Perpustakaan 'Nemu Buku' Menggerakkan Literasi di Sulawesi Tengah

Supriyadi
freelancer
Konten dari Pengguna
10 Februari 2018 14:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Supriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perpustakaan 'Nemu Buku' Menggerakkan Literasi di Sulawesi Tengah
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Neni Muhidin (mengenakan helm) dan relawan Perpustakaan Nemu Buku, berekspresi dengan motor barunya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Supriyadi)
ADVERTISEMENT
__________________
Bung Hatta pendiri bangsa ini pernah melontarkan pernyataan “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas,” yang mengungkapkan gambaran pribadinya, yang sangat senang membaca. Pernyataannya ini kemudian menjadi kutipan di setiap gerakan minat baca.
Mungkin saja tokoh bangsa bukan hanya Bung Hatta, yang secara khusus menggambarkan dirinya dengan buku. Tokoh besar lainnya, Tan Malaka dalam Madilog yang ia tulis berujar: “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
Lontaran kedua founding fathers tersebut, setidaknya bukan sekadar dipahami secara teks belaka, sebagai alat pembebasan dari belenggu kebodohan. Tetapi juga harus dipahami, menuju pembebasan dari belenggu ahistori dalam ketimpangan memahami sejarah bangsa.
ADVERTISEMENT
Begitu pula yang terjadi pada diri Bung Karno. Sang proklamator ini tentu saja tidak terlahir begitu saja. Segudang pengalaman dan pengetahuan yang ada dalam dirinya, merupakan bentukan dari buku yang dibacanya.
Sesuatu yang mustahil tanpa hadirnya buku. Kegemarannya akan membaca dan menulis terbentuklah seorang Soekarno, yang dikenal dengan pidatonya berapi-api menjadi daya magnet tersendiri; sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Soekarno muda, bagaimana kala itu, mondok di rumah HOS Tjokroaminoto, sekaligus guru bagi dia, yang menempa dan memperkenalkan buku di Jalan Peneleh Surabaya.
Setidaknya, hal tersebut yang menjadi inspirasi dan spirit berdirinya Perpustakaan Kecil “Nemu Buku” di Kota Palu Sulawesi Tengah. Perpustakaan yang didirikan oleh Neni Muhidin ini, berangkat dari rasa keprihatinannya bahwa di Kota Palu, buku seolah jauh dari kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Neni, ‘jauh’ bukan berarti tak ada minat baca di kalangan warga Kota Palu dan sekitarnya. Jauh adalah konotasi yang sebenarnya, jauh dari akses. Kota Palu, sebagaimana diketahui merupakan kota yang diwarnai kontur alam perbukitan dan pegunungan. Ditambah jarak antar kecamatan cukup berjauhan.
“Maka dengan bantuan motor dari kementerian pendidikan dan kebudayaan ini, akan membantu kita mendekatkan buku kepada masyarakat, “ kata Neni.
‘Nemu’ menjadi nama perpustakaan ini sebenarnya dari Bahasa Lembak, suku bangsa yang berada kawasan Bengkulu, kalau diindonesiakan berarti “menemukan”. Tetapi kata ‘Nemu’ juga merupakan akronim dari nama Neni Muhidin sendiri.
Lewat perpustakaan ini, Neni rutin melakukan roadshow di kecamatan Kota Palu dan sekitarnya. Apalagi motor Honda verza 150 cc, bantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru saja diterimanya pada Jumat 9 Februari 2018.
ADVERTISEMENT
“Setidaknya dengan motor ini akan menambah kemudahan kita, untuk roadshow berkeliling ke kecamatan-kecamatan, “ ucap Neni.
Sarjana lulusan Hubungan Internasional Universitas Pasundan Bandung ini, sebenarnya bergiat sebagai peminat buku ia lakoni sejak masih kuliah. Selesai kuliah ia kemudian merintis tempat membaca ini sejak 17 Agustus 2007.
Dengan keinginannya yang begitu kuat itu, kini perpustakaan yang berlokasi di pojok Jalan Tanjung Tururuka Kota Palu, sudah mengoleksi 2.083 buku, dari 4.1128 item.
Belum lagi, bersamaan dengan diterimanya motor bantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Jumat itu, perpustakaan Nemu Buku juga menerima bantuan buku dari kementerian tersebut. “Ini datanya, belum kita inventarisir, “ kata pustakawan Nemu Buku Muzi Musawir.
Buku bantuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, sepertinya masih akan dihitung dan didata terlebih dulu. Supaya buku-buku itu bisa diketahui dengan pasti. Sebagaimana cerita Muzi sendiri, satu kehilangan buku sama saja menunda kemerdekaan seseorang yang ingin tahu.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini sama dengan yang ditulis di indeksberita.com