Daniel Dhakidae: Ende dan Pancasila

Fially Fallderama
Alumnus STFT Jakarta
Konten dari Pengguna
7 April 2021 19:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fially Fallderama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Daniel Dhakidae bersama dengan Wijayanto di Universitas Leiden, Belanda.
zoom-in-whitePerbesar
Daniel Dhakidae bersama dengan Wijayanto di Universitas Leiden, Belanda.
ADVERTISEMENT
The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry adalah magnum opus dari Daniel Dhakidae yang dipertahankan di Cornell Uninversity, New York, Amerika Serikat. Menurut Evi Mariani, sampai sekarang desertasi ini adalah karya ilmiah terbaik sebagai rujukan sejarah jurnalisme Indonesia.
ADVERTISEMENT
Desertasi ini dengan gamblang menjabarkan tentang kejahatan orde baru terhadap demokrasi, khususnya koran-koran politis. Dalam desertasinya ia menguliti relasi kapitalisme, industri pers, dan demokrasi sehingga terbuka dengan gamblang bobroknya dinamika politik Orde Baru. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau desertasi ini mendapatkan penghargaan the Lauriston Sharp Prize dari Sotheast Asian Program Cornell University karena telah memberikan sumbangan besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari desertasinya terpampang jelas ajakan Dhakidae untuk berpikir kritis-analitis terhadap kekuasaan represif, bukan malah mempercayainya sehingga tirani itu menjadi abadi. Salah seorang pengajar di Murdoch University, Ian Wilson mengatakan Daniel Dhakidae adalah pelopor berpikir kritis pada zaman orde baru yang warisan dan kontribusinya akan terus hidup.
Kecendekiawanan Dhakidae bukan ilmu untuk ilmu itu sendiri, melainkan ilmu untuk publik. Dengan begitu, Dhakidae menghidupi ketegangan antara academia dan societa sehingga ketegangan itu memberikan warna juga inspirasi bagi dinamika sosial, politik dan budaya di Indonesia. Sekarang Dhakidae telah kembali kepada rengkuhan Ilahi pada 6 April 2021. Kepergiannya menyisakan banyak kenangan kepada khalayak kawan sejawatnya, khususnya di LP3ES dan Kompas juga beberapa yayasan advokasi publik. Kepergian Dhakidae bukan berarti pemikiran dan kontribusinya ikut pergi dan lenyap, melainkan akan terus hidup melalui ingatan dan kenangan kritis yang inspiratif bagi geliat demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kontemplasi dan Ekskavasi Ende
Saya belum pernah berjumpa langsung dengan Daniel Dakhidae, tetapi saya pernah menjumpainya secara tulisan dalam harian Kompas sekitar tahun 2013 saat masih menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi. Kalau saya tidak salah, Koran itu sedang meliput Daniel Dhakidae tentang peluncuran buku terbitan Prisma dengan ragam pemikiran cendekiawan tentang Soekarno: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar (2013).
Setelah membaca liputan itu, tanpa pikir panjang saya beli buku itu dengan uang jajan yang minimalis dengan harapan buku ini dapat menjadi investasi pengetahuan di masa depan. Akan tetapi, terdapat penggalan ingatan saya tentang ungkapan Dhakidae dalam koran itu yakni Dhakidae bermimpi bertemu Soekarno lalu berucap kepada Dhakidae, “Kalau soal Ende Daniel yang paling tahu.”
ADVERTISEMENT
Entah ingatan saya tepat atau tidak, tetapi itu menarik karena seorang intelektual kritis didesak oleh kontemplasi untuk mengekskavasi Soekarno dan Ende. Memang di sekitaran tahun itu Dhakidae bersama dengan rekan lainnya di Yayasan Ende Flores (yef) sedang merestorasi peninggalan sejarah pembuangan Soekarno di Ende sehingga sejarah pembuangan Soekarno di sana masuk dalam radar percakapan kritis sejarah.
Hasrat Dhakidae terhadap ekskavasi sejarah pembuangan Soekarno di Ende dipicu oleh kesadarannya bahwa locus sejarah pembuangan di Ende kurang menarik perhatian para cendekiawan. Padahal, pembuangan di Ende adalah bagian penting bagi Soekarno termasuk bagi Indonesia karena di tempat ini Bung Karno mengalami pencerahan dan menggali Pancasila secara utuh sehingga melengkapi pemikiran dan perjuangannya kala di Jawa.
ADVERTISEMENT
Menurut Dhakidae, saat di Ende Soekarno mengalami pemulihan karena berbeda dengan di Jawa, selama di Ende Soekarno menjadi sangat kontemplatif-relijius. Itu terlihat dalam kehidupan beragamanya, ia menjadi rajin salat lima waktu, menyelenggarakan diskusi agama setiap hari Rabu malam di rumah, dan setiap Jumat ia ke masjid untuk mendirikan salat Jumat.
Akan tetapi, pertobatan Soekarno bukan jatuh kepada konservatisme sempit dalam beragama, melainkan kepada diskursus teologi sehingga iman dihayati sebagai sesuatu yang intelektual. Geliat intelektualitas Soekarno yang pulih di Ende pun terlampiaskan di Gereja Katolik di Ende bersama para Imam Katolik salah satunya adalah Pater Huijtink. Akibatnya diskursus intelektual di perpustakaan gereja itu, merangsang nalar Soekarno untuk mengembangkan teologi Islam sehingga ia kerap bersurat dengan TA Hassan.
ADVERTISEMENT
Dari Ende Soekarno menggugat feodalisme dan konservatisme dalam Islam sehingga lahir buku Islam Sontoloyo. Tidak hanya terhenti di situ, kesadaran teologis-kontemplatif Soekarno juga melengkapi puzzle pemikirannya yang masih rumpang sehingga di Ende ia menemukan Pancasila. Artinya, dimensi Ketuhanan atau teologis ditemukan oleh Soekarno di Ende sehingga melengkapi dimensi lainnya. Ende sebuah kota nelayan yang kecil dan sepi tempat Bung Karno merenung sampai menemukan Pancasila.
Dengan kekayaan dan kompleksitas, sejarah semacam ini Dhakidae hendak menyodorkan sebuah sisi sejarah penting Indonesia yang tersembunyi dalam jangka waktu yang panjang karena di Ende tanah pembuangan itu justru Pancasila tergali. Tampaknya, tanpa Daniel Dhakidae, historisitas Pancasila di Ende tidak tersoroti secara filosofis-historis.
Selain Ende, Dimensi Mistik Juga Tersingkir
ADVERTISEMENT
Dari paparan sejarah pembuangan Soekarno di Ende, Dhakidae hendak membangun sebuah paradigma mistik dalam geliat kemerdekaan Indonesia dan Pancasila. Dimensi mistik itu dipaparkan oleh Dhakidae dalam Dari Tempat Pembuangan Menjadi Rumah Pemulihan (2013) para Imam Katolik yang kerap membuka ruang perpustakaan dan diskusi yang hangat mungkin menjadi sumbangan subur bagi pemikiran-pemikiran agamanya yaitu gabungan antara diskusi, aksi, teater dan refleksi berkait dalam menghasilkan perumusan Pancasila.
Dalam Sepinya Ende di bawah pohon sukun Soekarno menembus ranah transenden sehingga ia melihat segala kompleksitas yang saling berkait satu dengan yang lain. Dimensi mistik dapat terjadi ketika materialitas terajut dengan idealitas. Dalam hal ini, Dhakidae hendak menyampaikan bahwa terdapat kontribusi pluralitas agama dalam penggalian Pancasila, khususnya dalam sudut pandang sila Ketuhanan. Selain menggali Ende, Dhakidae juga hendak memunculkan dimensi mistik dalam Pancasila setelah sekian lama Pancasila dieksploitasi oleh Orde Baru dan Soekarno difosilkan secara pemikiran politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selamat jalan Daniel Dhakidae, wawasan dan pemikiran anda akan menjadi oase hari-hari ini karena kecendekiawanan mulai tersingkir dalam ruang publik dan digantikan oleh pendengung populer minus intelektualitas sehingga viral lebih utama ketimbang akal.***