Bekerja ke Luar Negeri, Berkah atau Musibah

Pusponurani Tri Rahaju
ASN dengan jabatan fungsional Pengantar Kerja (Job Placement Officer) sekaligus profesi Psikolog
Konten dari Pengguna
9 Juni 2021 10:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pusponurani Tri Rahaju tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi gambar pekerja migran, pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gambar pekerja migran, pixabay.com
ADVERTISEMENT
Jumlah pekerja migran Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir. Pekerja migran menjadi komponen penting tenaga kerja nasional. Sekitar 9 juta penduduk Indonesia, baik secara prosedural maupun non prosedural, bekerja di luar negeri. Angka tersebut setara dengan 7 persen dari total angkatan kerja di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi sampai dengan hari ini, fenomena kisah pekerja migran yang mengalami nasib buruk masih sering terjadi. Meski pemerintah telah berupaya maksimal memperbaiki tata kelola pelayanan penempatan Pekerja Migran Indonesia ke luar negeri. Faktanya persoalan yang meliputi pekerja migran ini masih kompleks dan rumit.
Berita terbaru Kamis 3 Juni 2021 BP2MI mengantar kepulangan Sumardianti yang sakit ke daerah asal Dusun Sumber Gempol, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sumardianti adalah korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang diberangkatkan secara nonprosedural ke Suriah, negara yang terlarang untuk penempatan Calon PMI dan berstatus bahaya.
Tata kelola penempatan tenaga kerja ke luar negeri ini seolah belum menemukan format yang mampu menyelesaikan keseluruhan persoalan yang muncul. Sekalipun perbaikan terus dilakukan, namun persoalan seakan tidak pernah ada habisnya.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya migrasi tenaga kerja mencerminkan terbatasnya kesempatan kerja domestik. Pada sisi lain, migrasi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan, baik bagi pekerja migran maupun perekonomian Indonesia.
Menurut laporan Bank Dunia Indonesia, Pekerja Migran Indonesia dapat memperoleh penghasilan sampai enam kali upah mereka di dalam negeri. Bagi 70 persen pekerja migran bekerja di luar negeri merupakan pengalaman positif yang membantu mereka meningkatkan kesejahteraannya.
Migrasi juga memberikan peluang kepada pekerja migran untuk memperoleh ketrampilan dan pengalaman kerja. Bagi hampir 80 persen pekerja migran wanita, migrasi merupakan pintu masuk ke pasar tenaga kerja berbayar.
Migrasi juga berdampak bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2016, pekerja migran mengirim remitansi senilai lebih dari Rp. 118 triliun (US$ 8,9 miliar), atau setara dengan 1 persen total PDB Indonesia.
ADVERTISEMENT
Permasalahan terkait migrasi memang rumit. Pengetahuan empiris mengenai migrasi juga masih terbatas. Indonesia semestinya masih dapat melakukan banyak hal untuk memfasilitasi migrasi yang efisien. Praktik migrasi harus dipastikan aman dan efektif.
Untuk itu Pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Kementerian Ketenagakerjaan telah melakukan reformasi kebijakan. Hal tersebut dilakukan untuk memfasilitasi migrasi dengan lebih baik, guna meraih potensinya dan membuatnya menjadi lebih aman.
Strategi Reformasi Pekerja Migran Jangka Panjang yang disusun setidaknya memiliki lima prioritas. Pertama, menciptakan pasar kerja profesional bagi pekerja migran internasional. Kedua, merampingkan dokumentasi dan proses pra-keberangkatan. Ketiga, meningkatkan standar perlindungan pekerja selama berada di luar negeri. Keempat, mempertahankan manfaat dari pengalaman bermigrasi dan remitansi. Kelima, meninjau kembali pengaturan kelembagaan dan menerapkan monitoring dan evaluasi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Profil pekerja migran Indonesia
Jika kita melihat prosentase jenis pekerjaan utama pekerja migran Indonesia, masih didominasi oleh PRT/Pengasuh Anak (32%), Pekerja Pertanian (19%), Konstruksi (18%), Pekerja Pabrik (8%), Perawat Lansia (6%), Pekerja Toko/Restoran/Hotel (4%), Supir (2%), Pekerja Kapal Pesiar (0,5%) dan Jabatan Lain (10,5%).
Sekalipun pemerintah terus berupaya mengalihkan penempatan pekerja migran non formal, ke jabatan formal. Melalui Roadmap menuju zero pekerja migran sektor domestik. Namun faktanya jenis pekerjaan utama pekerja migran masih pada sektor domestik, yang dominan pada level pekerjaan fisik dengan keterampilan rendah. Jenis pekerjaan yang memang rawan mendapatkan perlakuan buruk, dan menuntut perhatian lebih pada aspek perlindungannya.
Hampir dua pertiga pekerja migran berasal dari daerah yang relatif lebih miskin. Daerah dengan tingkat kemiskinan rata-rata lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional. Oleh karenanya pekerja migran kebanyakan berpendidikan rendah. Hal inilah yang menjadi alasan mereka bermigrasi, untuk perbaikan sosial ekonomi rumah tangganya.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, bekerja di luar negeri dapat beresiko. Para pekerja migran menghadapi berbagai resiko pada tiap tahap migrasi. Resiko dapat berupa penganiayaan, kekerasan fisik dan seksual, pemerasan, hingga perlakuan buruk yang melanggar hak dasar dan standar ketenagakerjaan.
Secara historis, pekerja migran Indonesia didominasi oleh kaum wanita. Sehingga sebagian besar kebijakan migrasi sebelumnya, didorong untuk melindungi kelompok tertentu saja, yaitu pekerja wanita sektor domestik. Oleh karena merekalah yang cenderung mendapat perlakuan buruk.
Namun hal ini telah berubah dalam beberapa tahun terakhir. Pekerja migran Indonesia tidak dapat diwakili hanya oleh satu profil. Terdapat berbagai profil utama pekerja migran Indonesia, selain pekerja migran wanita sektor domestik di Timur Tengah (13%). Profil utama lainnya yaitu pekerja migran di negara-negara maju (27%), dan pekerja migran laki-laki non prosedural di Malaysia (26%).
ADVERTISEMENT
Lebih dari seperempat pekerja migran Indonesia adalah laki-laki yang bekerja di pertanian atau perusahaan konstruksi di Malaysia, namun tanpa dokumen yang sesuai. Tingginya tingkat migrasi non prosedural ini membuktikan kurang menariknya bermigrasi melalui jalur resmi.
Kurangnya akses terhadap informasi masih menjadi kendala utama untuk menjadi pekerja migran prosedural. Alasan lainnya adalah proses menjadi pekerja migran prosedural merepotkan dan menyita waktu. Migrasi prosedural juga memerlukan biaya yang lebih tinggi.
Indonesia telah melakukan beberapa terobosan untuk membuat proses dokumentasi menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah. Pemerintah telah membangun sistem terintegrasi satu atap (Layanan Terpadu Satu Atap atau LTSA) di berbagai daerah. Namun efektivitas penerapan layanannya masih membutuhkan pendekatan yang lebih mengadopsi budaya masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan sejumlah kebijakan komprehensif dan koheren untuk menyelesaikan permasalahan migrasi di Indonesia. Kebijakan dan program migrasi Indonesia harus mampu memaksimalkan manfaat migrasi secara umum, dan pada saat yang sama meminimalkan resikonya.
Menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia yang lebih inklusif, dengan upah yang lebih baik. Akan memberikan calon pekerja migran peluang kerja di dalam negeri yang menarik dan kompetitif, sebagai alternatif yang layak dipertimbangkan selain bekerja ke luar negeri.