Memaknai Hari Gizi Nasional

Putri Anggarini
Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Majene
Konten dari Pengguna
12 Januari 2023 15:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Anggarini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak yang hidup dalam kemiskinan. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak yang hidup dalam kemiskinan. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
Hari Gizi Nasional tampaknya sekadar seremonial belaka. Seharusnya, pada hari ini tidak ada lagi anak Indonesia yang kekurangan gizi karena orang tuanya tidak mampu memberikan asupan makanan yang bergizi.
ADVERTISEMENT
Namun, ironisnya belum ada peningkatan pada status gizi anak-anak. Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka prevalensi stunting atau gizi buruk di Indonesia saat ini mencapai 24,4 persen, angka tersebut jauh dari yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 14 persen.
Di Provinsi Sulawesi Barat, angka prevalensi stunting menempati posisi ke-dua seluruh Indonesia setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 33,8 persen atau bisa dikatakan 3 dari 10 balita mengalami stunting. Namun, ini bukan sekadar tentang angka. Lebih dari itu, di balik tingginya angka ini, ada permasalahan gizi yang kompleks.
Mudah ditebak, kurang gizi adalah bagian dari kemiskinan. Memang, kemiskinan bukan penyebab utama permasalahan gizi. Minimnya pengetahuan dan praktik pengasuhan anak yang tidak memadai, juga turut menyebabkan tingginya angka gizi buruk.
ADVERTISEMENT
Banyak perempuan yang hamil saat remaja, sehingga kemudian bayi lahir dengan berat badan rendah, pemberian ASI eksklusif yang kini mulai tergantikan dengan susu fortifikasi, dan juga pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) kemasan yang marak di pasaran hingga resep-resep hits di media sosial yang tidak cukup mengandung gizi.
Namun, tidak dapat ditampik kondisi keluarga miskin menentukan pola konsumsi sehari-hari. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pola konsumsi penduduk. Dari pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp314 221 di Sulawesi Barat, digunakan untuk membeli Makanan dan Minuman Jadi sebesar Rp100.005 (11,21%), Beras Rp87.160 (9,77%), Rokok Rp70.15 (7,86%), Ikan Rp58.072 (6,51%).
Sangat disayangkan bahwa protein seperti daging dan telur jauh dari jangkauan daya beli. Apalagi buah dan sayur yang jarang dibeli. Dampaknya anak anak yang seharusnya mendapatkan cukup gizi terpaksa makan seadanya
ADVERTISEMENT
Nampaknya, eksistensi rokok pada keluarga miskin ini tidak bisa dianggap sepele. Bagi sebagian orang, rokok sudah menjadi kebutuhan dasar setara dengan makanan. Rokok dianggap sebagai pelarian sejenak dari penatnya himpitan kemiskinan. Tanda bahaya yang sering digaungkan di bungkus rokok tidak membuat perokok berhenti dari kecanduan menghisap rokok sebatang demi sebatang. Asap rokok terhirup oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk balita dan anak-anak. Bayangkan, anak-anak di keluarga miskin itu, selain gizinya tidak tercukupi, malah terpapar asap rokok setiap hari.
Kurang gizi pada balita juga menjadi penyebab usia harapan hidup rendah. Di Sulawesi Barat, usia harapan hidup rata-rata adalah 65,63 tahun. Artinya bayi yang lahir tahun 2022 akan dapat hidup sampai 65-66 tahun.
ADVERTISEMENT
Rendahnya angka harapan hidup suatu daerah tergantung dari kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori, dan juga kemiskinan. Angka harapan hidup ini merupakan salah satu dimensi dasar perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
IPM menggambarkan standard kualitas hidup layak suatu daerah. Provinsi Sulawesi Barat menempati posisi ke-4 IPM terendah seluruh Indonesia setelah Provinsi Papua, Papua Barat, dan NTT, yakni 66,92 persen. Meskipun indeks ini mengalami pertumbuhan tiap tahun, namun IPM Sulbar masih jauh di bawah IPM Indonesia yang mencapai 72,91 persen.
Data-data di atas menggambarkan bahwa kualitas sumber daya manusia di Sulawesi Barat masih tergolong rendah.
Ternyata, kurang gizi pada anak tidak hanya berimbas pada fisiknya, tetapi juga pada intelektualitas. Pendek kata, permasalahan gizi ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Terkhusus di Sulawesi Barat, kelak semakin sulit bersaing dengan provinsi lain, dan akan semakin tertinggal.
ADVERTISEMENT
Seyogyanya, pengentasan masalah gizi ini mendapatkan prioritas tinggi karena menyangkut masa depan bangsa. Perlu adanya peningkatan lingkungan yang mendukung gizi, dan juga memperkuat sistem untuk memberikan layanan gizi. Pembiayaan program-program gizi perlu dilakukan secara signifikan dan berkelanjutan. Investasi di bidang gizi akan terasa dampaknya setelah beberapa dekade. Walaupun tidak bisa secara instan menikmati hasilnya, investasi kesehatan ini akan membangun manusia dari segala aspek.
Dengan demikian, gizi tidak lagi dianggap sebagai bagian kecil dari kesehatan, hari gizi tidak lagi menjadi seremonial belaka. Gizi akan menjadi isu yang disadari semua pihak dan pada akhirnya menjadi indikator keberhasilan pembangunan.