Halal-Haram, ASN Terlibat Organisasi Masyarakat

Riko Noviantoro
Pembaca buku dan pecinta kegiatan luar ruang. Bekerja sebagai peneliti kebijakan publik di Intitute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Konten dari Pengguna
6 Juli 2021 20:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Riko Noviantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi aparatur sipil negara (bawaslu.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aparatur sipil negara (bawaslu.go.id)
ADVERTISEMENT
Cukup jelas kalimatnya. Bahwa setiap individu punya hak untuk merdeka dalam berserikat dan berkumpul. Di mana kemerdekaannya dalam berserikat itu dibatasi oleh undang-undang.
ADVERTISEMENT
Pembatasan berserikat yang diatur undang-undang sudah pasti berlaku bagi semua warga negara. Namun pada artikel ini membahas makna berserikat dan pembatasannya bagi ASN, khususnya dosen yang ditugaskan pada perguruan tinggi swasta.
Bagaimanakah melihat dosen ASN berserikat? Apakah dibenarkan? Apa saja larangan untuk berserikat bagi ASN?

Berserikat dan Menyampaikan Pendapat Sebagai Hak

Pasal berserikat dan menyampaikan pendapat tidak lepas sebagai penerapan dari sistem demokrasi yang menjadi pilihan dalam bernegara. Di mana simpul pelaksanaan demokrasi melekat pada pelaksanaan pemilihan umum, yang secara korelatif pemilihan umum adalah ruang bagi warga negara untuk berserikat dan menyampaikan pendapat.
Melalui pandangan tersebut terasa menjadi mudah untuk memahami alasan berserikat dan menyampaikan pendapat perlu diatur dalam konstitusi. Namun dalam praktiknya perlu ada batasan. Hal itulah yang kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945, yang menegaskan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat diatur dalam undang-undang. Pada tingkatan ini sangat tepat menyebut berserikat sebagai implementasi demokrasi konstitusional.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dari aspek kesejarahan terbentuknya UUD 1945, memang penuh dengan pergulatan pandangan dari para tokoh bangsa. Mengingat UUD sebagai konstitusi memuat pandangan filosofis, sosiologi dan yuridis yang kemudian menjadi landasan bagi semua produk hukum. Karena UUD adalah konstitusi tertulis yang penting bagi terbentuknya negara.
Bagaimana tidak penting? sesuai Konvensi Montevideo (1933) terdapat dua syarat diakuinya sebuah negara. Pertama syarat deklaratif dan kedua syarat konstitutif. Di mana deklaratif dimaknai sebagai pengakuan negara lain atas kemerdekaan suatu bangsa, dan konstitutif diterjemahkan sebagai keberadaan rakyat, wilayah, dan pemerintahan berdaulat.
Berdasarkan pandangan terebut pasal berserikat dan menyampaikan pendapat dalam konstitusi, merupakan buah pemikiran para perumus UUD 1945. Mereka adalah 19 tokoh bangsa yang bekerja dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang kemudian buah pemikirannya ditetapkan sebagai konstitusi negara pada 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui musyawarah untuk mufakat adalah tata kehidupan bangsa yang telah hidup ratusan tahun. Di mana pemaknaan musyawarah dan mufakat mewujud dalam bentuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Dari seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat adalah hak pribadi yang juga perwujudan jati diri bangsa Indonesia. Di mana praktiknya diatur dengan undang-undang. Maka tidak pantas siapa pun, lembaga apa pun menghalangi kehendak individu untuk berserikat dan berkumpul, menyampaikan pendapat. Selagi tidak ada unsur pelanggaran undang-undang.

ASN Berserikat, Halal atau Haram?

Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter Stock
Sebagai mesin penggerak birokrasi, aparatur sipil negara (ASN) dilengkapi berbagai pedoman peraturan yang lengkap dalam untuk melaksanakan tugasnya. Baik berupa perundangan-undangan maupun peraturan pemerintah, hingga surat edaran menteri.
ADVERTISEMENT
Terkait hak berserikat bagi ASN juga sudah diatur dalam sederet peraturan. Misalkan UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN yang membatasi ASN dari pengaruh golongan dan partai politik. Hal itu terlihat pada Pasal 9 UU ASN.
Kemudian diberikan sanksi pemecatan bagi ASN, jika terbukti menjadi bagian dari parti politik. Hal ini juga tegas tertuang pada Pasal 87 ayat (4) UU ASN. Selanjutnya tidak dijelaskan secara gamblang sanksi atau larangan yang terlibat dalam kegiatan organisasi sosial.
Belum cukup itu saja ASN juga merujuk pada PP No.53 Tahun 2010 tentang Displin Pegawai Negeri Sipil yang mengatur sejumlah larangan. Termasuk larangan ASN terlibat partai politik dan organisasi internasional. Atau terlibat organisasi yang berpotensi konflik kepentingan dan mengganggu kinerja.
ADVERTISEMENT
Pastinya ASN dilarang terlibat organisasi terlarang. Hal itu dikuatkan melalui surat edaran bersama KemenPAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara yang menyebutkan larangan bagi ASN berafiliasi dengan ormas terlarang atau yang dicabut status badan hukumnya. Tertuang pada SE Menpan RB No.2 tahun 2021 dan SE BKN No.2/SE/I/2021.
Dengan demikian menjadi cukup jelas berserikat dan berkumpul, menyampaikan pendapat bagi ASN adalah halal. Namun haram bagi ASN berafiliasi dengan partai politik, LSM internasional atau ormas yang dicabut status badan hukumnya.
Sepatutnya tidak pantas adanya halangan dari institusi mana pun. Apalagi sekelas yayasan yang melarangnya. Dengan syarat berserikatnya ASN tidak melanggar perundang-undangan yang membatasinya. Semoga ASN semakin profesional dan melayani.
**Penulis adalah peneliti kebijakan publik IDP-LP
ADVERTISEMENT