Susur Waktu Keberagaman Nama Tanah Air

Potongan Nostalgia
#PotonganNostalgia || Mari bernostalgia! Menjelajah apa yang sudah mulai terlupakan, atau bahkan belum sempat diingat
Konten dari Pengguna
8 Juni 2017 11:23 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potongan Nostalgia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Bola Dunia (Foto: Unsplash)
Berdasarkan catatan bangsa Tionghoa, kepulauan tanah air dinamai Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan. Begitu pun dengan berbagai catatan kuno. Bangsa Indoa menamai kepulauan tanah air dengan Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah Seberang sebagaimana nama turunan dari kata Sansekerta yaitu ‘dwipa’ artinya’ pulau’ dan ‘antara’ artinya ‘luar, seberang’.
ADVERTISEMENT
Tak ketinggalan bangsa Arab menyebut tanah air dengan Jaza’ir al-Jawi alias Kepulauan Jawa. Berasal dari bahasa Arab yakni ‘luban jawi’ yang berarti kemenyan Jawa, mengingat dulu kala para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera.
Bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Asia beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi orang Eropa, Tanah Air mendapatkan julukan “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga sering kali dipakai yakni “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Kala penjajahan Belanda, tanah air kita mendapatkan nama yang terbilang lebih kurangnya resmi yakni Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang pada 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Pada 1820-1887, Eduard Douwes Dekker atau yang lebih dikenal Multatuli pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde yang artinya “Kepulauan Hindia”, meski kurang popular
ADVERTISEMENT
Pada 1847 di Singapura terbitlah sebuah majalah ilmiah tahunan yakni Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) dibawah pimpinan kelola James Richardson Logan (1819-1869). Kemudian, pada 1849, seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Di dalam JIAEA Volume IV, 1850, halaman 66-74, Earl menuliskan artikel "On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations".
Dalam artikelnya, Earl menegaskan bahwa tiba saatnya Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu memiliki nama khas sebab nama Hindia tidaklah tepat. Earl mengajukan dua pilihan nama yakni Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 di dalam artikelnya tertulis “…the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.
ADVERTISEMENT
Earl menyatakan tepat memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl juga berpendapat bahwa bahasa Melayu hampir dipakai di seluruh kepulauan ini.