Literasi Digital Sebagai Kunci Menghadapi Era Post-Truth: Pemilu Indonesia 2024

PRETTY GABY LAUDYA -
Mahasiswa Hubungan Internasional UII
Konten dari Pengguna
11 Januari 2024 11:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PRETTY GABY LAUDYA - tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/photos/hands-ipad-tablet-technology-820272/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/photos/hands-ipad-tablet-technology-820272/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era yang semakin maju, media sosial telah berkembang menjadi salah satu sumber yang paling banyak digunakan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi juga memiliki efek negatif, misalnya masyarakat terjebak dalam penyebaran berita palsu atau hoax.
ADVERTISEMENT
D’Ancona (2017) menyatakan bahwa era post-truth merupakan era di mana rasionalitas digantikan oleh emosionalitas, kejujuran dan akurasi tidak lagi menjadi prioritas utama dalam pertukaran politik. Dalam konteks media massa, maka media massa tidak pernah dan tidak akan lebih banyak memberikan kebenaran atau kenyataan secara apa adanya. Media massa tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, memahami kebenarannya dan memberitahukan kepada publik. Media massa justru kerap mendahului bahkan kerap menciptakan peristiwa untuk menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran.
Post-truth berarti ketidakjelasan yang bermunculan dari fakta-fakta objektif, dengan kata lain ketika fakta objektif mulai memudar dan hoaks justru dianggap sebagai kebenaran. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa ketika media massa memberitakan sebuah isu, maka sebuah media tersebut pasti mempunyai sebuah patokan penentu dalam menyiarkan berita kepada masyarakat. Artinya ketika media massa menjalankan fungsinya, maka para jurnalis tidak dapat begitu saja memberitakan sebuah realitas terhadap isu yang sedang terjadi dan yang akan tampil di masyarakat biasanya didasarkan pada pandangan yang berlandaskan pada sebuah kepentingan perusahaan media.
ADVERTISEMENT
Adanya fenomena ini berdampak pada pergeseran minat masyarakat terhadap media massa. Artinya, ragam saluran media daring berbasis internet telah memperkaya saluran informasi hingga menghilangkan media massa dari sebagian memori masyarakat. Alternatif penyediaan informasi melalui media seperti instagram, facebook, maupun twitter sangatlah berpotensi menimbulkan berita yang tidak aktual. Contohnya seperti penyebaran hoax dan informasi yang tidak jelas terkait dengan para calon presiden seperti Prabowo, Ganjar, dan Anies telah menjadi perbincangan umum dalam konteks Pemilu Indonesia 2024.
https://pixabay.com/photos/fake-news-hoax-press-computer-4881488/
Menurut hasil identifikasi yang disampaikan oleh menteri kominfo, ada sekitar 203 isu hoaks yang bertebaran di media sosial dan bahkan banyak yang masih viral. Salah satu temuan hoaks terbanyak berada di platform facebook dan instagram. Peningkatan konten Hoaks terjadi seiring perjalanan pemilu yang sudah makin dekat dan bahkan makin banyak pula hoaks-hoaks baru yang bermunculan. Salah satu bentuk nyata propaganda nya adalah ditemukan sebuah video viral di Facebook yang mengatakan relawan cawapres no urut 2, yakni Gibran Rakabuming Raka menganiaya relawan pasangan calon lainnya.
ADVERTISEMENT
Disebutkan bahwa relawan calon presiden Ganjar Pranowo adalah relawan paslon yang dianiaya tersebut. Namun Fakta sebenarnya adalah bahwa klaim mengenai penganiayaan oleh relawan Gibran Rakabuming Raka terhadap relawan Ganjar Pranowo ternyata tidaklah benar alias hoaks. Dikutip dari kompas.com, penyebaran klaim dalam video tersebut berasal dari insiden penganiayaan yang diduga dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap relawan pasangan capres-cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Namun, hingga saat ini, tidak ada bukti kredibel yang menunjukkan bahwa pelaku penganiayaan tersebut adalah relawan Gibran Rakabuming Raka.
Di Era post-truth masyarakat cenderung mengakses media sosial sebagai sumber informasi utama, hal ini lah yang membuka peluang luas bagi penyebaran berita palsu atau hoaks. Fenomena tersebut memiliki dampak signifikan pada pembentukan opini publik dan dapat merusak suasana politik. Seperti pada contoh kasus di atas, hal ini merupakan suatu kebohongan publik di media untuk menjatuhkan salah satu lawan dalam pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat awam yang tidak tahu, bisa saja dia menganggap hal ini benar dan menjadikan persepsi buruk terhadap salah satu paslonnya. Kesalahan informasi yang tidak bisa dikelola dengan baik ini akan menimbulkan kesalahpahaman dan berujung fatal. Apalagi pemilu merupakan puncak dari demokrasi di Indonesia dalam memilih pemimpin kedepannya. Selain itu, masih banyak hoaks lainnya yang bertebaran mengenai calon presiden Indonesia menjelang pemilu di bulan februari yang akan datang. Tentunya ini menjadi PR penting bagi kita sebagai masyarakat indonesia untuk bisa lebih bijak lagi mengelola informasi digital.

Pentingnya Literasi Digital

https://pixabay.com/photos/business-technology-city-line-5475661/
Literasi digital sangat penting karena dapat meningkatkan keterlibatan warga negara dalam konteks demokrasi negara. Menurut Paul Mihailidis, "literasi media adalah jalan menuju keterlibatan masyarakat yang lebih aktif dan kuat di abad kedua puluh satu". Kemampuan warga negara untuk terus menganalisis, memahami, dan menggunakan media akan meningkatkan kapasitas mereka jika kualitas demokrasi ditentukan oleh informasi yang diterima masyarakat.
ADVERTISEMENT
Literasi digital mencakup kemampuan seseorang untuk terlibat, yang mencakup pengetahuan tentang teknologi digital, kemampuan untuk mengakses dan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak, dan pemahaman tentang informasi yang ditemukan di internet. Selain itu, literasi digital juga mencakup etika dan tanggung jawab dalam berinteraksi di dunia digital seperti menjaga privasi online, berkomunikasi dengan positif, dan menggunakan konten dengan benar. Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi dan meningkatnya keterlibatan dalam kehidupan online, literasi digital juga mencakup aspek moral dan tanggung jawab dalam berinteraksi di dunia digital
Jadi, di Era post-truth yang ditandai oleh penurunan kepercayaan pada fakta objektif, membuat literasi digital menjadi kunci bagi masyarakat. apalagi dalam kontestasi politik yang di mana terjadi pergeseran paradigma ketika kebenaran dan akurasi tidak lagi menjadi prioritas utama. Sehingga media massa cenderung menciptakan peristiwa yang mengarahkan naratif, dan menciptakan kebenaran sendiri. Dengan demikian, literasi digital bukan hanya menjadi kebutuhan, tetapi juga suatu keharusan dalam menghadapi kompleksitas informasi di era post-truth, terutama saat memasuki periode penting seperti Pemilu Indonesia 2024.
ADVERTISEMENT