Ende sebagai Momen Teologis Soekarno

Fially Fallderama
Alumnus STFT Jakarta
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2020 6:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fially Fallderama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Situs rumah pengasingan Bung Karno di Ende Foto: ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
zoom-in-whitePerbesar
Situs rumah pengasingan Bung Karno di Ende Foto: ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau kita jujur musuh terbesar Pancasila adalah agama bukan kesukuan, papar Yudian Wahyudi kepala BPIP pengganti Yudie Latif (Detik.com, 12 Februari 2020). Argumen yang dilontarkan oleh Yudian cukup membuat geger masyarakat Indonesia sehingga memicu pertanyaan pun protes dari beberapa kalangan. Sekjend Nahdlatul Ulama (NU) Helmy Faizal Zaini menyatakan bahwa perlu menunjukkan letak agama sebagai musuh Pancasila. Karena, kelima sila dalam Pancasila itu sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al Quran. Berbeda dengan sekjend NU, sekjend Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, meminta kepada Joko Widodo untuk memecat Wahyudi sebagai kepala BPIP dengan alasan pemikirannya akan mengancam eksistensi negara serta berpotensi melahirkan pemikiran untuk memberangus agama. Alhasil, Wahyudi meluruskan pernyataannya bahwa ia tak bermaksud mempertentangkan agama dengan Pancasila, melainkan terdapatnya kalangan minoritas dalam mayoritas Islam yang berusaha menggerus Pancasila. Ini yang dimaksud sebagai musuh terbesar dari Pancasila.
ADVERTISEMENT
Selain Yudian Wahyudi, sebagian masyarakat juga memiliki pandangan senada soal relasi agama dan pancasila. Pasca-soeharto gejolak konflik antaragama dan politik identitas kian memanas. Penolakan pembangunan rumah ibadah juga aksi teror terhadap kaum minoritas makin menjadi tradisi dalam kantung-kantung mayoritas agama. Tampaknya, realitas sosial semacam ini membentuk paradigma masyarakat terhadap bahaya fanatisme sebuah agama dan secara tak sadar kenyataan ini mengantar bangsa ini kepada realitas historis Pra-Indonesia soal polarisasi identitas politik dan agama. Alhasil, Pancasila dilihat sebagai banteng untuk mengadang gelombang fanatisme agama yang mengancam kesatuan Republik Indonesia. Dengan begitu, sebagian masyarakat akan selalu bersikap sinis terhadap agama dalam gerak kebangsaan Indonesia. Akan tetapi, di dalam Pancasila terdapat sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sila tersebut secara gamblang melibatkan agama dalam kontrak sosial para Ibu dan Bapak bangsa Indonesia, berarti apakah benar agama adalah musuh Pancasila atau pancasila kerap bersifat sinis terhadap agama? Mungkin ini menjadi pertanyaan mendasar bagi setiap pembaca Pancasila secara historis-filosofis.
ADVERTISEMENT
Ende sebagai Rahim Pancasila
Setelah pemenjaraan tidak terlalu mengganjar Soekarno atas aktivitas politik kritisnya terhadap penguasa kolonial, maka pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk membuang Soekarno jauh dari pulau Jawa yaitu ke pulau Ende, Flores. Pembuangan lebih menakutkan dari pemenjaraan karena pembuangan itu masa berakhirnya tidak definitif sedangkan pemenjaraan yang lebih definitif secara waktu. Masa akhir pembuangan sangat bergantung pada keputusan gubernur jenderal dan penilaian masyarakat terhadap tahanan politik. Alhasil, sebagai seorang tawanan hidup dengan segala ketidakpastian di tanah pembuangan. Bisa dibayangkan di tengah ketidakpastian di tanah orang lain para tawanan juga mengalami keterasingan dengan tanah yang sama sekali tidak memiliki ikatan historis-sensitif sehingga hidup yang dijalaninya adalah hidup yang kosong dan sepi dari geliat kultural-genetis.
ADVERTISEMENT
Namun, Hilmar Farid dalam Pengasingan dalam politik kolonial (2013) mengatakan bahwa para pemimpin yang dibuang malah mampu mengembangkan gagasan dan strategi baru sehingga pengasingan menjadi kekuatan yang tidak disadari oleh pemerintah kolonial. Artinya, masa pembuangan dan pengasingan menjadi momen inovatif-kreatif bagi para tahanan politik, termasuk bagi Soekarno. Di Ende, ia menjadi terasing dari politik pergerakan sehingga ia lebih banyak berinteraksi dengan literasi, agama dan budaya. Alhasil, keterasingan dan kesepian di pembuangan malah memberikan kesadaran teologis kepada Soekarno. Serupa dengan penjabaran Karl Barth soal teologi yaitu konsekuensi dari teologi adalah kesepian. Ini disebabkan oleh karena teologi itu bersifat kritis bahkan revolusioner. Dengan begitu, selama di Ende ia banyak membaca dan mengkaji soal agama dan teologi Islam. Selama di Jawa ia menghabiskan waktunya untuk mengkaji Marxisme dan Kapitalisme, namun di Ende ia malah menemukan dasar teleologis Islam dalam ruang publik. Kemungkinan besar ruang intelektual ini ditemukan oleh Soekarno saat ia banyak membaca dan berdiskusi dengan para imam Katolik di Ende. Menurut Daniel Dhakidae dalam Dari Tempat Pembuangan Menjadi Rumah Pemulihan (2013) kita melihat bahwa Immaculata atau para pastor yang selalu membuka ruang perpustakaan dan diskusi yang hangat mungkin menjadi sebuah sumbangan subur bagi Soekarno untuk pemikiran agamanya yaitu gabungan diskusi, aksi, teater dan refleksi-ketiganya bergandengan tangan dalam menghasilkan Pancasila. Dengan demikian, perjumpaan Soekarno dengan Katolisitas malah memperkaya wawasan teologis Islamnya bahkan berdialektika dengan gagasan sosial politiknya. Di Ende ia menemukan salah satu serpihan pemikiran yang terselubung yaitu dimensi teologis/agama dalam geliat sosial politik. Yudi Latief mengatakan kesadaran religiositas itu memberikan tambahan dimensi selain sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi yakni sosio-religius. Akhirnya, Ende dapat dilihat sebagai rahim Pancasila, karena di tempat pembuangan ini Soekarno menemukan ruang intelektual sehingga ia berdialektika dengan ragam gagasan sebagai imajinasi Indonesia kelak.
ADVERTISEMENT
Relasi Progresif
Akhirul kalam, apakah agama bermusuhan atau bertentangan dengan Pancasila? Secara historis, pergerakan sosial politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari roh agama. Perlu diakui bahwa dalam pentas sejarah nasional, agama adalah salah satu pemicu gerakan politik di Hindia Belanda. Pembuangan atau pengasingan politik bermaksud menjauhkan seorang tokoh salah satunya guru agama dari pendukung dan masyarakat. Dalam hal ini, kita dapat melihat dalam sejarah Haji Misbach, salah seorang tokoh kiri dari Jawa dan kemudian dibuang ke Manokwari oleh Kolonial Belanda. Ini menandakan bahwa agama dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas ekonomi-politik pemerintah kolonial, tetapi di sisi lain dapat dilihat bahwa agama di tengah tekanan sosial-politik dapat melahirkan nalar-kritis dan progresivitas. Soekarno melihat kecenderungan ini dalam layar sejarah pergerakan Pra-Indonesia. Oleh sebab itu, ia menyematkan “sila ketuhanan” dalam Pancasila sebagai bentuk realitas historis juga imajinasi-kritis tentang agama yang melibat dalam perkara sosial, politik dan budaya.
ADVERTISEMENT