Negara Demokrasi yang Hegemonik

QOMARUDDIN
Pasca Sarjana UI, Jurusan Kesejahtraan Sosial
Konten dari Pengguna
23 Juli 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari QOMARUDDIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis: Qomaruddin SE. M.Kesos Kabiro PDT DPP P. Demokrat dan DPN BMI
zoom-in-whitePerbesar
Penulis: Qomaruddin SE. M.Kesos Kabiro PDT DPP P. Demokrat dan DPN BMI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pilkada yang akan digelar bulan Desember tahun 2020 telah banyak memunculkan interpretasi-interpretasi di kalangan publik, baik mengenai munculnya tafsir demokrasi, politik dinasti, hegemoni dan politik oligarki serta spekulasi membangun konfigurasi dalam memenangkan pesta demokrasi di daerah yang kurang lebih berjumlah 270 daerah, mulai dari kabupaten, kota dan provinsi.
ADVERTISEMENT
Pilkada serentak tahun ini merupakan pilkada paling banyak jumlah daerah yang mengikutinya. Maka menjadi wajar bila prevalensi politiknya tinggi. Para partai politik memiliki strategi masing-masing dalam merebut kemenangan di berbagai pilkada, di mana rensonasi politik partai ada yang saling mengafirmasi dan ada juga yang saling menegasi, hal tersebut terjadi bisa karena kesamaan dan perbedaan visi, kesamaan dan perbedaan ideologi ada juga karena kesamaan dan perbedaan kepentingan, mungkin presentasi terakhir yang memiliki porsi paling besar karena hal tersebut in line dengan postulan bahwa yang abadi dalam politik adalah kepentingan, walaupun hal tersebut kebenarannya tidak mesti pasti, tapi fakta politik tersebut sering terjadi di mana mana.
Telah menjadi common sense bagi para tokoh politik, bila partai mampu memenangkan banyak pilkada, maka kemenangan pilkada ini akan menjadi pendulang suara di pemilihan legislatif maupun Pilpres tahun 2024. walaupun hitungan itu tidak pasti linear. Namun rumusan atau perhitungan tersebut banyak terpatri dalam diri para tokoh politik partai. Cara berpikir itulah yang banyak menjadi trigger bagi para partai politik melakukan manuver-manuver politik untuk membentuk konfigurasi pasangan pilkada yang menyeret para aktor-aktor yang tidak memiliki basis pengetahuan dan pengalaman dibidang politik maupun pemerintahan, hal tersebut dilakukan demi mendapatkan kemenangan. Kendati pun peraturan demokrasi kita tidak melarang, namun secara etik dan subtansial cara tersebut mendegradasi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Karena apa, karena demokrasi adalah merupakan sistem yang bertujuan untuk Kebaikan bersama, mensejahterakan masyarakat, dan membangun pemerintahan yang baik. Hal tersebut mustahil akan tercapai bila seorang pemimpin tidak memiliki pengetahun atau keahlihan dan pengalam dibidang tersebut. Baru dipaksa untuk mengikuti kontestasi perebutan kepemimpinan di daerah (PILKADA). Demokrasi memang memberikan kedaulatan pada rakyat untuk dipilih dan memilih, namun demokrasi sendiri juga punya aturan dan etika di dalamnya. Secara historis dan filosofi demokrasi dibangun agar kekuasaan tidak tersentral pada seorang atau kelompok, dengan dibangunya demokrasi mengharuskan kedaulatan berada pada rakyat dan rakyatlah yang memegang kendali kekuasaan yang sudah diamanahkan. Namun bila ada upaya memaksa tentunya tidak selaras dengan makna demokrasi secara subtansial.
ADVERTISEMENT
Demokrasi pada historisnya muncul pada zaman Yunani kuno di kota athena, secara umum demokrasi di artikan sebagai pemerintahan yang kedaulatannya ada di tangan rakyat. Capaian dari pemikiran demokrasi yunani kuno adalah terbentuknya “negara kota (polis)” di mana sistem demokrasi pertama dimulai pada waktu itu. Demokrasi sendiri merupakan salah satu sistem yang diimplementasikan agar kedaulatan ada pada tangan rakyat karena suara rakyat adalah suara tuhan (Vox populi, vox dei), selain itu juga demokrasi dibentuk agar kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi pada seorang penguasa (personal power) atau lembaga politik tertentu. Maka dengan adanya sistem demokrasi mengharuskan adanya pembagian kekuasaan agar tidak terjadi pemerintahan monarki, oligarki, aristokrasi, dan tirani.
Ruh inilah yang menjadi semangat dibangunnya demokrasi di athena. Maka menjadi ironi apabila di era 4.0 ini masi ada upaya-upaya untuk memusatkan kekuasaan pada seorang atau kelompok dalam rangka untuk mengendalikan kekuasaan. Negara dibangun dalam rangka menjamin dan menjaga hak dan amanah yang sudah diberikan rakyat kepada negara. Maka menjadi kontradiktif bila pemerintah berupaya menghegemoni negara hanya pada seorang atau sekelompok orang.
ADVERTISEMENT
Pada perjalanan sejarahnya demokrasi mulai semakin berkembang dengan baik bersamaan dengan lahirnya gerakan renaisans abad XIV. Gagasan-gagasan tentang demokrasi pada masa renaisans semakin produktif dan semakin tersebar di saat yang sama telah ditemukanya mesin cetak. Penemuan teknologi tersebut memudakan para kaum cendikiawan dan para pemikir untuk memproduksi gagasan-gagasan tentang demokrasi untuk disebar luaskan. Sumbangsih gagasan demokrasi yang cukup bagus dibangun oleh Reusseau, beliau mengatakan bahwa negara merupakan sebuah produk perjanjian sosial. Pada waktu itu individu individu dalam masyarakat sepakat menyerahkan sebagian haknya, kebesan dan kekuasaanya kepada kekuasaan bersama, kekuasaan bersama ini kemudian dinamakan negara. Dalam pengertian kedaulatan rakyat adalah kekuasaan negara, atau bisa dikatakan negara berdaulat karena mandat dari rakyat. Negara diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur, mengayomi, keamanan dan menjamin kebebasan serta menjaga hak-hak rakyat. Dan negara akan tetap berdaulat selama negara menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan kehendak rakyat. Negara berkewajiban untuk tetap berusaha mewujudkan kehendak publik/umum, jika negara menyimpang dari kehendak rakyat atau publik, maka keabsahan negara akan mengalami krisis legitimasi. Begitu pula dengan zaman sekarang, walaupun zaman sekarang mengalami lompatan teknologi yang begitu mutakhir atau bisa dikatakan sebagai zaman digitalisasi namun secara subtansial bahwa masyarakat memberikan haknya pada penguasa dalam rangka untuk mewujudkan keinginan publik atau bisa dikatakan sebagai keinginan bersama yang dirumuskan dalam pancasila yaitu tentang ketuhana, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan pemikiran Reusseau, muncul sebuah konsep tentang negara menurut jhon Locke. J. locke menyatakan bahwa Negara muncul karena individu atau masyarakat membutuhkan proteksi akan hak milik yang ada pada individu, berangkat dari itu maka manusia membuat perjanjian sosial, dalam perjanjian sosial, individu sepakat untuk menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada satu lembaga kekuasaan berupa kekuasaan tertinggi yaitu Negara atau masyarakat politik. Atas dasar kontrak sosial itu negara dibentuk semata-mata untuk menjaga harta, jiwa, dan raga individu. Dibentuknya negara menurut locke merupakan usaha bersama individu untuk saling menjaga. Lucke juga menyatakan prinsip tentang kekuasaan negara. Beliau mengatakan bahwa kekuasaan negara tidak lain merupakan sebuah kepercayaan rakyat kepada pemerintah, artinya basis legitimasi pemerintah adalah rakyat bukan yang lain. Demikian pula pemerintah tetap akan diakui legitimasi kekuasaanya selama ia tidak menyalahi kepercayaan yang diberikan masyarakat. Sangat penting bagi pemerintahan agar tetap menjaga kepercayaan atau kedaulatan yang diberikan masyarakat agar pemerintah tidak mengalami krisis legitimasi, yang itu bisa mengganggu aktivitas birokrasi pemerintahan.
ilustrasi. pixabay.com
ADVERTISEMENT
Selain dua tokoh di atas, ada juga tokoh yang memberikan sumbangsih sangat berarti dalam alam demokrasi, beliau adalah monstesquieu. Seorang pemikir politik dari Prancis. Gagasan berlian beliau adalah teori Trias Politik. Inti dari teori ini adalah bahwa agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan kesewang-wenangan, maka kekuasaan negara perlu dipisahkan, pemisahan kekuasaan menurut monstesquieu dibagi menjadi tiga bentuk di antaranya yaitu, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Gagasan trias politik ini muncul dilatarbelakangi agar terjaminnya kebebasan politik rakyat yang terpisah dari kekuasaan negara. Gagasan kebebasan merupakan hal penting dalam pemikiran monstesquieu, dari situ perlunya kekuasaan dibatasi agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu orang atau kelompok, yang berakibat munculnya kesewenang-wenangan dalam negara.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sekarang pemusatan kekuasaan secara eksplisit memang tidak ada, karena negara kita menganut sistem demokrasi yang berasaskan Pancasila. Namun fenomena pembagian kekuasaan (power sharing) terjadi hanya terdistribusi pada kelompok-kelompok tertentu, sehingga bisa jadi bukan pemusatan kekuasaan yang terjadi tapi hegemoni negara pada setiap instansi pemerintahan. Perilaku atau praktik inilah yang sebetulnya juga ditentang oleh para tokoh di atas dan aktivis demokrasi. Hegomoni sekelompok orang yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya di mana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya.
Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi. Menjadi naif bila ada upaya-upaya hegemoni seperti di atas di saat negeri ini dilanda krisis akibat pandemi. Namun cukup berat juga bila kita tidak mengatakan kalau di negeri ini tidak ada praktik hegemoni, faktanya kita merasakan terjadinya praktik-praktik hegemoni di negeri ini. Misalnya secara tidak langsung berbagai instansi pemerintahan didominasi oleh kelompok penguasa, bahkan KPK yang dulu kita andalkan sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang berdiri independen dan disebut-sebut sebagai lembaga superbody kini berubah menjadi lembaga yang lemah karena terhegemoni oleh kekuasaan. Reasoning-nya jelas UU KPK diubah bahkan ada seorang polisi aktif namun tetap dipaksa untuk mengikuti seleksi dan tes untuk menjadi pimpinan KPK dan didukung penuh oleh partai yang berafiliasi dengan penguasa. Memang secara aturan undang-undang tidak ada yang dilarang namun secara etik itu tidak dibenarkan. Tidak baik kita terus berlindung di bawah nama demokrasi demi kepentingan seorang atau kelompok lalu membuat kita bertindak sewenang-wenang tanpa memiliki batasan dan mengabaikan norma dan etika. Memang pada dasarnya etika tidak memiliki aturan tertulis tapi etika hadir dari kesadaran individu dengan hati nurani yang tulus, dia tidak berbentuk aturan namun dengan etika inilah kita bisa membangun demokrasi yang lebih bermartabat.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian mekanisme penguasaan kelompok dominan kepada publik terjadi dilakukan dengan menggunakan kekuasaan yang sudah dimiliki dan upaya memperkuat kekuasaan yang sudah ada, pemerintah sebagai kelompok dominan membangun kesadaran agar masyarakat secara sadar rela dan mendukung kekuasaan yang telah dibangun, atas nama demokrasi para kelompok dan kolega penguasa diminta untuk ikut pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) diberbagai daerah yang akan dilakukan pada bulan desember tahun 2020. Sikap ini sebagian besar masyarakat memberikan justifikasi bahwa langka tersebut adalah langka yang sah dan demokratis, namun di saat yang sama mereka lagi berkuasa. Sulit untuk meyakinkan kalau dalam prosesnya tidak ada preferential treatment untuk kemenangan kelompoknya. Hal Ini merupakan salah satu upaya-upaya hegemoni bila tidak boleh dikatakan sebagai praktik politik dinasti. Upaya pendominasian kekuasaan baik di pusat maupun daerah adalah bagian dari bentuk hegemoni. Demokrasi yang telah kita bangun dengan perjuangan para mahasiswa tahun 1998, sayang kini tercederai dengan cara-cara yang hegemoni ini. Amanah reformasi sangat jelas yaitu menghilangkan praktik-praktik Korupsi Kolusi dan Nopotisme (KKN). Namun hari ini Nepotisme dipertontonkan dengan vulgar di publik. Peristiwa ini adalah bentuk pendegradasi nilai-nilai demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam Pandangan Almarhum Cak Nur tentang demokrasi, beliau mengatakan bahwa demokrasi mengharuskan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Artinya harus ada keselarasan antara tujuan dengan cara kita dalam berdemokrasi, tujuan demokrasi adalah menyejahterakan masyarakat tentunya cara untuk mencapai kesejahteraan harus diilhami dengan keadilan dan etika yan baik. Selain itu Cak Nur juga menyatakan bahwa demokrasi tidak akan terbayang wujud tanpa adanya moral dan akhlak yang tinggi, inilah yang menjadi acuan dalam mencapai tujuan. Demokrasi juga mensyaratkan adanya keluhuran akhlak, etika dan moral agar demokrasi bisa berjalan secara baik, adil dan bermartabat. Hal ini diucapkan agar tidak ada hegemoni dan kesewenang-wenangan dalam menjalankan pemerintahan. Gagasan Almarhum Cak Nur mestinya menjadi tauladan bagi kita dalam mengimplementasikan demokrasi di negeri ini. Sehingga kita sebagai masyarakat bisa sepenuhnya memberikan mandat pada pemerintahan tanpa ada keraguan dan pemerintah bisa menjalankan roda pemerintahan secara amanah dan confident.
ADVERTISEMENT