Negara dalam Kebingungan

QOMARUDDIN
Pasca Sarjana UI, Jurusan Kesejahtraan Sosial
Konten dari Pengguna
31 Mei 2020 14:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari QOMARUDDIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pemerintah sebagai agen pembangunan yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat demi kesejahteraan, kini seolah mengalami gejalah ketidak konfidenan dalam menjalankan tugas-tugasnya, banyaknya kebijakan yang anomali membuat masyarakat bingung dalam merespon peraturan yang berlaku di tengah-tengah aktifitas masyarakat sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Begitu juga DPR yang sebagai representatif kepentingan publik yang didominasi pendukung pemerintah tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal, sehingga menambah keruwetan yang ada. demokrasi dengan sistem perwakilan (indirect democracy) kini tidak bisa menjadi tumpuhan aspirasi masyarakat karena tidak optimalnya peran dan fungsinya. Banyaknya pendukung pemerintah di parlemen membuat fungsi control seolah tak berfungsi, kecuali fraksi yg diluar pemerintahan yang masih aktif fungsi kontrolnya.
Selain ketidak piawaian dalam menangani COVID-19, kebijakan pemerintah juga jauh dari apa yang menjadi kebutuhan dan problem yang dihadapi masyarakat. Hipotesis dari ketidak kompetenya pemerintah menangani covid dan ketidak tepatan kebijakan publik adalah banyaknya daftar kebijakan pemerintah yang anomaly atau berubah-ubah (inkonsistensi), serta tidak tepatnya pemerintah dalam mengambil kebijan publik (public policy) yang memicu undernaline masyarakat memberikan intrupsi berupa kritikan pedas pada pemerintahan. Pemerintah seolah tak cakap melihat persoalan publik dan perkembangan kondisi saat ini.
ADVERTISEMENT
Ketidakcakapan itu majadi masalah baru yang membingungkan pemerintah, atau bingung diatas kebingungan. Sehingga kebijakan publik yang mestinya menjawab situasi dan kebutuhan masyarakat malah menyulitkan masyarakat. Seperti kebijkan kenaikan premi BPJS, kenaikan tarif Listrik, kartu prakerja dan UU omnibus lay, serta UU Minerba. Dan masi banyak deretan lainya.
Kecepatan dan ketrampilan dalam menangkap perkembangan dan persoalan tidak terlihat melekat pada diri pemerintah, sedangkan kecerdasan dan hukum organismik yang ada pada individu dan masyarakat terus berkembang, sehingga ketika kematangan masyarakat dengan kecerdasan dan daya kritisnya muncul sebagai intrupsi pada pemerintah, pemerintah seolah gagap memberikan jawaban.
Kegagapan inilah yang menghadirkan kebijakan yang tidak tepat. Berderet-deret kebijakan anomali selalu dihadirkan pemerintah, seolah tak nampak mekanisme evaluasi. belakangan ini adalah kebijakan New Normal yang banyak menuai kritikan publik. Ketidak tepatan kebijakan ini seolah mengafirmasi kebingungan pemerintah diatas kebingungannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kebingungan dan keruwetan yang dialami negara ini menimbulkan negara dalam krisis legitimasi, dimana Legitimasi merupakan lahir dari masyarakat meliputi kepercayaan sosial (social trust) dan solidaritas. Pengakuan yang muncul dari masyarakat terhadap pemerintah merupakan input bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi untuk tercapainya tujuan dari sistem masyarakat.
Keberadaan negara diakui sejauh memberikan sumbangsi positif bagi pelindungan hak-hak warganegara dalam memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, bila tidak mampu melindungi pengakuan dan kepercayaan masyarakat maka yang terjadi distrust pada institusi pemerintah.
Bedah halnya dengan pandangan Habermas yang mengatakan bahwa krisis legitimasi akibat dari terjadinya krisis ekonomi, namun Indonesia saat ini mengalami krisis legitimasi karena pemerintahan tidak kompeten dalam menunaikan janjinya dan tidak konsisten dalam mengambil kebijakan (anomaly kebijakan).
ADVERTISEMENT
Sehingga dengan sendirinya mendistorsi kedudukan pemerintah di mata publik. pengakuan politik dari masyarakat mestinya sangat penting agar negara punya kewibawaan, marwah dan kepercayaan dalam mengelolah pemerintah. Namun bilah pemerintah tidak kompeten dan inkonsisten maka yang terjadi adalah Krisis legitimasi yang menimbulkan krisis politik dan ekonomi.
Karena krisis legitimasi politik mencerminkan disparitas mendasar dalam masyarakat, maka mustahil menyelesaikannya melalui mekanisme integrasi sosial. Dan hasilnya, negara semakin kesulitan menjustifikasi kebijakan-kebijakannya. Kondisi ini menciptakan defisit legitimasi. Untuk itu pemerintah harus lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan agar tidak menambah volume kegaduhan publik, dan harus kembali bersandar pada filosofi dasar tentang pengambilan kebijakan publik semata-mata untuk kepentingan masyarakat.