa.
ADVERTISEMENT
Kedua, laki-laki harus diberi tambahan pendidikan moral agar dapat bersikap lebih sopan dan santu, serta menghargai hak-hak perempuan. Selain itu pendidikan moral akan membuat laki-laki tidak memandang rendah para perempuan.
Sebuah buah pemikiran yang dikeluarkan oleh Kartini ketika usianya masih 13 tahun, dan dalam keadaan yang sangat tertekan pada sebuah kurungan adat kuno. Pemikiran yang kritis, revolusioner, dan cikal bakal dari feminisme, telah dibuat oleh Kartini jauh sebelum ia benar-benar mengetahui keadaan yang sebenarnya dari apa yang akan para perempuan hadapi di masa yang akan datang.
Sumber : Soeroto, Sitisoemandari. 1979. Kartini : Sebuah Biografi. Jakarta : PT Gunung Agung