Menengok Langgar Gipo, Bangunan Bersejarah yang Kini Tak Terurus

Supriyadi
freelancer
Konten dari Pengguna
18 Mei 2019 19:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Supriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hasan Gipo tak banyak ditulis dalam sejarah perjuangan bangsa. Baru setelah internet dan dunia maya menggejala, nama Hasan Gipo mulai mewarnai gawai berita. Itu setelah NU menemukan situs makam Hasan Gipo di kompleks pemakaman Ngampel pada tahun 2015.
Sisi utama Langgar Gipo. Tempat ini digunakan tiduran. Ini bulan Ramadan, saya memahami bahwa mereka sedang menjalankan ibadah puasa. Butuh tidur siang. Saat itu, kami datang bersama tim dokumenter Gerakan Suroboyo Mbois. (Dok: Suroboyo Mbois)
Langgar Gipo berada di Nyamplungan, Surabaya. Dibangun oleh keluarga Sagipoddin pada sekitar tahun 1700-an.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan cerita yang diperoleh, Sagipoddin adalah orang kaya keturuhan Arab. Ia tinggal di kawasan kampung elit Ngampel.
Nama sebenarnya adalah Tsaqifuddin. Kenapa berubah jadi Sagipoddin? Karena lebih lekat dengan lidah orang Jawa. Kemudian, nama itu dipendekkan lagi menjadi Gipo.
Gipo lalu menjadi tanda nama keluarga, semacam marga atau fam. Abdul Latief Tsaqifuddin yang menggagasnya. Keluarga ini juga masih kerabat dengan keluarga Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah di Surabaya.
Wali Kota Suroboyo Mbois, Kuncarsono Prasetyo, mengamati papan nama Langgar Gipo yang sudah tampak kusam. Menunjukkan bangunan itu tak terurus. (Dok : Suroboyo Mbois)
Jika membaca referensi sejarah Arab, kita bisa tahu Bani Tsaqif merupakan salah satu kabilah penting di tanah Arab. Mereka tinggal di Kota Thaif.
Kata "Tsaqif" jika di-Indonesia-kan berarti "cerdas, mudah paham". Lalu, apa arti "Uddin". Saya rasa anda sudah tahu, bukan? Ya, dapat diartikan sebagai "agama".
ADVERTISEMENT
Secara bebas, "Tsaqifuddin" dapat diartikan: orang cerdas dan mudah dalam memahami persoalan agama. Begitulah.
Namun, entah, apakah benar atau tidak keturunan Sagipoddin ini termasuk kabilah Tsaqif. Wallahu alam bishowab. Belum ada cerita hingga ke situ.
Gipo melahirkan keturunan bernama Hasan Gipo. Generasi kelima yang menjadi Ketua NU pertama. Sayangnya, malah tak banyak dikenal warga NU. Padahal, Hasan Gipo banyak diceritakan kerap mendampingi pendiri NU, Hasjim Asy'arie, bepergian ke mana pun.
Comberan di sanitasi Langgar Gipo. Baunya kurang nyaman. Mengganggu saat kita datang ke situ. (Dok: Suroboyo Mbois)
Hasan Gipo tak banyak ditulis dalam sejarah perjuangan bangsa. Baru setelah internet dan dunia maya menggejala, nama Hasan Gipo mulai mewarnai gawai berita. Itu setelah NU menemukan situs makam Hasan Gipo di kompleks pemakaman Ngampel pada tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Langgar Gipo berdiri di atas lahan sekitar 100 meter persegi, tepatnya di Jalan Kalimas Udik. Dulu, nama jalan ini bernama Jalan Gipo. Entah apa yang diinginkan Pemerintah Kota Surabaya, yang kemudian mengganti namanya jadi Jalan Kalimas Udik.
Ketika datang ke lokasi langgar itu pada Kamis, 16 Mei 2019, saya melihat kondisi Langgar Gipo memprihatinkan. Saat itu, saya ditemani oleh Wali Kota Suroboyo Mbois, Kuncarsono Prasetyo; Filmmaker, Harris Sankmata; dan Fotografer, Emil Misbach. Untuk keperluan dokumenter Gerakan Suroboyo Mbois.
Tangga untuk menuju ke lantai dua Langgar Gipo. Di sebelah terdapat tumpukan sampah botol air mineral. (Dok: Suroboyo Mbois)
Kenapa saya tiba-tiba prihatin? Karena saya melihat bangunan itu tak terurus. Jorok. Comberan menggenang di dalam area bangunan. Baunya menusuk hidung. Malangkahkan kaki lebih ke dalam, menuju lantai dua, saya melihat tempat yang sepertinya dulu tempat berwudu. Saat saya ke sana, bertumpukan sampah botol air mineral.
ADVERTISEMENT
Saya melihat enam orang tidur dan tiduran di Langgar Gipo. Di sudut utara ruang langgar itu, saya melihat seorang perempuan sedang memijat punggung pria yang sedang tengkurap. Entah mereka pasangan suami istri atau si perempuan itu penjual jasa pijat.
Kami tak ada niat bertanya. Akan tetapi, pria itu berpesan, kalau naik ke lantai dua hati-hati karena kayunya sudah rapuh. Pernah ada korban jiwa jatuh dari atas, katanya.
Memperhatikan sisi bangunan Langgar Gipo, saya meyakini, langgar itu bukan sekadar tempat salat tapi juga tempat pertemuan. Kalau mendengar cerita, si pengampunya, Hasan Dipo, adalah Ketua NU pertama, maka pastinya juga dijadikan tempat berkumpul umat NU.
Lantai dua. Sudut yang digunakan sebagai tempat tinggal Nasir. Tampak jelas ruangan itu tak terawat (Dok: Suroboyo Mbois)
Langgar Gipo dibangun cukup kokoh dengan kayu jati kuno. Lantainya menggunakan tegel terakota. Tegel yang digunakan menghiasi lantai orang kaya zaman dulu, yang dikenalkan VOC. Di belakangnya terdapat sumur yang airnya terlihat masih bersih.
ADVERTISEMENT
Lantai dua Langgar Gipo terbuat dari papan. Bagian dalamnya digunakan untuk menjemur pakaian oleh orang bernama Nasir yang tinggal di tempat itu. Pria asal Bangkalan, Madura, itu mengaku sudah tinggal di sana sejak setelah reformasi, berarti 1998.
Atap kokohnya bangunan Langgar Gipo. Bangunan bersejarah yang tak pernah mendapat perhatian. (Dok: Suroboyo Mbois)
Sehari-hari, Nasir berprofesi sebagai pengayuh becak. Ia melayani warga sekitar yang hendak ke Pasar Pabean. Tidak ada yang menyuruhnya tinggal di Langgar Gipo, ia mengaku datang sendiri. Tinggal begitu saja.
Langgar Gipo sendiri belum tercatat sebagai cagar budaya di Surabaya. Melihat nasibnya. Sepertinya akan tinggal kenangan. Seperti bangunan tua lainnya.