Evaluasi PSBB Sebagai Rekayasa Sosial Di Tengah Pandemi

Punta Yoga Astoni
Aparatur Sipil Negara dengan latar belakang keilmuan Magister Hukum lulusan Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
26 Mei 2020 16:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Punta Yoga Astoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah Indonesia yang dimulai tanggal 10 April 2020 (DKI Jakarta adalah daerah yang pertama kali menerapkan PSBB) hingga hari ini. PSBB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah untuk menangani penyebaran Covid-19 di Indonesia yang diwujudkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Kebijakan ini dalam pelaksanaannya ternyata tidak bisa dikatakan berhasil bahkan opini yang muncul ke publik bahwa PSBB dirasa menjadi kebijakan yang gagal dalam mengatasi penyebaran pandemi ini. Potensi kegagalan PSBB ini rasanya harus dilihat sejauh mana PSBB sebagai aturan hukum menjadi efektif untuk merekayasa masyarakat agar dapat menghadapi pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Efektifitas hukum dan validitas hukum
Hans Kelsen menyatakan terciptanya suatu efektifitas hukum berkaitan erat dengan keberadaan validitas hukum. Adanya validitas hukum memperlihatkan keberadaan norma-norma hukum itu mengikat dan orang harus berbuat sesuai dengan norma-norma hukum yang ditetapkan. Sedangkan efektifitas hukum adalah keadaan orang berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sehingga semua perbuatan mereka adalah berdasarkan norma-norma hukum itu telah diterapkan dan dipatuhi.
Keadaan norma hukum yang dianggap valid dan keadaan norma itu efektif merupakan dua keadaan yang berbeda. Suatu norma dinyatakan sebagai norma yang valid ketika norma tersebut termasuk kedalam suatu sistem norma dan norma tersebut masuk ke dalam suatu tatanan sosial yang berlaku efektif. Efektivitas adalah suatu keadaan dari validitas. Validitas norma terjadi ketika tatanan yang dalam lingkup norma itu sepenuhnya efektif.
ADVERTISEMENT
Validitas dan efektifitas merupakan dua keadaan yang sepenuhnya berbeda, namun terdapat suatu hubungan yang sangat penting diantara keduanya. Suatu Norma hukum yang valid belum tentu merupakan suatu norma hukum yang efektif. Pada keadaan ini dapat dilihat bahwa validitas suatu norma hukum merupakan kondisi “yang seharusnya” (das sollen), sedangkan adanya “efektivitas” suatu norma hukum merupakan kondisi “yang pada kenyataannya” (das sein).
Hans Kelsen memberikan pendapat yaitu keadaan aturan hukum dapat menjadi efektif jika suatu aturan hukum sudah memiliki validitas terlebih dahulu. Pada kondisi peraturan yang sudah valid ketika pelaksanaanya ternyata tidak dapat diterapkan atau tidak dapat diterima oleh masyarakat secara meluas dan berkelanjutan, maka keadaan tersebut dapat dikatakan aturan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya. Keadaan tersebut menjadikan sifat hukum tersebut berubah sehingga dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid dikarenakan hukum yang valid adalah hukum yang dapat diterima oleh masyarakat. Demikian juga sebaliknya, bahwa agar dapat diberlakukan terhadap masyarakat, maka suatu kaidah hukum haruslah merupakan hukum valid.
ADVERTISEMENT
PSBB sebagai rekayasa sosial
Validitas dan efektifitas hukum merupakan keadaan penunjang gagasan hukum yang dapat merekayasa masyarakat (law as a tool social engineering) yang dikemukakan oleh Rouscou Pound. Law as a tool social engineering secara sederhana dapat diartikan hukum adalah sebagai suatu sarana yang memiliki tujuan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. PSBB merupakan norma hukum yang diciptakan oleh Pemerintah sebagai upaya mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 di Indonesia adalah tujuan utama dari norma ini.
Validitas aturan PSBB memang menjadi perbincangan dibeberapa kalangan ahli hukum namun mari kita lihat bahwa aturan ini masih berlaku dan valid sejak diundangkannya sampai ada keputusan hakim yang membatalkannya. Bahkan secara pelaksanaanya sambutan dari Kepala daerah seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan status daerah yang menerapkan PSBB. Penerapan PSBB di daerah juga menunjukan keadaan validitas yaitu adanya instrumen norma hukum terkait kewenangan Pemerintah (authorized), adanya ketentuanperintah hukum (command), adanya larangan hukum (forbidden), adanya ketentuan paksaan (force), ketentuan hukum tersebut memuat hak (right), dan ketentuan tersebut juga memuat kewajiban (obligation). Dengan demikian secara normatif PSBB yang sedang dijalankan oleh Pemerintah sudah memenuhi kaidah validitas hukum namun keadaan ini bisa menjadi tidak valid ketika masyarakat tidak menerima adanya aturan PSBB ini.
ADVERTISEMENT
Efektifias aturan PSBB dapat dilihat dari 5 kondisi (Soerjono Soekanto) yaitu, pertama adanya kaidah hukum yang mengatur status PSBB disuatu wilayah, hukum yang berlaku ini bisa kita ambil dasar berlakunya PP Nomor 21/2020 di wilayah Indonesia. Kedua, adanya Penegak hukum yang menjalankan aturan PSBB ini sehingga bisa efektif. Penegak hukum pada PSBB ini bisa kita ambil contoh adalah aparatur/pajabat pemerintah (pusat dan daerah) dan Polisi. Namun adanya perangkat penegak hukum tidak berbanding lurus dengan penegakan hukum. Contoh yang paling mudah masih adanya kegiatan-kegiatan yang dibuat oleh pejabat pemerintah dalam bingkai formalitas penyerahan bantuan kepada warga dan tentu menarik kerumunan warga sekitar penerima bantuan yang secara langsung menyalahi aturan PSBB, adanya pejabat pemerintah bertemu warga tentu sepengetahuan dari penegak hukum dan itu tentu menganggu penegakan hukum PSBB.
ADVERTISEMENT
Ketiga, adanya sarana yang mendukung penegakan hukum PSBB. Contoh sarana pendukung PSBB adalah adanya posko covid-19 di titik-titik pemeriksaan PSBB, contoh ini adalah sarana yang tentu secara formalitas pasti ada. Namun keberadaan sarana juga bisa menjadi penghambat penegakan hukum PSBB seperti keadaan dibuka kembali fasilitas umum transportasi oleh pemerintah pada wilayah PSBB adalah contoh kasus kebijakan pemerintah sendiri yang tidak konsisten untuk menyediakan sarana yang mendukung penegakan hukum PSBB. Kita ketahui bahwa pembatasan orang pada transportasi umum dan akses mobilitas orang melalui transportasi umum cara yang efektif untuk menghambat laju penyebaran pandemi namun kebijakan PSBB yang telah dibuat seakan langkahi sendiri oleh pemerintah dengan mengembalikan proses pelayanan transportasi umum. Contoh ini konkrit sebagai penghambat efektifitas hukum adalah pembukaan Bandara Soekarno-hatta untuk umum langsung membuahkan hasil adanya sejumlah orang yang statusnya positif covid-19.
ADVERTISEMENT
Keempat adalah keadaan masyarakat. PSBB adalah kebijakan yang membatasi ruang gerak warga. Hal ini berarti PSBB adalah peraturan yang memberikan dampak besar kepada masyarakat sebagai obyek utamanya. Pada pelaksanaan PSBB ini dapat kita lihat kondisi ini terlihat tidak efektif dikarenakan adanya pembatasan ruang gerak masyarakat tentu mempengaruhi hal yang fundamental harus ada di masyarakat yaitu kesejahteraan sosial. kebutuhan dasar warga negara yang dalam lingkup kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan pendapatan tentu tidak dapat terpenuhi dengan adanya PSBB ini. Kita bisa ambil sisi positif tujuan PSBB itu sendiri terkait pencegahan penyebaran pandemi namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa masyarakat khususnya kelompok rentan sosial adalah kelompok yang paling terpukul. Contoh yang paling kongkrit adalah adanya pergerakan orang dari satu titi ke titik lain ketika PSBB ini akan diberlakukan bahkan setelah diberlakukan dalam jumlah besar dikarenakan adanya ketakutan mereka tidak bisa bertahan hidup ketika mereka masih tinggal di wilayah PSBB. Kita tidak akan memperdebatkan istilah mudik atau pulang kampung tapi kita bisa membaca bahwa tujuan PSBB sebagai upaya pencegahan penyembaran pandemi seperti kalimat pemanis nama sebuah peraturan (PP) karena masih ada pergerakan orang dari satu wilayah ke wilayah lain
ADVERTISEMENT
Kelima adalah Budaya Masyakarat. Pada sektor ini juga terlihat bahwa bangsa ini memang bukan menjadi bangsa yang mudah untuk dilakukan rekayasa sosial. PSBB ternyata hanya dilihat sebagai aturan formalitas bagi sebagian masyarakat yang tentu jika dibenturkan dengan kebiasaan masyarakat tersebut yang sudah membudaya menjadikan PSBB adalah batu sandungan. Kita bisa lihat dari peristiwa adanya upaya mudik atau pulang kampung dari wilayah PSBB ke wilayah potensi terdampak, adanya peristiwa yang membentuk kerumunan orang misal isu penutupan restoran cepat saji yang dijadikan seremonial romantisme pelanggan untuk hadir terakhir kalinya sebelum tutup (kondisi ini penegak hukum dan sarana pendukung penegak hukum seperti tidak berjalan untuk mencegah keadaan tersebut), adanya keinginan masyarakat yang masih ingin merayakan lebaran dengan berbelanja secara langsung di tempat pembelanjaan. Maka demikian sepertinya faktor budaya adalah faktor yang paling menghambat efektifitas PSBB
ADVERTISEMENT
Keadaan-keadaan diatas bisa dijadikan indikator bahwa rekayasa sosial yang ingin diciptakan oleh ketentuan PSBB selayaknya api masih jauh dari arang. Perlu adanya pembenahan secara komprehensif oleh Pemerintah. Pembenahan ini akan memperlihatkan ke kita dimana letak duduk pemerintah dalam melihat penyebaran pandemi ini, apakah masih pada tujuan awalnya berupaya untuk penyegahan penyebaran pandemi agar keselamatan jiwa warga mendapat jaminan dari negara atau tujuannya sudah berganti untuk menyelamatkan sektor ekonomi semata agar tidak semakin terpuruk dan berharap adanya herd immunity secepatnya sehingga pemerintah bisa kembali fokus pada sektor ekonomi (saja).