Orang Jakarta, si Alergi Aku-Kamu

Putrika Annaya Salsabila
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2021 18:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putrika Annaya Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Halo, kamu namanya siapa?” dengan logat kesundaan yang halus, orang itu menyapa saya. 
ADVERTISEMENT
Waduh, gue jawabnya gimana ya? batin saya linglung. 
Dua puluh tahun sejak lahir menghirup udara—yang penuh polusi—di Kota Jakarta, membuat saya kagok saat diajak berbicara aku-kamu dengan lawan jenis. 
Saat memijakkan kaki di tanah Sunda, dikelilingi akang-teteh dengan tutur bahasa halus, saya akhirnya mendiagnosis bahwa orang Jakarta alergi berbicara menggunakan kata ganti aku-kamu. Apalagi jika lawan bicaranya adalah lawan jenis. 
Penggunaan kata ganti aku-kamu malah dianggap bisa membuat lawan bicara kita terbawa perasaan atau biasanya disebut baper. Biasanya, kata aku-kamu ini mulai digunakan lawan jenis saat sedang tahap pendekatan (bahasa gaulnya PDKT) yang lebih jauh sampai akhirnya ke tahap yang lebih intim, yaitu berpacaran.
Ketika berbicara dengan orang suku Sunda dengan cakap yang lembut, sebagai orang Jakarta saya pun bingung. Jika membalas dengan gue-lo sepertinya akan terkesan kasar dan tidak sopan. Namun, jika membalas dengan aku-kamu, jujur saya sangat tidak terbiasa. 
ADVERTISEMENT
Padahal dulu, pemakaian kata ganti aku-kamu antar teman sebaya adalah hal yang lumrah, bahkan di antara orang Jakarta. Namun, di antara penutur “bahasa” yang sama terdapat rasa solidaritas di antara mereka sehingga semakin akrab hubungan antarmanusia maka semakin “kasar” ragam bahasa yang dipakai (Poedjosoedarmo, 2001:181). 
Sekarang ini, kebanyakan orang Jakarta terbiasa menggunakan kata ganti gue dan lo dalam kehidupan sehari-hari. Nyatanya, memang terjadi pergeseran penggunaan pronomina persona dalam percakapan antarremaja sebaya. 
Kalau kita tilik kembali ke belakang, kata ganti gue-lo ini ternyata berasal dari bahasa Mandarin. Hubungan antara Cina dan Indonesia memungkinkan terjadinya berbagai akulturasi, tidak terkecuali dalam bahasa. ​​
Berdasarkan Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia (1996), ada 290 bahasa Mandarin terserap ke dalam bahasa Indonesia. Nah, gue/lo adalah contohnya. “Gue (我)” dan “Lu/Li (你)” berasal dari bahasa Mandarin Hokkien yang berarti “Saya/Aku” dan “Kamu/Anda”. 
ADVERTISEMENT
Penggunaan kata ganti gue-lo ini menjadi bahasa sapaan yang akrab dan gaul. 
Ya, sebenarnya tidak ada yang salah dengan memakai kata gue-lo. Namun, kekhawatiran terbesar adalah penggunaan kata ganti aku-kamu dalam percakapan sehari-hari yang sekarang ini justru dianggap kaku, kikuk, dan tidak gaul. 
Rasanya seperti ada kemungkinan bahwa kata ganti aku-kamu bisa menjadi tabu, padahal tidak ada yang salah dengan kata-kata tersebut. Aku dan kamu adalah kata baku serta tutur bahasa yang baik dan benar. 
Namun, lagi-lagi, penggunaan tutur bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam percakapan sehari-hari—dalam kasus ini di Jakarta—pun sekarang ini malah dianggap sebagai sesuatu yang ‘sok puitis’. Saat lingkungan sekitar kita menanamkan pola pikir seperti itu, maka hal tersebut dapat termanifestasi. 
ADVERTISEMENT
Lalu, saat kita masuk ke lingkungan lain yang 180 derajat berbeda dengan lingkungan kita, langsung lah kita merasakan, bahasa kerennya, culture shock. 
Penggunaan kata ganti aku-kamu seharusnya tidak perlu menjadi sebuah culture shock untuk generasi muda di Jakarta. Khususnya pada peringatan Bulan Bahasa sekarang ini, perlu kita ingat-ingat lagi eksistensi dan keindahan bahasa bangsa kita, bahasa Indonesia.  
Semakin modern dan berkembangnya zaman tidak berarti kita perlu menghapus orisinalitas kita.