Mempertanyakan Komitmen Presiden dalam Pemberantasan Korupsi

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
Konten dari Pengguna
1 Februari 2024 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Corruption Perseption Index (CPI) atau Indeks persepsi korupsi indonesia tahun 2023 mengalami stagnasi. ini dibuktikan dari laporan Transparency Internasional yang menyebutkan bahwa Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115. Jika di analisis lebih mendalam skor ini kemudian sama seperti pada saat Presiden Jokowi menjabat pertama kali di 2014.
ADVERTISEMENT
Artinya semua komitmen yang sering digaungkan untuk menegakkan pemberantasan korupsi selama 2 periode oleh presiden tidak berdampak signifikan. Alih-alih naik justru stagnan dan peringkatnya turun 5 tingkat.
Walaupun pada tahun 2019 sebelum UU KPK direvisi mencapai skor 40, tapi kemudian pasca hal tersebut justru turun dengan drastis.
Stagnasi skor CPI Indonesia ini bukan tanpa alasan, justru sejak direvisinya UU KPK pemberantasan korupsi di Indonesia semakin turun sejak 2020. Paling tidak ada beberapa penyebab mengapa skor CPI Indonesia stagnan di 34.
Pertama, jika melihat ke belakang terutama di Pasal 3 hasil Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menempatkan presiden sebagai atasan dari KPK, merupakan syarat dengan kepentingan padahal amanat itu sangat bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, yang mana lembaga pemberantasan korupsi harus independen dan bebas dari pengaruh siapapun termasuk pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kedua, ketidakhadiran prioritas yang tepat dalam penanganan korupsi menjadi masalah serius dalam pemerintahan saat ini. Alih-alih memusatkan perhatian pada upaya memperbaiki aturan yang bermasalah, Presiden dan para pejabat pemerintah terlalu terlibat dalam dinamika politik yang kurang relevan dengan kebutuhan pemberantasan korupsi.
RUU yang seharusnya menjadi instrumen penting dalam upaya pemberantasan korupsi, seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi UU Tindak Pidana Korupsi, terbengkalai karena prioritas politik yang lebih tinggi. Hal ini semakin nyata bahwa pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam menjaga integritas pemerintahan.
Ditambah menjelang pemilu tahun 2024, para pejabat pemerintah justru terlihat lebih fokus pada upaya memenangkan pemilu daripada menjalankan amanah jabatan mereka. Perjuangan politik yang sengit membuat penanganan korupsi menjadi terpinggirkan, meninggalkan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan yang lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan terbaru dari Presiden yang memperbolehkan dirinya dan para menteri untuk berkampanye dalam kontestasi pemilu telah menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa di kalangan masyarakat. Keputusan ini tidak hanya menimbulkan potensi pelanggaran hukum, tetapi juga mengancam integritas dan transparansi dalam proses demokrasi. Membolehkan presiden dan para menteri untuk berkampanye, terutama jika mereka masih berstatus aparatur sipil negara, membuka pintu lebar-lebar bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan politik. Dalam konteks pemilu, ini bisa berarti penggunaan sumber daya dan fasilitas negara untuk mendukung kandidat tertentu, merugikan prinsip kesetaraan dan fair play dalam kontes demokrasi.
Ketiga, Komitmen dari aparat penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengalami penurunan drastis yang mencemaskan. Tahun 2023 dapat disebut sebagai tahun terburuk bagi KPK, di mana bahkan Ketua KPK sendiri tersangkut dalam dugaan kasus korupsi. Situasi ini mencerminkan kerentanan dan penurunan integritas lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memerangi korupsi.
ADVERTISEMENT
Keempat, lembaga kehakiman belum memberikan efek jera yang cukup terhadap pelaku korupsi. Putusan yang terkesan tidak konsisten dan hukuman yang seringkali terlalu ringan bagi terdakwa korupsi merupakan cerminan dari kelemahan dalam sistem peradilan yang perlu segera direformasi.
Terakhir, pada banyak kasus, terlihat adanya putusan yang dianggap janggal dan tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran tindak pidana korupsi yang dilakukan. Bahkan, beberapa terpidana korupsi seringkali mendapat hukuman yang relatif ringan, tidak sebanding dengan kerugian yang mereka timbulkan pada negara dan masyarakat.
Pemberian remisi kepada para koruptor adalah salah satu faktor yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Remisi yang diberikan kepada terpidana korupsi menimbulkan kesan bahwa pelanggaran serius seperti korupsi tidak dihargai sebagaimana mestinya dalam sistem peradilan.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sangat penting untuk menjaga stabilitas dan keadilan dalam suatu negara. Namun, ketika pelanggar hukum, terutama koruptor, mendapatkan perlakuan yang lebih ringan dan terkesan diistimewakan, hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum secara keseluruhan.
Terakhir, Kondisi saat ini menunjukkan urgensi untuk tindakan nyata dalam menanggulangi korupsi di semua tingkatan pemerintahan. Langkah-langkah reformasi yang menyeluruh dan berani harus segera diambil, tidak hanya untuk memperbaiki ketidakberesan yang terjadi, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik pada sistem pemerintahan.
Masyarakat membutuhkan bukti konkret bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya sekadar retorika, tetapi sebuah komitmen nyata yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Kepentingan bersama untuk memastikan integritas dan transparansi dalam menjalankan urusan negara harus menjadi prioritas utama, dan hal ini hanya dapat dicapai dengan kerja keras, integritas, dan komitmen nyata tidak hanya omong kosong dari semua pihak terkait.
ADVERTISEMENT