Tantangan Serius bagi Penegakan Hukum dan Integritas KPK di Era Jokowi

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
Konten dari Pengguna
11 Desember 2023 13:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung KPK. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung KPK. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah menyaksikan perjalanan panjang terkait penanganan kasus megakorupsi E-KTP. Pengakuan dari Agus Rahardjo mengenai perintah Presiden untuk menghentikan kasus tersebut menciptakan dugaan kuat akan intervensi dalam penegakan hukum, terutama terkait tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Jika benar, Presiden Jokowi dapat terjerat dalam kasus obstruction of justice, suatu tindakan serius yang dapat merusak fondasi penegakan hukum dan mengakibatkan konsekuensi hukum yang serius.
Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan jelas menyatakan bahwa obstruction of justice mencakup tindakan sengaja yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi. Tindakan semacam ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga mencoreng citra lembaga penegak hukum.
Pentingnya menjaga integritas lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjadi semakin nyata dalam konteks ini. Setya Novanto, yang terbukti bersalah dalam kasus E-KTP, adalah bukti nyata dari korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2 triliun.
ADVERTISEMENT
Dengan terungkapnya fakta-fakta ini, masyarakat perlu memperhatikan serius apakah ada keterlibatan Presiden dalam upaya menghentikan kasus ini dan apakah itu merupakan tindakan obstruction of justice.
Namun, narasi ini tidak hanya berkutat pada satu kasus. Lebih jauh lagi, pengakuan Agus Rahardjo membuka tabir terhadap upaya sistematis pelemahan dan penghancuran KPK selama pemerintahan Jokowi.
Beberapa peristiwa mencolok, seperti kriminalisasi pimpinan KPK pada 2015, penyerangan terhadap Novel Baswedan pada 2017, hingga revisi UU KPK pada 2019, menunjukkan adanya upaya untuk merusak independensi dan integritas KPK.
Pada 2019, pemilihan pimpinan KPK yang kontroversial menjadi puncak pelemahan lembaga ini. Pansel yang diangkat oleh Presiden Jokowi dinilai bermasalah, dan keputusan untuk meloloskan pimpinan KPK yang kontroversial seperti Irjen. Firli Bahuri memicu kontroversi lebih lanjut. Publik menolak, KPK memberikan peringatan, namun Presiden tetap melanjutkan dengan keputusannya.
ADVERTISEMENT
Pada 2021, terjadi pemberhentian lebih dari 75 pegawai KPK yang dianggap berintegritas, menggunakan alasan tes wawasan kebangsaan yang dipertanyakan. Tindakan ini hanya menimbulkan keraguan terhadap komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.
Harun Masiku, yang diduga terlibat dalam skandal politik, masih berada di luar penahanan. Pada 2022, komisioner KPK Lili Pintauli melanggar etika dan menerima gratifikasi tanpa konsekuensi yang berarti.
Pada 2023, perpanjangan masa jabatan KPK yang kontroversial dan pertersangkaan Ketua KPK Firli Bahuri menambah daftar peristiwa yang mempertanyakan integritas dan independensi lembaga anti-korupsi.
Seluruh rangkaian peristiwa ini menimbulkan keprihatinan serius terkait penegakan hukum dan integritas KPK di era Jokowi. Kekhawatiran terhadap pelemahan lembaga ini menjadi nyata, dan masyarakat perlu menilai dampak jangka panjangnya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tindakan obstruction of justice yang diduga melibatkan Presiden Jokowi dalam kasus E-KTP menambah kompleksitas situasi. Jika terbukti benar, ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Publik perlu mempertanyakan apakah perbuatan tersebut melanggar Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945, yang mencakup pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Dalam menghadapi tantangan ini, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak berwenang harus bersatu untuk memastikan bahwa lembaga penegak hukum, terutama KPK, tetap independen dan memiliki kekuatan untuk melaksanakan tugasnya.
Pemantauan terhadap proses peradilan, perubahan peraturan yang mendukung integritas lembaga-lembaga penegak hukum, dan peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya pemberantasan korupsi menjadi kunci dalam mengatasi tantangan ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang berkomitmen untuk memberantas korupsi, Indonesia tidak boleh membiarkan lembaga-lembaga penegak hukumnya dilemahkan atau diintervensi oleh kepentingan politik.
Perjuangan melawan korupsi harus tetap menjadi prioritas utama, dan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum harus dipulihkan. Hanya dengan upaya bersama, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih bersih, adil, dan terbebas dari korupsi.
Pentingnya memahami dan merespons secara serius terhadap peristiwa-peristiwa yang merongrong integritas lembaga penegak hukum tidak hanya terbatas pada satu segmen masyarakat. Melibatkan semua pihak termasuk masyarakat sipil, media, dan pihak berwenang adalah kunci untuk memastikan bahwa demokrasi dan supremasi hukum tetap tegak berdiri.