Sepenggal Kisah dari Perempuan Itu...

Supriyadi
freelancer
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2019 3:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Supriyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ilustrasi pixabay
Sudah lima tahun aku mengenal perempuan itu. Namun tak sekali pun kami saling bertemu. Hanya lewat handsphone aku mendengar suaranya. Lewat chating aku memahami kata-katanya. Lewat came jejaring sosial aku pernah melihat lekuk tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Dari serangkaian itu seakan-akan dia pernah hadir di depanku. Seakan-akan dia menuntun sebuah cerita tentang kisah hidupnya kepadaku. Setiap cerita terucap mengalir terdengar jelas.
Bim, nama laki-laki yang diceritakan dia kepadaku. Akunya Bim suaminya. Akunya Bim satu-satunya lelaki yang pernah membahagiakannya. Akunya Bim yang memberi dua anak laki-laki yang kini sudah beranjak dewasa. Akunya pada waktu tertentu Bim tiba-tiba membuat dirinya meratapi kecemburuan.
Masih akunya lagi, namun dengan nada serius ia bercerita. Bim tanpa sebab bisa membuat dirinya marah, yang dirangkai umpatan, membanting asbak, hingga kaca meja pecah. Meski begitu Bim tetap diam. Tak sedikit pun membalas. Hanya memandangi tingkah perempuan itu, dan kadang merunduk tak peduli.
ADVERTISEMENT
Saat marah perempuan itu gemar berkacak pinggang di depan Bim. Dibarengi menunjuk-nunjuk telunjuk ke muka Bim. Anehnya Bim malah menunjukkan sebagai laki-laki penuh pesona.
Selama mengarungi rumah tangga dia dan Bim, begitulah ceritanya. Ada kalanya bahagia, bercanda, susah, hingga saling tuduh. Hanya tuduhan itu yang tak bisa ia lupakan. Selalu ingat mengiang di telinga hingga kini. Padahal menghadapi tuduhan Bim waktu itu, perempuan itu memilih tak menjawab setiap pertanyaan Bim, tak mengelak pun tak mengakui, begitulah perempuan itu lakukan. Seandainya saya mengelak, katanya, sama saja membuat pengakuan. Kalau saya mengakui semakin terang perbuatan itu. Serba runyam.
“Bim menuduh saya menjalin affair sama seorang laki-laki. Hanya dia tidak bisa membuktikan atas tuduhannya itu. Selalu salah dalam mendiskripsikan pria yang dituduhkan menjalin affair dengan saya waktu itu, “ ucapnya.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu berarti benar kamu berselingkuh, “ tanyaku bernada serius.
“Bim sudah menjelaskan waktu itu. Kenapa dia menuduh saya selingkuh!, “ucapnya yang tak bisa kupahami. Lalu aku memilih diam, mengusap-usap kepala untuk mengusir kebingungan.
Aku hanya berpikir dari sorot matanya yang sempat kuamati. Boleh jadi itu cara perempuan itu mengalihkan pembicaraan, supaya aku tak menanyakan serius ihwal perselingkuhan dirinya. Meski sebenarnya ia tahu kalau aku suka cerita itu dan dia sendiri berkeinginan menceritakan kepadaku. Aku berharap dalam kesempatan berbeda, kalau boleh perempuan itu menceritakan.
Aku ikuti saja apa yang dia maui. Aku tak memaksa-maksa. Karena aku sadar waktu itu sedang butuh dia. Aku tak ingin kehilangan dia. Aku butuh teman ngobrol dengan perempuan seperti dia. Perempuan yang kadang keras kepala, kadang jiwanya seakan menandingi dewa itu. Sungguh bahagia waktu itu aku, bisa mengenal perempuan seperti dia. Peroleh banyak cerita dan catatan. Setidaknya sepiku hirap, yang selama ini terus menerus membelenggu hidupku.
ADVERTISEMENT
Waktu itu dengan keseriusan bercerita, diterangi lampu setengah redup. Dua kota Surabaya dan Jakarta. ramai oleh penghuni kota yang hendak bermalam minggu. Setengah berbisik ia berucap, ““Bim meninggal...!, “.
Sontak aku dibuat kaget. Bim, laki-laki yang malam itu ia ceritakan padaku meninggal. Sudah delapan tahun lalu sebelum aku mengenal perempuan itu. Pun begitu, Jakarta dirundung duka. Tak ada lagi siaran radio yang mengabarkan banjir, begitu bencana tahunan itu melanda ibu kota. Pastur, pendeta, kiai yang dekat dengan Bim pun merasa kehilangan.
“Meninggal...!, Memang dia sakit?, “ tanyaku.
“Ya, ia sakit, “ jawabnya cepat.
“Setelah kamu marahi dia itu..., “ tanyaku mencoba mengorek.
ADVERTISEMENT
Ia mengangguk. Lalu seakan ia menatapku. Matanya memandangiku kuat. Mulutnya sedikit membuka, lalu ia berbicara dengan nada bergetar. Belum lama Bim pergi, ucapnya sambil menghela nafas. Kalau boleh saya perkirakan, saat bersamaan kaum reformis kalah dalam percaturan politik di era reformasi ini. Kalau boleh saya tentukan, di saat aktivis pergerakan terkooptasi kekuasaan. Lalu terlibat intrik dan korupsi.
Mendengar penjelasannya aku berusaha tak diam, menenangkan jiwanya yang kurasai sedang nelangsa. Sepertinya ia teringat kembali masa-masa bersama Bim. Sementara hujan di Surabaya mulai turun. Entah di sana, di tempat tinggal dia di Jakarta. Begitu hujan mulai menunjukkan tenda-tanda deras. Genting rumah yang kutinggali bocor. Air hujan pun menetes membasahi lantai. Aku mengandaikan eluh berkelinang di pipi dia. Aku berusaha mengusap pelan, sambil kurasai halusnya kulit perempuan itu.
ADVERTISEMENT
“Mahabenar Tuhan, dengan kemulyaanMu, Engkau sanggup merapikan dan menata kulit seorang perempuan bak sutera. Ditopang tulang belulang nan rapi, membuat perempuan itu sungguh cantik. Pagi ini Engkau sempatkan aku boleh menyentuhnya, “ gumamku sambil mengusir sepi di malam itu.
“Sudahlah, relakan saja,” kataku bermaksud sekadar menghibur diriku sendiri sebenarnya.
“Sudah saya merelakan. Tapi...., “ ucapnya yang kemudian suara itu hilang. Entah apa yang membuat begitu. Mungkin saja perempuan itu melampiaskan tangis yang tak boleh ku tahu.
Kadang ada yang membuat saya tidak rela, katanya tiba-tiba suaranya terdengar kembali olehku. Kenapa Bim meninggal pada saat bersamaan kaum reformis mengalami evolusi mental, -dari idealis menjadi oportunis. Saya masih terbayang ia meregang dalam kekecewaan. Sepertinya ia sangat kecewa terhadap mahasiswa yang dulu pernah ia puja. Dengan sadar mahasiswa itu terlibat eksploitasi kepentingan rakyat, begitu di kekuasaan. Bahkan saya rasakan kelakukannya lebih kejam daripada Soeharto, yang dulu dijuluki rezim otoriter, militeristik, dan feodalistik.
ADVERTISEMENT
“Sudah...sudah...sudahlah...jangan bicara itu. Rakyat ini sudah pada tahu, “ sergahku sambil mengajak ia untuk cerita yang lain. “Membuang energi, “ kataku seakan memeganggi tangannya.
“Saya tidak sedang mengajak bicara sama kamu kan? Saya ingin berkeluh kesah saja. Karena keinginan Bim tertunda. Ia sangat berkeinginan menuntaskan pelanggaran HAM di zaman Orde Baru itu. Namun keburu ia meninggalkan kami, “ ungkapnya dengan mata tampak melotot. Aku tahu ia sangat kecewa dengan kondisi sekarang. Aktivis banyak terlibat korupsi, yang ia sangat membencinya. Melihat ia seperti itu aku berusaha mendiamkan. Kemudian kuraih dia dalam pelukan.
Kemudian kusadari, ia bersikap seperti itu supaya aku mendengarkan dan tahu siapa Bim sebenarnya. Ia seorang aktivis pergerakan, sejak masih mahasiswa di Bandung. Pelawan rezim Orde Baru. Bim tak seperti aktivis kebanyakan, gemar ditangkap polisi dan dipukuli tentara agar mendapat simpati rakyat.
ADVERTISEMENT
Bim dikenal dengan nama Bim, tak ada nama lain. Nama samaran untuk mengacaukan aparat sekalipun. Hingga menjadi jurnalis radio. Tetap dikenal Bim. Bim dikenal lantang bersuara dalam aksi-aksi protesnya. Hingga kini tetap memilih posisi kritis. Ajakan teman untuk duduk di kekuasaan kerap ia tolak.
“Bim dulu berada di sebelah mana?,” celetukku mencoba bertanya.
“Bim tidak berada di sebelah manapun, “ sahutnya.
Selama menjadi suami saya, ucapnya lagi. Saya mengikuti alur pemikirannya. Dia sangat menyukai pemikiran para filsuf. Dia pun tak pernah menyatakan berideologi kiri maupun kanan. “Bim adalah Bim dengan sejatinya dirinya sendiri. Karena dalam hidupnya ia punya prinsip, jangan bergantung pada siapapun di dunia ini. Bergantunglah pada dirimu sendiri. Karena bayangan kalian pun akan hilang ketika kalian beranjak menuju kegelapan , “.
ADVERTISEMENT
“Saya pastikan kepada kamu, “ dengan seakan telunjuk jarinya ke arahku. Bim itu orangnya mudah muak ketika melihat penindasan dan pelanggaran HAM. Bukan rahasia lagi waktu itu kerap terjadi di zaman Orde Baru. Sudah berapa banyak waktu itu pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas.
“Bagi saya ideologi kiri maupun kanan sekadar labeling untuk membangun klan belaka. Klaim taktis kebanggaan seorang aktivis belaka. Tak ada perbedaan mencolok dalam karakter para aktivis sebenarnya, “ cetusnya.
“Selagi kamu islamis, soliaslis, bahkan marxis sekalipun. Jika ketamakan dan kerakusan kamu dilatarbelakangi perut lapar, kamu akan menjadi pragmatis bahkan oportunis, “ ucap dia.
Ketika aku banyak diam dan mendengarkan ceritanya itu. Tiba-tiba aku merasakan ada yang ganjil dalam tubuhku. Dingin menghampiriku. Tak seperti biasa aku seperti itu. Padahal sejak sore kurasai tak terjadi apa-apa pada tubuhku. Aku merasakan sehat-sehat saja. Mungkin saja udara dingin yang tercampur hujan itu yang membuat aku merasa kedinginan. Udara itu masuk ke balai yang aku lupa menutup pintu rumah.
ADVERTISEMENT
“Apakah kamu merasakan kedinginan malam ini, As?, “ tanyaku.
“Ya, “ jawabnya. “Malam ini seperti malam delapan tahun lalu. Saat kondisi Bim koma. Alam seolah menyambutnya dengan petir menggelegar sedikit angin kencang, “.
Bim dinyatakan dokter Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta, Ahad, 28 September 2008, jelang pagi meninggal. Ketika orang-orang miskin di bilangan Tanah Abang, tertidur lelap. Sontak mereka bergegas bangun, begitu mendengar berita Bim meninggal. Begitu pula yang dialami orang-orang di Kalideres. Korban penggusuran yang masih bertahan di tenda-tenda. Mereka bersemburatan keluar tenda, begitu mendengar Bim meninggal. Tak terkecuali warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Pagi itu sedang antre berebut kakus di bibir sungai untuk buang hajat. Mereka terpaksa menunda sakit perutnya, begitu mendengar Bim meninggal.
ADVERTISEMENT
“Apa yang dirasakan sakit Bim waktu itu, As?,”.
“Pembuluh darah Bim pecah, “ ucapnya. “Pemakamannya dilakukan hari itu juga, siang, ba’da salat duhur. Banyak kawannya yang sekarang menjadi tokoh nasional melayat, “.
“Ikut berduka ya As...?, “.
“Ya, sama-sama. Terimakasih, “ jawabnya. “Saya sudah merelakan. Kami sudah merajut cinta tak kan mati. Dengan itu saya kini bahagia bersama anak-anak, “.
Lamongan, 16 Agustus 2019