Pancasila dalam lingkup kebebasan berpendapat dan pencurian data pribadi

Punta Yoga Astoni
Aparatur Sipil Negara dengan latar belakang keilmuan Magister Hukum lulusan Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
1 Juni 2020 7:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Punta Yoga Astoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ancaman teror terhadap civitas kampus Fakultas Hukum UGM terkait diskusi online yang mengangkat tema sistem pemakzulan presiden dalam koridor hukum tata negara sepertinya menjadi “lonceng” bahwa ruang demokrasi kita memang sedang tidak baik. Peristiwa ini juga memperlihatkan kita bahwa demokrasi yang hidup sekarang tidak melindungi diri kita sebagai warga negara yang bebas berkumpul dan menyatakan pendapat yang bahkan kegiatan tersebut berada pada ruang akademis.
ADVERTISEMENT
Negara ini telah mengalami beberapa fase kehidupan bernegara namun kemerdekaan dialektika di ruang publik sebagai indikator proses demokrasi sepertinya masih mempunyai ancaman nyata. Kampanye perlindungan kebebasan berpendapat bahkan dituliskan di konstitusi kita pada pasal 28. Namun hari ini pasal itu sering terlihat sumir dalam pengamalan kesehariannya oleh negara. Padahal proses berpendapat juga menjadi bagian butir pengamalan pancasila khususnya pada sila ke empat yaitu Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dan tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain (tap MPR no. I/MPR/2003). Dengan demkian hak mengemukakan pendapat pada ruang publik yang dalam hal ini ruang akademis adalah bagian pelaksanaan kegiatan demokrasj yang bertanggungjawab. Adanya peretasan disertai ancaman juga memperlihatkan negara belum bisa melindungi hak warga negaranya yang dalam hal ini kehendak untuk melakukan diskusi dirampas oleh kehendak lain yang tak bertanggungjawab.
ADVERTISEMENT
Peretasan gawai atau media sosial sepertinya trendnya meningkat beberapa waktu ini. Padahal pada UU no. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 26, 30, 31, 32 46 dan 48 mengatur norma hukum terkait kejahatan peretasan ITE namun sepertinya penegakan hukum pada undang-undang ini agak lebih condong pada pasal penghinaan dan pornografi saja. Kebijakan registrasi jasa telekomunikasi yang dikampanyekan pemerintah pada tahun 2017 pun sepertinya jauh dari kata sukses padahal kebijakan ini sudah atur pada Peraturan Menteri kominfo Nomor 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. Kebijakan registrasi ini sebenarnya bisa menjadi jawaban dari fenomena peretasan ini sebagai jembatan untuk membongkar pelaku kejahatanya namun seperti yang dijelaskan di atas pelaksanaanya tidak dapat dikatakan berhasil.
ADVERTISEMENT
Kegagalan ini menjadi hutang negara dalam melindungi hak data pribadi warga negaranya. Perlindungan atas pidana peretasan pada era digitalisasi ini menjadi hal yang fundamental yang harus dilakukan negara, jika tidak dilakukan maka peretasan disertai ancaman seperti yang terjadi pada diskusi di FH UGM akan menjadi berita yang akan kita konsumsi sehari-sehari. Kita sebagai bangsa sudah cukup malu untuk tidak bisa mengungkap penghilangan (fisik) warga negaranya di masa lalu maka hal ini harus dilihat sebagai potensi “penghilangan” jenis baru bisa jadi bermula dari pencurian data pribadi dari gawai setiap warga negara.
Pembiaran kegiatan peretasan ini tentu tidak sesuai dengan pengamalan sila ke dua pada pancasila yang tentu peretasan adalah perbuatan yang semena-mena terhadap orang lain dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang di dalamnya adalah melindungi hak sebagai bagian dari nilai kemanusiaan itu sendiri. dengan demikian Negara perlu diingatkan kembali bahwa abai terhadap hak data pribadi warga negaranya pada era digitalisasi ini maka negara juga abai mengamalkan sila-sila di Pancasila.
ADVERTISEMENT