Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Krisis Intelektualisme: Kecerdasan Buatan Generatif
28 November 2024 18:19 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Denisa Putri Sabrinabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
GenAI sebagai Tonggak Pencapaian Sekaligus Penyebab Kemerosotan Intelek Umat Manusia
Pernahkah kamu mendengar orang bijak berkata, “pisau dengan sendirinya bukanlah benda yang secara mutlak jahat—semuanya tergantung pada niat sang pemegang”?
ADVERTISEMENT
Peribahasa ini tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kalian, namun, tahukah kalian bahwa banyak ungkapan dalam bahasa lain yang memiliki esensi yang sama dengan peribahasa ini?
Di bahasa Jepang, contohnya, terdapat pepatah yang berbunyi “katana wa tada no Ippon no tetsu,” yang memiliki arti “pedang hanyalah sepotong besi”. Informasi ini bisa didapat dalam waktu kurang dari sedetik—toh, tinggal tanya ke ChatGPT, contek, dan salin.
Orang pada umumnya akan mengakhiri proses risetnya di sini. Perkara informasi ini benar bisa direnungkan di hari lain bila ingat. Boro-boro mengonfirmasi kebenaran di balik informasi ini, niatnya saja tidak terbesit di benak.
Demikianlah pola pikir yang dianut oleh banyak akademis dan non-akademis di Indonesia. Semenjak kedatangan generative artificial intelligence (Gen-AI) yang diikuti dengan alat dan perangkat lunak yang menggunakan Gen-AI sebagai kerangka sistemnya, tidak dipungkiri bahwa terjadi penurunan pada kemampuan literasi dan pemikiran kritis penduduk Indonesia. Baik generasi muda maupun sepuh terlalu mengagungkan jawaban kecerdasan buatan hingga mereka lupa untuk menggunakan kecerdasan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Timbulnya Masalah baru di Dunia Akademis
Fenomena ini menyulitkan tenaga didik dalam mengukur kompetensi dan kemampuan pelajar yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Setiap esai, salindia, dan ujian tulis yang mereka berikan dengan mentah-mentah diserahkan semuanya kepada GenAI.
Tenaga didik harus menguji ulang pelajar secara lisan dan/atau memindai hasil kerja mereka dengan mesin pendeteksi AI sebelum mereka bisa memberikan evaluasi yang konklusif. Sayangnya, solusi ini pun tidak sepenuhnya ampuh.
Meskipun penyalahgunaan GenAI seperti ini sudah termasuk pelanggaran integritas akademik, praktiknya kian marak. Tenaga didik kewalahan dalam memilah mana hasil kerja yang menggunakan GenAI dan mana yang jujur dikerjakan oleh pelajar. Tenaga didik juga harus sangat berhati-hati dalam menindak siswa/mahasiswa yang terduga melanggar kode etik ini.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang siswa/mahasiswa yang tidak bersalah mendapatkan skorsing atas tuduhan pemakaian Gen-AI. Tidak jarang juga siswa/mahasiswa yang menggunakan Gen-AI dalam tugas dan segala macam hal lainnya untuk tidak menerima saksi sama sekali.
Padahal, tidak dapat lebih ditegaskan lagi bahwa GenAI sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk memahami pertanyaan kita maupun jawaban yang ia nyatakan. Kemampuannya hanyalah sebatas meniru atau mengolah informasi yang paling mirip dengan apa yang kita diperintahkan.
Mengapa begitu?
GenAI bermodal teks seperti ChatGPT dan chatbot lainnya bisa berfungsi sedemikian rupa karena mereka ‘dilatih’ dengan kumpulan data (dataset). Jawaban mereka terbatasi oleh informasi yang ada di dalam dataset ini. Nah, oleh sebab ini, GenAI secara teknis, tidak memiliki fleksibilitas maupun kemampuan untuk berinovasi layaknya otak manusia.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, beberapa model GenAI tidak memiliki akses terhadap informasi paling baru, dan sebagai kompensasi, bisa saja berampu pada informasi lawas yang sudah tidak lagi relevan. Belum lagi, GenAI memiliki kecenderungan besar untuk mengarang jawaban jika ia tidak menemukan kecocokan antara perintah kita dan informasi yang ada di dataset-nya.
Jadi, bagaimana?
Sebenarnya, ada loh cara yang produktif untuk melibatkan bantuan GenAI ke dalam alur pekerjaan kita. Yang paling mudah adalah dengan mengecek ulang informasi yang didapat dari percakapan kita dengan GenAI dan membandingkannya dengan sumber yang terverifikasi. Jika langkah ini sudah mudah bagi kalian untuk dilakukan, maka cobalah lebih lagi untuk mengurangi ketergantungan kalian pada GenAI.
Gunakanlah chatbot untuk sekedar memberikan ide dan gambaran akan apa yang harus/sedang kalian kerjakan. Terakhir dan yang sudah sering dipergunakan oleh para cendekiawan cemerlang adalah menggunakan chatbot seperti ChatGPT untuk mengumpulkan sumber terpercaya seperti artikel jurnal, esai, buku, skripsi/tesis, dan lainnya ketimbang mengandalkan jawaban mentah GenAI sebagai sumber informasi utama.
ADVERTISEMENT
Misal, kalian ditugaskan oleh guru, dosen, atau bos kalian untuk menyusun salindia, namun kalian merasa bingung harus mulai dari mana. Kalian bisa meminta ChatGPT untuk mengantarkan kalian ke dalam topik bahasan kalian dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
Lalu kalian bisa lanjut dengan meminta ChatGPT untuk mengompilasi sumber-sumber relevan dan terkini yang bisa kalian rujuk.
Terakhir, setelah membaca, merangkum, dan menganotasi informasi yang bisa kalian garuk dari sumber-sumber baku ini, kalian bisa meminta ChatGPT untuk membantu kalian dalam menggambar garis besar dan rancangan pekerjaan kalian.
Alur kerja di atas adalah satu contoh praktis bagaimana kalian dapat mengorporasikan bantuan GenAI tanpa menghilangkan ruang untuk kalian belajar dan berkembang. Seperti yang bisa dilihat, penggunaan GenAI di atas condong untuk menghemat waktu dan meningkatkan efisiensi kerja ketimbang mengurangi partisipasi aktif kalian. Tentunya, tidak ada salahnya jika kalian memang menikmati proses di atas dengan sendirinya dan tanpa bantuan GenAI.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pemakaian GenAI secara tidak bertanggung jawab telah menyingkap dan hanya memperparah perilaku bobrok masyarakat: kemalasan.
“Udahlah, yang penting mah selesai.”
Banyak orang, baik pelajar maupun pekerja, cenderung lupa bahwa tugas, presentasi, dan ujian—semua ini merupakan sebuah proses belajar. Bayangkan, kalian sudah membayar biaya yang tidak sedikit untuk bisa sekolah atau kuliah, namun pada akhir itu semua, perkembangan intelek kalian tidak sampai atau bahkan jauh dari ambang maksimal karena di saat kalian dituntut untuk mengasah nalar, kalian malah menyerahkan semua-muanya kepada kecerdasan buatan. Tempat kerja pun ladang subur bagi kalian untuk belajar dan mengembangkan keterampilan—sangat disayangkan jika kalian menggadaikan pengalaman ini hanya untuk berleha-leha.
Jangan sampai perkembangan teknologi yang semakin tajam nan mutakhir malah membuat otak kita menjadi tumpul. GenAI dan derivasinya muncul sebagai alat untuk membantu kita, bukan untuk menggantikan kita. Oleh karena itu, dewasalah dan bijaklah dalam menggunakannya.
ADVERTISEMENT
Kembali ke pepatah di awal wacana, nasib pisau tidaklah selalu berujung menjadi sebuah senjata dalam pembunuhan. Namun, tetaplah berhati-hati ketika hendak menggunakannya; jangan sampai pisau tersebut malah menjadi senjata yang memakan tuannya.