Kisah Penjual Telur yang Sukses Dirikan Blue Bird, Awalnya Taksi Ilegal

Konten dari Pengguna
25 Maret 2021 15:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Profil Orang Sukses tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret armada taksi Blue Bird dekade 1970-an. (Foto: bluebirdgroup.com).
zoom-in-whitePerbesar
Potret armada taksi Blue Bird dekade 1970-an. (Foto: bluebirdgroup.com).
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum kehadiran Go-Car atau Grab car, ada sebuah transportasi umum yang melegenda, yakni taksi Blue Bird. Armada taksi ini merupakan armada taksi terbesar di tanah air. Namun, siapa sosok di balik kebesarannya?
ADVERTISEMENT
Dia adalah mendiang Ny. Mutiara Fatimah Djokosoetono. Wanita kelahiran Malang, 17 Oktober 1921 tersebut nyatanya merintis taksi berlogo burung biru tersebut dari sebuah usaha taksi ilegal.
Masa kecil Mutiara juga tegolong sulit, setelah sebelumnya keluarganya cukup berada, semuanya berubah saat ia berumur 5 tahun. Orang tuanya bangkrut hingga keluarganya jatuh miskin. Mutiara kecil terpaksa harus hidup sesederhana mungkin.
Di tengah kesulitan yang dialaminya, Mutiara kecil tetap gembira karena terinspirasi oleh kisah "The Bird of Happiness," burung biru pembawa kebahagiaan, yang mengisahkan gadis kecil miskin yang hidup menderita, kemudian bermimpi diperintahkan untuk mencari seekor burung biru. Pada akhirnya, gadis tersebut menemukan burung biru dan hidup bahagia.
Kisah tersebut selalu diingatnya seiring pertumbuhannya. Hingga pada dekade 1930an, ia hijrah ke Jakarta untuk berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Di sini pula tempat di mana ia bertemu dan menikah dengan mendiang suaminya, Prof. Djokosoetono, Dekan FHUI sekaligus perintis pembangunan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Akademi Hukum Militer (AHM).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, mereka tetap hidup ala kadarnya. Mutiara bahkan tetap turun tangan menyokong suaminya dalam mencari nafkah untuk keluarganya, yakni dengan berjualan batik secara door to door. Penjualan batik ini sempat sukses sampai akhirnya menurun akibat resesi di masa itu.
Bangkrut, akhirnya Mutiara beralih jualan telur yang juga berhasil. Namun pada 1965, suaminya meninggal dunia. Mutiara harus terpaksa harus jadi tulang punggung bagi ketiga anaknya yang saat itu masih pelajar, yakni Chandra, Mintarsih, dan Purnomo.
Beruntung, berkat jasa suaminya selama di PTIK dan AHM, Mutiara dan keluarga dihadiahi 2 buah mobil bermerk Opel dan Mercedes Benz. Alih-alih dijual kembali, mobil tersebut disulapnya menjadi taksi. Bersama dengan ketiga anaknya dan 2 supir sewaan, mereka menjalani usaha ini.
ADVERTISEMENT
Berbekal ide dan visi yang dibawa oleh Mutiara dan sumber daya manusia yang hebat dalam diri anak-anak, menantu, dan para supirnya, taksi yang dinamai Taksi Chandra ini laris manis hingga Mutiara bisa menambah mobil lagi untuk meningkatkan armada taksinya.
Saat dibuka, Taksi Chandra bersifat ilegal karena saat itu belum ada izin resmi terkait taksi. Hingga pada 1970, Eks Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan izin atas taksi. Tanpa pikir panjang, Mutiara langsung bergegas mengurus izinnya. Sempat ditolak karena armadanya dianggap terlalu kecil, ia tidak menyerah dan segera meningkatkan jumlah armadanya sesuai persyaratan.
Setelah berhasil memenuhinya lewat pinjaman ke bank, taksi milik Mutiara resmi jadi perusahaan taksi nasional. Terinspirasi dari kisah burung biru yang ia baca saat kecil, akhirnya taksi ini dinamai dengan nama "Blue Bird."
ADVERTISEMENT
Banyak keunggulan yang membuat Blue Bird menjadi pilihan pelanggan. Blue Bird merupakan taksi pertama di Indonesia yang menerapkan sistem argometer untuk tarifnya, sehingga tidak merugikan konsumen seperti sistem kesepakatan antara konsumen dan supir. Pelayanan yang prima juga menjadi pertimbangan pelanggan untuk memilih Blue Bird dibanding taksi lain.
Hingga kini, Taksi Blue Bird sudah memiliki armada yang mencapai 23.000 mobil dalam 61 pool taksi yang terletak di berbagai wilayah di Indonesia. Pendapatan Blue Bird sudah mencapai triliunan rupiah hingga saat ini, meskipun pada 20 Juni 2000 silam, sang pendiri tutup usia.
Kini, Blue Bird dikelola oleh anak-cucunya. Meskipun sudah sangat besar, tantangan yang dihadapi Blue Bird tak pernah berhenti. Terbesar adalah saat transportasi online mulai marak di tanah air. Blue Bird harus mencari cara agar dapat bertahan, meski akhirnya harus menyerah dan bermitra dengan Go-jek, melepas gelarnya sebagai taksi konvensional terbaik.
ADVERTISEMENT