Peran Influencer di Media Sosial dalam Sistem Politik dan Mempengaruhi Publik

Putri Anitasari
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
23 Desember 2020 16:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Anitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi yang begitu capat dan masif telah memfasilitasi percepatan perubahan dan dinamika di era globalisasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye (2000) bahwa, pola pertukaran informasi, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya berjalan dengan faster, cheaper, dan deeper. Faster artinya bahwa teknologi mewadahi atau menjembatani penyampaian pesan atau informasi menjadi lebih cepat. Cheaper artinya bahwa akses kepada informasi menjadi semakin mudah terjangkau, karena semakin murahnya perangkat elektronik atau teknologi dan pendukungnya untuk dimiliki. Deeper memiliki makna bahwa aktor yang terlibat dalam penggung kehidpuna global semakin dalam, meluas, dan banyak. Dengan terciptanya situasi tersebut, muncul aktor pemegang peranan penting yang disebut dengan influencer.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang Hariyanti dan Wirapraja (2018) ungkapkan, bahwa influencer merupakan seseorang atau publik figur pada social media yang memiliki jumlah pengikut yang banyak atau signifikan serta beragam, dan hal yang mereka sampaikan dapat mempengaruhi pola prilaku dari para pengikutnya. Pada saat ini, kehidupan Influencer tidak luput dari perhatian banyak masyarakat terutama pengguna media sosial. Sejak kemunculan beberapa aplikasi sosial media saat ini, Influencer seolah menjadi trendsetter bagi kaum milenial. Bagaimana tidak, dengan pengikutnya yang banyak Influencer dapat mempengaruhi banyak perilaku orang terhadap hal-hal tertentu.
Saat ini, tidak sedikit juga para influencer yang mulai merambah dan mempengaruhi politik di ruang lingkup publik media sosial. Bahkan lebih jauh, mereka merupakan aktor kunci dalam sistem politik pada era digital saat ini. Bekerjasama dengan Influencer dapat membantu menaikkan eksistensi para politisi, contohnya seperti saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pekan lalu yang memanfaatkan insight dari para influencer yang mendukung mereka. Meskipun hanya dua kandidat saja yang maju, namun banyak Influencer yang pro dan kontra terhadap keduanya. Sehingga memiliki jawaranya masing – masing.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini cukup menarik perhatian, mengingat pada saat ini influencer sering sekali terlibat dalam sistem politik kontemporer. Secara sederhana David Easton (1965) telah menggambarkan proses kebijakan sebagai sebuah sistem politik. Skema yang dipaparkan Easton dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan yaitu, input – process – output – feedback. Secara substansinya, influencer dapat menjadi aktor dalam proses input dan feedback dalam proses pengambilan kebijakan.
Proses memasukkan (input) yang dipaparkan oleh Etson terdapat istilah support dan demands yang muncul dari publik untuk menekan pemangku kepentingan terkait agar menghasilkan sebuah keputusan atau kebijakan yang ideal. Influencer sebagai bentuk dari civil society dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui jumlah pengikutnya yang besar di media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter dan sebagainya. Influencer menjadi aktor yang dapat menyuarakan kepentingan masyarakat yang berupa support dan demands tanpa kecenderungan untuk condong terhadap apapun selain sebagai penyampai aspirasi bagi masyarakat dan bersikap netral. Tentu saja dengan cara mereka sendiri, seperti menggunakan kreativitas dan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas. Cara yang digunakan oleh para influencer yang tergolong lebih segar pasti akan berbeda dengan cara yang digunakan oleh para akademisi atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang pada umumnya juga berpartisipasi dalam proses input yang sama.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, influencer berperan dalam proses feedback yaitu sebuah proses politik di mana kebijakan diawasi, dievaluasi, dan dikaji oleh para pemegang kepentingan sesuai otoritasnya masing-masing agar pelaksanaan sebuah keputusan atau kebijakan dapat berjalan lebih baik untuk periode berikutnya. Di sini, peran influencer adalah sebagai wujud ekspresi dari masyarakat atas kepuasan dan tidaknya terhadap sebuah hasil keputusan politik.
Pada pola Good Governance sebagai sebuah sistem politik, terdapat pola segitiga kekuatan, yaitu government, private sector, dan civil society. Dalam memotori proses kebijakan, ketiga aktor inilah yang memiliki peranan yang sangat penting. Yang kemudian kehadiran influencer ini memiliki makna positif untuk pegiat atau aktivis demokrasi yang berada di dalam kelompok civil society.
ADVERTISEMENT
Pada saat ini, ketika demokrasi modern atau politik kontemporer dianggap terlalu didominasi oleh kepentingan pasar, influencer dapat menjadi sumber kekuatan baru bagi masyarakat dalam merepresentasikan sikap politik masyarakat. Dengan kekuatan dalam membangun opini dan mempengaruhi sikap pengikutnya yang besar, influencer sebagai bagian dari civil society akan berperan dalam mewujudkan tatanan politik yang ideal bersama dengan government dan private sector. Dalam menjalankan perannya sebagai civil society, influencer dapat menjadi penghubung terjadinya komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat untuk membahasakan ulang program pemerintah dan agenda pemerintah agar menjadi lebih mudah diterima, dan dipahami. Influencer juga bisa menjadi penyeimbang atau penyelarasan kekuasaan bersama-sama dengan oposisi dalam menguatkan peran check dan balance.
ADVERTISEMENT
Dalam mempengaruhi politik publik, influencer sejak tahun 2014 ketika pemilihan umum (pemilu) dilangsungkan di Indonesia mulai dilirik. Jasa influencer mulai dilirik oleh aktor-aktor politik. Dalam konteks komunikasi, influencer berperan dalam menyebarkan gagasan atau argumen dan membentuk opini publik untuk membentuk rasa demokrasi publik. Gagasan dan opini yang dibagikan oleh influencer ini dapat menciptakan paradigma baru dimasyarakat tentang sesuatu. Namun peranan influencer sedikit dinilai berbahaya jika dimanfaatkan untuk menciptakan persepsi dan pandangan masyarakat akan kandidat politik tertentu. Bahkan membuat dan menyebarkan berita hoaks dan hatespeech antar lawan politik yang kemudian akan menciptakan perpecahan di tengah masyarakat.
Untuk itu, para influencer di Indonesia saat ini perlu memupuk rasa empati terhadap setiap konten yang mereka buat. Dengan menciptakan sesuatu yang benar-benar berkontribusi pada kepentingan negara, tidak semata-mata demi popularitas dan kepentingan pribadi. Sehingga paraa influencer layak untuk dianggap sebagai salah satu aktor penting baru yang berintegritas dalam tatanan sistem politik di era digital saat ini. Selain itu, masyarakat Indonesia juga perlu menguasai wawasan literasi digital, yaitu sebuah wawasan yang mampu membimbing pengguna teknologi informasi atau elektronik untuk mendapatkan manfaat dari media dan mengurangi resiko negatifnya media digital.
ADVERTISEMENT
Putri Anitasari, Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia