Menegasi Fetisisme Politik 98

Fially Fallderama
Alumnus STFT Jakarta
Konten dari Pengguna
13 Mei 2020 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fially Fallderama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Acara "Melawan Kebangkitan Orde Baru" Foto: Teuku Valdy/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Acara "Melawan Kebangkitan Orde Baru" Foto: Teuku Valdy/kumparan
ADVERTISEMENT
Rezim Orde Baru dibawah kekuasaan Presiden Soeharto bertahan selama hampir 32 tahun, dan dijatuhkan oleh mahasiswa pada tahun 1998. Demikian pesan historis-moral dari akhir film Gie besutan Mira Lesmana dan Riri Riza tahun 2005. Pesan ini seolah memberikan imajinasi kepada kaum muda tentang merawat nalar kritisnya dan peran politis mereka dalam ruang publik. Namun, di sisi lain pesan itu seolah juga memberikan glorifikasi terhadap pergerakan mahasiswa, khususnya Reformasi 1998. Tak jarang dari sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap gerakan 1998 sebagai aksi kritik-heroik mahasiswa terhadap kekuasaan Orde Baru. Oleh karena itu, gerakan ini dianggap sebagai simbol pembebasan dan pembaruan Indonesia
ADVERTISEMENT
Reformasi 1998 digagas oleh kaum intelektual (termasuk pelajar dan mahasiswa), budayawan dan cendikiawan seolah telah membuka peradaban baru dalam geliat sosial politik Indonesia. Karena, gerakan itu telah mengembalikan demokrasi dan supremasi sipil dalam gumul politik nasional yang selama 32 tahun direpresi oleh aparatur negara.
Alhasil, pasca lengsernya Soeharto reformasi 1998 menjadi tolok ukur moral politik hari ini. Akan tetapi, Indonesia pasca Reformasi 1998 masih memuat tradisi-tradisi politik masa lampau. Bahkan, bukan hanya tradisi-tradisi masa lampau melainkan juga aktor-aktor terkait juga masih hidup dengan lentur dan leluasa dalam kancah sosial-politik. Kenyataan ini, berbeda jauh dengan hasil pergerakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) angkatan 1966 yang benar-benar melahirkan tatanan baru (belum tentu baik) sehingga pasca 1965 Indonesia benar-benar memiliki wajah lain. Oleh sebab itu, realitas ini menyatakan bahwa pergumulan sebuah bangsa tidak pernah berakhir, melainkan ia terus-menerus bergerak entah maju atau mundur. Dengan begitu, kita perlu mengotopsi tubuh Reformasi 1998 agar dapat menggerakan peradaban politik ke arah yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Reformasi 1998 Sama Dengan Pasca-Soeharto
Secara Historis, Orde Baru adalah rezim yang lahir dari gabungan kekuatan yang besebrangan dengan era Demokrasi Terpimpin dibawah Presiden Soekarno. Kalangan-kalangan yang beseberangan dengan Demokrasi Terpimpin adalah militer (khususnya, Angkatan Darat), pelajar/mahasiswa dan Islam. Pasca Demokrasi Terpimpin terjadi penciutan terhadap kalangan-kalangan itu yakni ABRI, Birokrat dan Golkar (Sipil politik dan profesional). Kemudian, ketiga kelompok itu menjadi pilar utama rezim Orde Baru dalam menjalakan roda pemerintahan. Jika dilihat secara gamblang, nuansa kekuasaan patronase dalam Orde Baru begitu nyata, tetapi jika dilihat secara mikroskopik maka terdapat jaringan-jaringan kekuasaan yang tak kasat mata yaitu oligarki.
Dalam buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama menjabarkan dengan terang tentang skandal penggulingan Presiden RI Keempat yakni Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Menurut berkas-berkas yang ditemukan oleh Virdika Utama di kantor partai Golongan Karya (Golkar), penggulingan Gus Dur melibatkan jaringan oligarkis Orde Baru. Para oligark itu secara gamblang menyusun strategi untuk menendang Gus Dur dari tampuk kekuasaan eksekutif. Menarik karena pada gelanggang baru yaitu Reformasi 1998 malah diisi oleh pemain lama pada masa Orde Baru. Selaras dengan pengalaman saya saat melihat dinamika politik pasca reformasi dalam media cetak pun tayang sehingga saat membaca koran atau menonton berita tentang sosial-politik pun terheran, mengapa wajah-wajah elit Orde Baru masih berlenggang dengan lentur tanpa rasa bersalah atau malu. Bahkan, sampai hari ini para elit Orde Baru masih mengisi pos-pos strategis di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dari paparan di atas disimpulkan bahwa Orde Baru adalah sebuah tatanan nilai dan makna yang dihayati oleh sekelompok elit baik dalam lingkup militer, birokrasi, industri ekonomi, akademik dan budaya. Secara kompleks, Orde Baru perlu dibaca sebagai kultur bukan sekadar patronase Soeharto, melainkan sebuah jaringan kekuasaan yang solid, sistematis dan masif. Secara tidak langsung, pelengseran Soeharto pada 21 Mei 1998 seolah hanya mengganti/meregenerasi kepemimpinan Orde Baru, karena hanya subjek semata yang didongkel bukan mendekonstruksi kultur lama. Itu terlihat dalam kasus penangkapan beberapa orang yang kritis terhadap negara pada tahun 2019-2020 seperti Dandhy Dwilaksono, Ananda Badudu, Robertus Robet dan Ravio Patra. Atau, seputar permasalahan proyek negara yang melibatkan perusahaan milik/dipimpin oleh beberapa staf khusus Presiden RI yang kemudian menuai polemik di tengah masyarakat. Rentet peristiwa itu adalah tradisi sosial-politik Orde Baru, namun sebagian tidak terlalu menyadari semiotika itu karena menganggap Orde Baru sudah berakhir. Kenyataan ini menunjukkan bahwa absennya kesadaran publik terhadap dinamika sosial, politik dan budaya. Absennya kesadaran itu disebabkan oleh ahistoris (kelupaan) dan fetisisme (kerasukan) publik. Akibat dari fetis terhadap gerakan Reformasi 1998 berujung kepada glorifikasi heroik kalau Orde Baru sudah selesai sehingga lupakan kekeliruan masa lalu dan sambut kejayaan masa mendatang. Alhasil, terbentukalah masyarakat ambigu yang anti-Soeharto namun mengharap bahkan menuntut arah bangsa ini selaras dengan tradisi Orde Baru. Dengan begitu, Orde Baru sebagai kultur tetap hidup dengan senyap sembari menyelinap ke dalam tatanan baru untuk berkuasa kembali dengan wajah yang samar.
ADVERTISEMENT
Menegasi Kultur Orde Baru
Soe Hok Djin (Arief Budiman), salah satu aktivis mahasiswa UI angkatan 1966 yang ikut melahirkan rezim Orde Baru. Lambat laun, ia menyadari bahwa Orde Baru semakin meninggalkan prinsip-prinsip demokratis dan humanisme. Akhirnya, secara moral-intelektual ia beroposisi dengan Orde Baru. Dari sini terlihat bahwa kebenaran itu tidak absolut melainkan dinamis entah ke arah kebih baik atau buruk. Untuk menjaga dinamika itu diperlukan kesadaran dan kritisisme yang aktual-dinamis. Reformasi 1998 sudah bergulir selama 22 tahun, tetapi sampai hari ini tradisi politik Orde Baru masih hidup secara senyap dan kian masif. Oleh karena itu, Reformasi 1998 sebagai sebuah narasi sejarah perlu dikritik kembali agar tidak menjadi fetisisme politik progresif mahasiswa. Kalau akhirnya ia hanya menjadi fetisisme politik progresif semata, maka gerakan ini hanya mengulang Orde Baru semata bukan peradaban sosial. Reformasi Protestant 1517 tidak hanya memberikan perubahan kepada kekristenan melainkan juga kepada masyarakat dari segi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Martin Luther melancarkan perubahan itu melalui tiga medium yaitu politik, budaya dan teknologi. Tampaknya, selain kesadaran politis Reformasi 1998 perlu meniru gerakan reformasi Protestant agar dapat menggasak kultur Orde Baru dalam masyarakat sehingga dapat terwujud transformasi dalam ruang publik.
ADVERTISEMENT
*) Fially Fallderama adalah koordinator Ruang Inkarnasi Sosial (Risol) dan alumnus STFT Jakarta.