Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Hitung cepat mencatat kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pemilu Presiden 2019. Mereka meraup 53-55 persen suara. Sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih 43-45 persen suara.
Andi Widjajanto, Ketua Cakra 19—salah satu tim pemenangan Jokowi yang berisi para purnawirawan TNI, meyakini pada angka itu pulalah Jokowi -Ma’ruf akan mengantongi suara berdasarkan real count KPU.
Keyakinan tersebut tak hanya didasari oleh akurasi hitung cepat selama ini, tetapi juga kesiapan strategi dalam mempersiapkan Jokowi melenggang ke periode keduanya. Tim pemenangan Jokowi mengembangkan analisis big data.
“Dari situ kami bisa melihat share of voice dari calon-calon kami, lebih tinggi atau lebih rendah. Dan bisa juga melihat sentimen ke kami, positif atau cenderung negatif. Dengan teknik-teknik algoritma, kami bisa memprediksikan elektabilitasnya akan seperti apa,” kata Andi saat berbincang kepada kumparan, Rabu (17/4) .
Analisis big data ialah proses pengujian set data besar untuk menemukan pola tersembunyi, korelasi, tren, preferensi, dan informasi lainnya. Dengannya, timses Jokowi dapat merancang strategi lebih terarah dan mengetahui pergerakan lawan politik.
Seberapa mujarab analisis big data, dan seperti apa kerjanya. Berikut petikan wawancara kumparan dengan Andi Widjajanto yang sejak 2014 hingga kini membantu Jokowi di Tim Pemenangan.
Seperti apa tim analisis big data kubu Jokowi-Ma’ruf?
Ada monitoring data, survei, melihat trending. Permainan media sosial kan ada mesin monitoring. Misalnya debat, mesin ini memonitoring substansi yang dimainkan.
Ketika misal debat dievaluasi, dan kami langsung mengarahkan hasilnya ke Erick Thohir (Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf). Begitu evaluasi debat dilakukan, Erick butuhnya jam 08.00 pagi, ya hasil evaluasinya sudah disampaikan jam 07.00 pagi.
Adakah perbedaan antara tim analisis data Pilpres 2014 dengan 2019 di kubu Jokowi?
Kalau dari sisi pembentukan tim, (persiapan yang sekarang) relatif jauh lebih lama karena dari awal kami tahu Jokowi akan maju untuk periode kedua, namun saat itu belum tahu siapa cawapresnya. Jadi atas arahan Jokowi, kami sudah bekerja dengan tugas analisis strategis.
Kami menarik data set dari 1999, 2004. Di situ kami bisa belajar dari apa yang terjadi di 2014, dan melihat dinamika politik yang terjadi tiap minggu dan bulan. Dari sisi tim, terutama dari sisi data, kami sekarang jauh lebih siap.
Perbedaan paling mendasar dari 2014 ke 2019 adalah big data. Tahun 2009 dan 2014 kami belum punya kemampuan melakukan analisis jutaan titik data sekaligus. Pada 2019 ini kami punya kemampuan big data analysis.
Timnya juga beragam. Ada yang sudah kerja lama seperti PoliticaWave-nya Yose Rizal. Lalu ada tim Corona ITB (yang terdiri dari para alumni ITB). Ada juga tim di bawahnya Trenggono (Wahyu Sakti Trenggono, Bendahara TKN Jokowi-Ma’ruf).
Itu kami saling compare satu sama lain untuk mencari semacam algoritma yang pas guna memproyeksikan elektabilitas di 2019.
Andi Widjajanto sendiri membawahi Tim Awan yang fokus di media sosial. Tim Awan, Corona, tim Trenggono di TKN, dan PoliticaWave masing-masing mengelola mesin big data. Dengan demikian, secara keseluruhan, Tim Pemenangan Jokowi memiliki empat mesin big data.
Kalau dilihat hasilnya, empat big data ini berada dalam margin of error. Kalau quick count berada pada angka 55-56 persen, hasil prediksi dari big data juga rata-rata 55-57 persen. Itu sesuatu yang baru di 2019, dan membuat kami lebih yakin.
Ketika analisis big data selesai duluan kira-kira jam 10.00-10.30, exit poll jam 12.00-12.30, kemudian quick count kira-kira jam 15.30. Begitu tiga ini keluar dan hasilnya mirip-mirip, ya kami lega.
Jadi terobosan baru di 2019 ini terutama analisis big data.
Pengumpulan data sudah bergerak jauh sebelum Pemilu 2019 dimulai. Apa saja yang dikerjakan tim?
Tergantung penugasan. Kalau lagi diminta untuk membuat pemetaan rinci sampai tingkat daerah pemilihan, ya kami lakukan. Kami buat pemetaan elektoral sampai tingkat TPS, sampai tingkat desa juga bisa.
Diminta bikin pemetaan soal simpul, ya kami lakukan. Membuat pemetaan daerah-daerah mana yang dikerjakan (untuk pemilu nanti). Jadi semua tergantung permintaan Bapak (Jokowi). Variabel utama kami elektabilitas.
Artinya saat memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres, sudah menghitung risiko?
Iya, sudah dihitung.
Sejak kapan kerja analisis big data dimulai?
Oktober 2018. Begitu dua pasangan capres-cawapres stabil (sudah ditetapkan KPU), kami siapkan big data.
Seberapa signifikan big data dalam mengukur elektabilitas?
Kami melihat percakapan di media sosial, berita online, berita mainstream, termasuk TV dan radio. Dari situ kami bisa melihat share of voice dari calon-calon kami, lebih tinggi atau lebih rendah.
Kami bisa juga melihat sentimen positif atau cenderung negatif. Dengan teknik-teknik algoritma, kami bisa memprediksikan elektabilitasnya akan seperti apa.
KPI (key performance indicator) kami itu ada empat. Pertama, world cloud. Kedua, social network analysis. Ketiga, virality trending topic dari satu query (pertanyaan) yang kami mainkan. Keempat dan paling utama, grafis net sentiment untuk mengetahui Jokowi dan Prabowo kalau dibandingkan vis-à-vis itu seperti apa.
Jadi analisis big data itu jadi pertimbangan Jokowi dalam bertindak?
Iya, dan itu didiskusikan ramai-ramai. Pengambil keputusannya Jokowi, dan pas kampanye Erick Thohir.
Apakah, misal, waktu Jokowi jalan-jalan dengan Jan Ethes atau naik MRT dengan Iriana, sengaja didesain untuk menjadi viral berdasarkan analisis big data?
Sebagian besar memang sudah dirancang, tapi kami sangat mengandalkan insting politik Jokowi. Misalnya saat Jokowi di Bandung naik sepeda, lalu pakai pakaian pejuang ‘45, itu insting politik betul. Termasuk saat debat ucapin soal Dilan, unicorn.
Rabu Putih juga insting politik Pak Jokowi. Itu diputuskan sebelum kampanye pertama di Banten.
Kami bisa saja memunculkan warna lain yang belum pernah dipakai (kubu Prabowo). Tapi Jokowi mengatakan, “Loh di surat suara kan saya pakai baju putih. Mereka (02) mengklaim putih nggak?” (Dijawab) “Nggak Pak, mereka Rabu Biru.”
Rabu Putih adalah ajakan Jokowi kepada pendukungnya untuk mengenakan baju putih ke TPS saat hari pencoblosan, Rabu 17 April. Sementara Rabu Biru merupakan akronim dari “Rakyat Butuh Pemimpin Baru.” Gerakan kubu 02 itu mengambil inspirasi dari kemeja biru muda yang kerap dikenakan Sandiana Uno.
Jadi Jokowi melakukan aksi lebih dulu, lalu diukur oleh big data?
Kami ukur. Kalau positif kami push. Nah, kadang-kadang ada eksposur bagus dan tinggi, tapi sentimennya negatif.
Misalnya?
Biasanya ketika Jokowi tiba-tiba marah dan agresif. Nada marah itu cenderung negatif. Share of voice-nya tinggi tapi sentimennya negatif.
Hal sama terjadi pada kubu 02. Ketika Prabowo tiba-tiba marah, share of voice-nya tinggi, sering kali mengalahkan share of voice Jokowi. Kami melihat di mesin, mereka dominan banget. Tapi ketika dilihat sentimennya, negatif.
Jokowi pernah omong “genderuwo” dan “sontoloyo”, itu juga sentimennya negatif?
Negatif. Share of voice-nya tinggi tapi negatif. Maka kami mengatakan ke Bapak, harus beralih ke strategi lain.
Kata “genderuwo” diucapkan Jokowi saat acara pembagian sertifikat tanah di Tegal, Jawa Tengah, 9 November 2018. Ia berkata, “Masa masyarakat dibuat ketakutan? Enggak benar, kan? Itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti.”
Sementara kata “sontoloyo” disebut Jokowi di sela pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 23 Oktober 2018. Ia berucap, “Hati-hati, banyak politik yang baik-baik, tapi juga banyak sekali politik sontoloyo.”
Daerah-daerah yang dikunjungi Jokowi selama kampanye ditentukan lewat big data?
Dari big data, simpul relawan, partai. Jadi banyak masukan. Kami sharing analisis big data, lalu disinkronkan dengan kebutuhan simpul relawan, partai, elektoral, perolehan suara, segmentasi demografi. Itu semua diramu untuk menentukan titik mana yang akan dikunjungi. Akhirnya dapat 155 titik yang dikunjungi Jokowi selama 21 hari kampanye terbuka.
Lihat pergerakan lawan juga melalui big data?
Kami punya peta bernama area of centrality. Jadwal kunjungan 02 ke daerah, terutama Sandi, kan terbuka sekali di website mereka. Jadi kami langsung bisa tahu jam segini ia ke mana, sudah mengunjungi berapa titik.
Data-data itu tinggal kami masukkan saja ke big data. Ternyata hasil analisisnya, sebagian besar kunjungan 02 itu ke daerah (basis massa) mereka sendiri. Jadi area of centrality-nya meleset. Sebagian besar kunjungan Sandi itu salah sasaran, salah titik.
Makin sentral, makin penting untuk dikunjungi. Kami pakai peta area of centrality itu untuk memberi saran ke Pak Jokowi. Kami tahu titik-titiknya pakai big data. Kalau berkunjung ke titik-titik itu, virality informasinya cepat.
Nah, mereka (kubu 02) nggak punya yang kayak begini. Jadi ketika kami ulang (mengunjungi daerah yang sudah didatangi 02), kami tangkap simpul dan titik sentral yang benar, itu yang hadir bisa lima kali lipat dari massa Sandi.
Berarti analisis big data efektif sekali, ya?
Efektif. Analisis-analisis big data jadi salah satu andalan kami. Itu terobosan utama dan pembeda besar dengan (kemampuan Tim Jokowi ) di 2019. Sekarang kami banyak terima data scientist.