Sejarah Margarin, Siasat Kenyang di Saat Perang

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
3 Januari 2021 14:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejarah Margarin, Siasat Kenyang di Saat Perang
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1813, di sebuah lab kimia, seorang ilmuwan Prancis, Michel Eugene Chevreul menemukan sejenis asam lemak yang dia sebut dengan acide margaruite. Karena wujudnya yang berupa endapan berkilauan seperti mutiara, lantas Michel menamainya sesuai kata Yunani margarites, yang berarti "pearly - seperti mutiara."
Michel Eugene Chevreul. Dok: Getty Images/Hulton Deutsch.
Namun, Kaisar Napoleon III menginginkan pengganti margarin dengan harga lebih murah. Lantas Napoleon III mengadakan sayembara dengan memberi hadiah bagi siapa saja yang bisa menciptakan pengganti yang sepadan namun dengan harga lebih murah.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, ahli kimia Prancis, Hippolyte Mège-Mouriès menyanggupi permintaan sang kaisar. Pada tahun 1869, Mège-Mouriès berhasil menyempurnakan dan mematenkan sebuah campuran lemak sapi dan susu yang menghasilkan substitusi dari margarin, karenanya dia pun memenangkan hadiah dari sang Kaisar.
Produk baru yang diberi nama "oleomargarine" itu sulit dipasarkan. Pada tahun 1871, Mège-Mouriès mendemonstrasikan pembuatan margarin miliknya itu kepada perusahaan Belanda yang mengembangkan metodenya dan membantunya dalam memasarkan margarin. Para pengusaha Belanda ini menyadari jika margarin bakal menggantikan butter maka ia harus kelihatan seperti butter, dan mereka pun mulai mewarnai margarin, yang semulanya berwarna putih, menjadi kuning butter.
Hippolyte Mège-Mouriès. Dok: slate.com
Ironisnya, Mège-Mouriès tidak diperlakukan istimewa atas penemuannya itu. Ia bahkan 'dipaksa' meninggal dalam keadaan miskin pada tahun 1880. Perusahaan Belanda yang mengembangkan resepnya pun bekerja cukup baik bagi perusahaan itu sendiri, yang mana, Jurgens, akhirnya menjadi perusahaan pembuat margarin dan sabun terekenal di dunia yang kemudian menjadi bagian dari perusahaan besar saat ini, Unilever.
ADVERTISEMENT
Dengan popularitas margarin yang mendadak meledak, ternyata ada pihak yang merasa terancam, yaitu perusahaan susu. Mereka meyakinkan para legislator untuk mengenakan pajak terhadap margarin hingga dua sen per pound.
Kampanye penghapusan peraturan anti-margarine. Dok: Wikimedia Commons.
Para peternak sapi perah pun berhasil untunk membujuk para petinggi negara untuk melarang penggunaan pewarna kuning dalam pembuatan margarin. Pada tahun 1900, "butter berwarna" pun dilarang di 30 negara bagian AS.
Banyak negara bahkan mengambil langkah yang lebih ekstrem untuk menjauhkan pelanggan dari margarin - mereka membuat margarin berwarna pink.
Di Kanada, sempat diadakan kampanye pemerintah anti-margarin. Dari tahun 1886 sampai 1948, hukum di Kanada melarang keberadaan margarin. Satu-satunya pengecualian terhadap peraturan ini adalah ketika pada tahun 1917 dan 1923, ketika Perang Dunia I dengan cepat menghabiskan persediaan butter, sehingga pemerintah harus mengandalkan margarin sebagai persediaan makanan tentara mereka.
ADVERTISEMENT
Meski demikian para perusahaan yang memproduksi margarin masih belum bisa bernafas lega. Pelobian yang berkesinambungan dari Quebec membuat peraturan melawan pewarnaan margarin bertahan hingga tahun 2008 silam.
Tak dapat disangkal, gerakan makanan murni di tahun 1920-an membantu melahirkan butter alami dan mengangkat status margarin lebih tinggi.
Dok: Wikimedia Commons.
Pada tahun 1923, Kongres Amerika Serikat mengesahkan hukum pengesahan/melegalkan bahan-bahan tambahan pada butter, termasuk bahan tambahan khusus yang bisa membuat butter lebih mudah dioleskan. Karena seperti yang para penggemar roti panggang ketahui, margarin lebih mudah rata saat dioleskan di roti.
Sejak itu popularitas margarin pun meroket.
Margarin pun mendapat kredit saat berlangsungnya Perang Dunia II. Ketika kekurangan butter di masa perang memaksa orang menggunakan margarin sebagai persediaan makanan mereka, mereka menyadari bahwa produk yang sudah dikembangkan itu ternyata tak buruk juga sebagai solusi perut kosong.
ADVERTISEMENT
**
Referensi: