Tingginya Pajak Pupuskan Lahirnya Para Penulis Muda

6 September 2017 16:46 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi penulis (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penulis (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulis novel, Tere Liye memutus kontrak dengan penerbit Kompas Gramedia dan Republika. Besaran pajak royalti sebagai penulis buku yang menurutnya tak adil, adalah hal yang melatarbelakangi keputusan penulis novel "Hafalan Shalat Delisa" itu.
ADVERTISEMENT
General Manager Penerbit Republika, Syahruddin, menghormati keputusan Tere Liye. Keputusan Tere Liye yang memutus kontrak dengan pihaknya, menurut Syahruddin, tak dapat digoyahkan lagi.
Berbagai upaya telah ia lakukan untuk membujuk Tere Liye tak jadi memutus kontrak tersebut, namun penulis yang juga berprofesi sebagai akuntan itu tetap pada pendiriannya. Padahal, sedikitnya lima belas buku karya Tere terbitan Republika, selama ini hampir seluruhnya menjadi best seller.
"Kita silaturahmi ke tempat dia di Bandung. Dia datang di kantor. Memang dia tetap pada keputusan dia. Mau bagaimana lagi, kita menghormati keputusan Tere," kata Syahruddin kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (6/9).
Syahruddin mengaku sependapat dengan Tere Liye perihal besaran pajak yang dibebankan kepada penulis. Ia menegaskan hal tersebut dengan membandingkan pajak hiburan yang sudah dihapuskan Menteri Keuangan pada 2015.
ADVERTISEMENT
"Nah kalau di situ saja pemerintah mau menghapus pajak untuk hiburan, yang jelas-jelas hanya untuk hiburan semata, itu sudah dicabut. Kenapa yang di industri perbukuan, yang jelas-jelas untuk mencerdaskan bangsa, justru pajaknyaa begitu besar?" ujar Syahruddin.
Padahal dalam industri penerbitan buku, kata Syahruddin, secara tidak langsung tak hanya penulis yang terbebani membayarkan royalti. Penerbit dan pembaca buku sekalipun, juga ikut berkontribusi membayar pajak.
"Secara keseluruhan, pajak yang diterima di dunia perbukuan dari kertas, royalti, Ppn, kan cukup banyak. Belum royalti. Pembaca yang beli buku itu juga sebenarnya kena pajak. Sudah kena pajak," tegas Syahruddin.
Mencuatnya keluhan Tere Liye --yang puluhan karyanya digemari anak muda-- soal beban pajak royalti penulis buku komersil, menurut Syahruddin, berpotensi mempengaruhi semangat para penulis pemula yang ingin menelurkan karyanya lewat penerbit.
ADVERTISEMENT
"Kita tidak bisa berharap banyak dengan hadirnya penulis-penulis baru lagi, kalau memang pada kenyataannya pajak yang dibebankan kepada penulis terlalu besar," jelas dia.
Darwis 'Tere Liye' (Foto: ub.ac.id/Fb/Tere Liye)
zoom-in-whitePerbesar
Darwis 'Tere Liye' (Foto: ub.ac.id/Fb/Tere Liye)
Syahruddin lalu mengomentari pengesahan Undang-Undang Sistem Perbukuan oleh Komisi X DPR, yang disebut bertujuan untuk mendorong kemampuan literasi dan minat baca masyarakat.
Dia menyesalkan pengesahan Undang-Undang itu. Pasalnya dalam peraturan itu, tak ada sedikit pun pembahasan soal pajak yang harus ditanggung pelaku industri perbukuan.
"Kita berharap dari pemerintah sendiri, DPR juga, untuk benar-benar melakukan revisi Undang-Undang. Artinya Undang-undang yang ada belum memberikan kenyamanan bagi pelaku industri perbukuan," kata Syahruddin.
Buku Tere Liye (Foto: Facebook/Tere Liye)
zoom-in-whitePerbesar
Buku Tere Liye (Foto: Facebook/Tere Liye)
Syahrudin mengaku telah sejak lama berdiskusi perihal pajak royalti penulis bersama rekan-rekannya, yang tergabung dalam Ikatan Penerbit lndonesia (IPI). Ia bahkan telah melaporkan keluhan tersebut ke Dirjen Pajak. Namun menurutnya Dirjen Pajak mengaku tak bisa berbuat banyak, karena hanya melaksanakan tugas sesuai Undang-Undang. "Kita berharap ada keringanan dalam bidang ini," ucap Syahruddin.
ADVERTISEMENT
Keputusan Tere Liye untuk tak lagi menerbitkan buku, sontak mengejutkan para netizen pembaca bukunya. Namun dalam sebuah postingan di akun Facebook miliknya, Tere Liye mengatakan dirinya akan tetap berkarya menelurkan tulisan-tulisan yang dapat dinikmati para pembacanya secara gratis di media sosial.