Perjuangan Kartini ketika Sekolah, dan Munculnya Pemikiran Kritis

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
20 April 2018 14:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kartini. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Kartini. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Kartini lahir dari keluarga bangsawan yang terpandang di wilayah Jepara. Ayah Kartini, R.M.A.A. Sosroningrat mewarisi sifat progresif dari ayahnya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, Bupati Demak. Ia selalu ingat pesan ayahnya, bahwa seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tidak akan merasa bahagia, dan akan selalu mengalami kemunduran pada dirinya. Pesan itulah yang membuat R.M.A.A. Sosroningrat menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya adat kaum bangsawan Jawa ketika itu melarang keras seorang perempuan ke luar rumah, apalagi harus pergi ke sekolah bergaul dengan anak laki-laki. Tetapi ayah Kartini tidak mempedulikan hal itu, dan tetap memasukan anak-anaknya ke Europese Lagere School. Sekolah ini memang dikhususkan bagi orang-orang Belanda, tetapi mayoritas murid yang ada berasal dari anak-anak Belanda Indo.
Sangat sedikit anak-anak yang kedua orang tuanya berasal dari Belanda. Hal itu dikarenakan pada abad ke-19, tidak banyak wanita Belanda yang datang ke Indonesia. Hampir seluruhnya adalah laki-laki yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan dan tentara perang.
Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya tidak banyak memperdulikan pendidikan orang-orang Indonesia ketika itu. Pemerintah tidak memperbolehkan anak-anak Indonesia bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, yang ketika itu hanya ada sedikit.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan dari persatuan guru bangsa Belanda, NIOG (Nederlands Indisch Onderwijs Genootschap), hanya 29,2% anak-anak Indonesia yang cukup menguasai bahasa Belanda. Sedangkan persyaratan yang diberikan oleh pemerintah untuk dapat masuk di sekolah Belanda adalah mahir berbahasa Belanda.
Hal itulah yang menyebabkan banyak bupati dan bangsawan di sekitar Jepara yang tidak menyekolahkan anaknya, dan hanya mengandalkan pendidikan adat saja. Namun tidak untuk keluarga Sosroningrat, yang diberikan perlakuan khusus agar anak-anaknya dapat bersekolah di sekolah Belanda walau belum terlalu mahir berbahasa Belanda.
Kartini dapat beradaptasi dengan baik di sekolahnya, dan mendapatkan banyak teman orang-orang Belanda. Kartini tidak pernah bisa diam, ia selalu bermain kesana kemari bersama teman-temannya. Kegiatan seperti inilah yang tidak pernah ia lakukan jika sudah berada di lingkungan rumahnya.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah adat yang tidak memperbolehkan seseorang berbicara kencang, berlarian tidak karuan, lompat-lompat, ataupun tertawa terlalu keras. Namun, setelah ia mengenal lingkungan sekolah yang tidak terbatas oleh hukum adat, ia menjadi anak yang sangat aktif.
Di kelasnya, Kartini adalah satu-satunya anak pribumi asli, sehingga sangat menarik perhatian. Kartini termasuk anak yang cerdas, bahkan lebih cerdas dibandingkan anak-anak Belanda lain. Ia pun dapat berbicara bahasa Belanda dengan lancar. Ayahnya selalu memberikan buku-buku dan koran-koran berbahasa Belanda, sehingga sejak kecil Kartini memiliki wawasan yang sangat luas.
Sebuah kisah menarik terjadi ketika Kartini di sekolah. Pernah sekolahnya didatangi oleh seorang pejabat Belanda. Ia menyuruh anak-anak di sekolah itu membuat sebuah karangan bebas dalam bahasa Belanda. Ketika melihat hasilnya, menurut pejabat Belanda itu karangan Kartinilah yang paling baik di antara karangan anak lainnya selama berkeliling di wilayah inspeksinya.
ADVERTISEMENT
Dari sini sudah terlihat bahwa Kartini memiliki bakat yang luar biasa dalam menulis, dan wawasan yang sangat luas mengenai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kartini banyak membaca buku, dan salah satu bacaan yang sangat disukainya adalah karya mengenai Pejuang Wanita India, Pandita Ramabai.
Kartini sering mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari beberapa pihak yang masih belum menerima kehadiran anak Pribumi di lingkungan sekolah. Seperti beberapa guru yang bersikap diskriminatif terhadap Kartini ketika ia mendapatkan nilai yang baik. Terkadang nilai yang didapat oleh Kartini dikurangi agar tidak terlihat lebih pintar dibandingkan anak Belanda lain.
Ada juga teman-teman kelasnya yang sering mengejek, dan mengolok-olok Kartini karena memiliki warna kulit yang berbeda. Namun Kartini tidak terlalu memperdulikan hal itu selama ia bisa bersekolah, dan memperoleh pengetahuan yang banyak mengenai dunia di luar adat yang selama ini mengatur kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Perlahan-lahan pandangan Kartini semakin terbuka mengenai berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya. Ia mulai banyak mempelajari tentang penderitaan kaum perempuan, yang akhirnya membuatnya sangat membenci pernikahan. Bahkan ia berfikir untuk tidak menikah, dan memilih untuk bebas melakukan apapun yang ia inginkan.
Pemikiran-pemikiran kritisnya mulai muncul sejak ia berusia sangat muda. Walau banyak hal yang tidak Kartini mengerti, terutama mengenai kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Sumber : Soeroto, Sitisoemandari. 1979. Kartini : Sebuah Biografi. Jakarta : PT Gunung Agung