Benarkah Millennials Tidak Suka Membaca Ulasan Panjang?

Konten dari Pengguna
21 Januari 2017 1:28 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eddward S Kennedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Millennials (Foto: Eddward SK)
Banyak argumen dari awak media yang dengan pongah menyebut bahwa generasi millennials (atau secara ilmiah disebut Gen Y) tidak suka membaca. Terutama ulasan panjang atau longform, in-depth reporting, atau sejenisnya.
ADVERTISEMENT
Argumen macam itu kerap kali berangkat dari pengamatan semata. Desas-desus nir riset yang berkembang biak dari mulut ke mulut, lalu dipercaya begitu saja. Seperti gosip.
Padahal ini persoalan yang amat serius: generasi ini tengah menguasai dunia dan riset atas mereka mestinya juga memiliki basis material yang tak cuma omong kosong.
Argumen tersebut, Bung dan Nona, jelas salah kaprah: millennials justru suka membaca!
Bung dan Nona mungkin akan menemui banyak konten ceria berupa meme lucu, video unik, atau cerita konyol dari banyak media, tapi itu sama sekali bukan alasan untuk menjustifikasi millennials tak suka membaca.
Pada Mei 2016 lalu, Pew Research Center (PER), sebuah lembaga riset arus informasi terkemuka di Amerika, mengeluarkan analisis mereka terkait jenis konten yang belakangan mulai diminati para kawula muda.
ADVERTISEMENT
Untuk memahami bagaimana pengguna gawai di kalangan millennials berinteraksi dengan berita, PER bersama Parse.ly, sebuah firma penyedia data analitik situsweb, melakukan riset berdasarkan real time dan historical analytics.
Riset dilakukan dengan menyasar ke 117 juta pengguna anonim yang aktif dengan gawainya, termasuk menyertakan 74.840 artikel dari 30 situsweb berbeda pada September 2015.
Berikut saya kutipkan salah satu penggalan paragraf dalam riset tersebut:
ADVERTISEMENT
Mau baca lebih lanjut? Silakan klik ini.
Riset serupa juga dikeluarkan oleh Come Recommended (CR), sebuah perusahaan konsultan dan konten marketing ternama di Amerika. Pada waktu yang tak jauh berbeda dengan Pew Research (Mei 2016), CR juga turut mengeluarkan riset menarik berjudul:
Dalam riset tersebut, yang juga menyertakan riset PER di atas, menjelaskan bahwa millennials:
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan mengapa millennials tertarik terhadap konten-konten yang "deeper" adalah karena mereka tertarik untuk ikut dalam percakapan. Bahkan, riset CR menyebut millennials memang menginginkan konten yang memungkinkan mereka dapat ikut urun pendapat.
Pada poin inilah semestinya engagement content dibicarakan dengan serius, dengan falsifikasi yang sahih, data-data yang komperhensif, bukan hanya seenak jidat menuding millennials tak suka membaca.
Masih kurang risetnya? Dalam ulasan Steve Rayson di Buzzsumo pun juga membuat riset yang cukup serupa dengan judul:
Rayson, dalam risetnya tersebut, mencoba membandingkan average shares antara Buzzfedd dengan Guardian.
Buzzfeed, kita tahu, adalah media dengan ragam konten pendek yang bersifat how-to, tips, dan video-video unyu yang kerap kali viral. Sementara Guardian adalah media serius + njlimet, konten-kontennya kerap berkutat dengan analisis yang seringkali dianggap "berat" oleh audience.
ADVERTISEMENT
Hasilnya cukup menarik. Saya kutipkan di sini salah satu paragrafnya:
ADVERTISEMENT
Berikut infografisnya:
Average Shares Buzzfeed vs Guardian (Foto: Steve Rayson - Buzzsumo)
Bagaimana dengan millennials di Indonesia?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total populasi Gen Y Indonesia kini di angka 85-an juta jiwa. Akhir tahun 2013, diperkirakan sudah di atas 100 juta. Secara gender, Gen Y Perempuan saat ini bahkan sudah 70-an% dari total populasi Indonesia yang 250-an juta. Diprediksi pada 2016, Gen Y ini menguasai 60% dunia kerja. 
Terkait millennials Indonesia, sebuah riset studi perilaku para pengguna gawai global juga pernah dikeluarkan oleh eMarkerter Report pada Agustus 2016. Dalam riset berjudul Global Millennials 2016: Gauging the Digital Behavior of Young Adults Around the World itu disebutkan mayoritas millennials Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu di gawai mereka untuk membuka... Youtube!
ADVERTISEMENT
Betul, Bung dan Nona, Yucub! Eh, Youtube.
Oleh karena itulah mengapa ekspansi para Youtuber kian mendominasi jagat pemikiran cabe-cabean di sekitar kita. Kecenderungan ini dominan secara general, tapi masih belum sahih secara spesifik menyasar parameter lain seperti demografi, pendidikan, kelas sosial, dsb.
Secara umum, belum ada patokan yang jelas untuk membaca perilaku millennials global. Sebab habitus mereka sebagai konsumen media adalah "seenaknya". Dan harus disadari pula, behaviorisme ini masih belum selesai seutuhnya.
Namun, melalui basis data yang ada saat ini, dapat diasumsikan bahwa di masa depan tak ada lagi "kategorisasi" atau "simplifikasi" terhadap media seperti, misalnya: "yang tercepat adalah Detik", "yang terpercaya adalah Kompas", "yang paling enak dibaca adalah Tempo", dsb.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan yang bakal terjadi dengan arus kemunculan millennials adalah: arus media tengah di ambang kaotisasi. Namun, sekali lagi, itu bukan alasan untuk menjustifikasi dengan pongah bahwa millennials tidak suka membaca.
Bagi saya, justifikasi macam itu hanya menunjukkan satu hal: jangan-jangan justru Anda yang tak suka membaca, atau tak punya parameter lain dan memandang media daring melalui persepsi satu dimensional belaka. Jika memang demikian, tentu menyedihkan sekali.
Jika Bung dan Nona tertarik, kita bisa berdiskusi lebih lanjut mengenai Long VS Short Content ini dan bagaimana pengaruh kedua jenis konten tersebut dalam masa depan media daring, termasuk dari segi bisnis, dalam horison millennials.
Tentu saja berbasis data. Bukan desas-desus, gosip, pengalaman sekian tahun bla bla bla, senarai argumen apologetik, atau bualan yang lebih konyol dari stage diving Agus Yudhoyono.
ADVERTISEMENT
PS: Data yang disajikan eMarketer di atas berbayar.