Jadilah Pemuda Seperti Wiranggaleng!

Konten dari Pengguna
5 Maret 2018 13:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmadi Rasyad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wiranggaleng adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh Pramoedya Ananta Toer melalui novelnya berjudul Arus Balik. Wiranggaleng merupakan juara gulat di Tuban yang berasal dari Desa Awis Krambil. Ia adalah istri Idayu, perempuan rupawan pujaan lelaki di Tuban. Untuk menikahi Idayu bukan perkara mudah bagi Wiranggaleng karena ia harus berhadapan dengan Adipati Tuban yang ingin menjadikan Idayu sebagai selirnya. Penduduk Tuban mengetahui bahwa keinginan Adipati Tuban tidak bisa dibantah. Membantah keinginan Sang Adipati, berarti merelakan untuk menerima hukuman atau menyerahkan nyawa untuk disirnakan.
ADVERTISEMENT
Beruntung, cinta Idayu pada Wiranggaleng memunculkan keberanian untuk menolak keinginan Sang Adipati. Penolakannya pada Sang Adipati menyebabkan Idayu dan Wiranggaleng dicintai dan dihormati oleh penduduk Tuban. Rasa hormat itu lalu memengaruhi Sang Adipati untuk membatalkan niatnya menjatuhi hukuman pada Idayu dan Wiranggaleng. Sang Adipati menyadari hukuman yang diberikan pada Idayu dan Wiranggaleng akan menimbulkan kemarahan penduduk Tuban sehingga menyebabkan kekuasaannya terancam. Ajaran mengenai kebijaksanaan begitu melekat pada penduduk Tuban. Mereka dapat membedakan pihak mana yang patut untuk dibela atau tidak. Maka dari itu, Sang adipati lebih memilih menjadikan Idayu dan Wiranggaleng sebagai bagian dari keprajaan Tuban untuk menunjukkan kebijaksanaannya di hadapan penduduk Tuban.
Meskipun demikian, keinginan untuk menyelir Idayu tetap tidak surut. Keindahan tubuh serta menawannya wajah Idayu selalu terbayang dalam pikiran Sang Adipati. Ia lalu mulai menyusun strategi untuk menyingkirkan Wiranggaleng. Selain Sang Adipati, adapula Syahbandar Tuban bernama Tholib Sungkar Az-Zubaid yang terpesona pada Idayu. Ia merupakan syahbandar baru di Tuban yang memiliki hubungan dekat dengan Portugis di Malaka. Jatuhnya Malaka pada Portugis disebabkan pengkhianatan yang dilakukan olehnya. Kepandaiannya dalam menghasut menyebabkan Sang Adipati mempercayakan urusan bandar padanya menggantikan Ishak Indraajit. Kepercayaan itu pula yang akan menyebabkan munculnya persoalan-persoalan di Tuban pada kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Di suatu malam, Tholib Sungkar Az-Zubaid memanfaatkan kepergian Wiranggaleng yang sedang melaksanakan tugas untuk menyerang Portugis di Malaka bersama armada gabungan Adipati Unus. Tholib Sungkar Az-Zubaid memasukkan obat bius pada air minum Idayu yang menyebabkan Idayu pingsan. Dalam ketidaksadarannya, Idayu tidak bisa melawan meskipun memiliki belati yang diberikan oleh Wiranggaleng untuk membela diri. Idayu merelakan tubuhnya dijamah oleh Tholib Sungkar Az-Zubaid. Hasilnya, anak pertama keluar melalui rahimnya yang diberi nama Gelar.
Kelahiran Gelar tidak membahagiakan Idayu karena wajahnya tidak mirip Wiranggaleng. Ia mencurigai bahwa Tholib Sungkar Az-Aubaid adalah ayah Gelar. Kecurigaan itu menyebabkan ia rela untuk ditikam menggunakan belati oleh Wiranggaleng. Istri yang mengkhianati suaminya harus rela ditikam oleh suaminya, sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku dalam cerita. Idayu menyerahkan dirinya pada Wiranggaleng tapi Wiranggaleng menolak untuk menikamkan belati pada istrinya. Walaupun, wiranggaleng menyadari bahwa Gelar bukan anaknya. Wiranggaleng memang kecewa. Kekecewaannya tertuju pada Tholib Sungkar Az-Zubaid karena ia meyakini istrinya tidak mungkin merelakan tubuhnya untuk dijamah oleh lelaki selain Wiranggaleng. Ia dendam pada Tholib Sungkar Az-Zubaid tapi dendamnya hanya disimpan dalam hati. Ia ingin menikam Tholib Sungkar tapi terhalang kekuasaan Sang Adipati yang melindungi Tholib Sungkar sebagai orang kepercayaannya. Kesetiaannya pada Idayu diuji melalui cobaan yang begitu berat.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemuda desa yang baru memasuki kota, Wiranggaleng masih begitu memegang teguh adat-istiadat yang diajarkan di desa. Ia merupakan pelaksana petuah-petuah yang disuarakan oleh Rama Cluring, guru yang bertugas mengelilingi desa-desa untuk memberikan petuah-petuah demi kebaikan Nusantara di kemudian hari. Petuah-petuah yang diberikan oleh Rama Cluring di desa-desa berupa puja-puji pada Majapahit yang pernah jaya di masa lampau. Ia memberikan petuah mengenai kejayaan Majapahit agar pemuda-pemudi menyadari kemerosotan yang sedang terjadi di Nusantara. Tanpa mengenali masa lampau, siapa pun tidak akan pernah mengenal masa depan, begitu ucapan Rama Cluring.
Berkat pengetahuannya mengenai masa lampau, Wiranggaleng tumbuh menjadi pribadi yang benar-benar mencintai Nusantara secara utuh. Ia ingin Nusantara kembali ke masa jayanya. Baginya, kejayaan Nusantara hanya bisa diwujudkan bila bersatu dan dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana, seperti Mahapatih Gajah Mada. Sejak jatuhnya Majapahit, Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja dengan sikap egois serta kepongahannya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Wiranggaleng baru menemukan secercah harapan ketika armada gabungan yang dipimpin oleh Adipati Unus menyerang Portugis di Malaka. Walaupun kalah, armada gabungan itu telah berani untuk melawan Portugis yang dikenal sebagai lelananging jagad. Ia sangat menghormati Adipati Unus yang mampu mempersatukan Nusantara untuk menyerang Portugis di Malaka. Bagi Wiranggaleng, Adipati Unus adalah raja yang tidak menutup matanya terhadap kemerosotan yang terjadi di Nusantara. Adipati Unus menyadari bahwa Nusantara mustahil kembali jaya tanpa Malaka. Malaka adalah jalur perdagangan yang dilintasi oleh perahu-perahu pribumi untuk berdagang. Dihambatnya jalur perdagangan, berarti dihambat pula sumber penghidupan yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Nusantara.
Setelah wafatnya Adipati Unus, Wiranggaleng lalu menggantungkan harapannya pada Sultan Trenggono, Raja Demak ketiga. Namun, ia dikecewakan karena Sultan Trenggono tidak berniat untuk menyerang Portugis sebagaimana pernah dilakukan oleh Adipati Unus. Trenggono benar-benar berbeda dengan kakaknya. Trenggono justru menyerang kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam bersama Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai. Tuban diserang pula oleh balatentara Demak tapi gagal karena pasukan gajah dan pasukan kuda Tuban berhasil menghalaunya. Adipati Tuban wafat ketika Demak menyerang.
ADVERTISEMENT
Ketika bandar, bangunan-bangunan, dan pelabuhan di Tuban mulai ditata kembali karena porak-poranda diserang oleh Demak, Portugis mendatangi Tuban. Sebelum tiba di Tuban, Portugis sempat menyinggahi Bandar Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Demak. Mereka terusir dari sana karena balatentara Demak yang dipimpin oleh Fathillah menghujami kapal mereka menggunakan meriam hasil rampasan. Di Tuban, mereka datang tanpa berkompromi, langsung melepaskan meriam dan memporakporandakan kehidupan yang sedang ditata kembali. Pasukan Tuban yang dipimpin oleh Kala Cuwil harus mundur hingga ke pedalaman untuk menghindari amuk Portugis.
Ketika Tuban didatangi oleh Portugis, Wiranggaleng sedang berada di perjalanan menuju Tuban dari Malaka. Di Malaka, Wiranggaleng telah menyerang Portugis bersama armada gabungan Aceh dan Bugis. Serangan yang dilakukan ke Malaka diinisiasi oleh Ratu Aisah, ibunda Sultan trenggono. Penyerangan menuju Malaka dilakukan sebab Ratu Aisah masih memegang teguh pandangan anaknya, Adipati Unus. Pasukan yang dipimpin oleh Wiranggaleng sempat bertempur melawan Portugis di Malaka hingga memaksa Portugis mundur dari area pertempuran. Meskipun menang, Wiranggaleng akhirnya terpaksa kembali ke Tuban karena balatentara Demak mengkhianati perjanjian yang telah disepakati. Selain itu, Wiranggaleng pun kekurangan pasukan setelah balatentara Aceh memutuskan pulang karena wafatnya Sultan Aceh, Mughayat Syah.
ADVERTISEMENT
Sebelum menginisiasi penyerangan ke Malaka, Ratu Aisah ditemui Sultan Trenggono di Jepara untuk menyatukan pandangan. Hasilnya, Sultan Trenggono menyepakati perjanjian untuk menyerang Malaka, meneruskan cita-cita Adipati Unus. Akan tetapi, perjanjian itu ternyata hanya tipu muslihat semata untuk mengambil alih kembali pasukan laut Demak yang direbut oleh Ratu Aisah. Sultan Trenggono membutuhkan pasukan laut untuk memuluskan niatnya menguasai Pulau Jawa.
Setibanya di Tuban, Wiranggaleng diangkat sebagai senapati untuk memimpin serangan pada Portugis menggantikan Kala Cuwil. Kedatangan Wiranggaleng menggugah kembali semangat penduduk Tuban yang sempat surut karena perselisihan di antara Kala Cuwil dan Banteng Wareng, pemimpin pasukan kuda. Wiranggaleng lalu mulai menyusun strategi penyerangan terhadap Portugis. Ia memutuskan untuk menyerang Portugis di malam hari. Keputusannya membuahkan hasil, pasukan Tuban akhirnya dapat mengusir Portugis dari Tuban untuk selama-lamanya.
ADVERTISEMENT
Wafatnya Adipati Tuban memunculkan kebingungan di antara penduduk Tuban. Mereka tidak memiliki pemimpin. Wiranggaleng yang memimpin pasukan Tuban ketika menyerang Portugis diminta untuk menggantikan Sang Adipati. Penduduk Tuban merasa bahwa Wiranggaleng merupakan jelmaan Mahapatih Gajah Mada yang akan membawa kejayaan kembali bagi Nusantara. Akan tetapi, Wiranggaleng menolak permintaan penduduk Tuban itu. Ia menyadari bahwa dirinya hanya pemuda desa. Ia bukan Mahapatih Gajah Mada walaupun memiliki kesamaan berasal dari desa. Ia tidak berkenan untuk menguasai dan dikuasai siapa pun.
Bagi Wiranggaleng, Sultan Trenggono merupakan orang yang paling mampu untuk menyatukan Nusantara jika ia bisa menahan nafsunya menggagahi Pulau Jawa lalu beralih menyerang Portugis di Malaka. Untuk menyerang Malaka diperlukan modal, modal itu berada pada Sultan Trenggono beserta balatentaranya. Namun, Sultan Trenggono telah terlanjur menyerang kerajaan-kerajaan di sekitarnya sehingga menyebabkan ketidakpercayaan raja-raja itu padanya. Hubungan yang baik di antara Sultan Trenggono dengan raja-raja di Pulau Jawa tidak bisa dibina. Jalur perdagangan pribumi akan tetap dihambat oleh Portugis sehingga kejayaan tidak akan pernah singgah kembali di Nusantara. Setelah menolak permintaan penduduk Tuban, Wiranggaleng kembali ke desanya untuk menjadi petani. Kejayaan Nusantara tidak berhasil untuk dikembalikan. Walaupun demikian, Adipati Unus dan Wiranggaleng, setidaknya telah berani untuk membendung, bahkan melawan Portugis tanpa rasa takut.
ADVERTISEMENT
Sikap bijaksana yang ditunjukkan oleh Wiranggaleng dibentuk oleh tiga orang, yakni Idayu, Adipati Unus, dan Rama Cluring. Melalui Rama Cluring, Wiranggaleng belajar untuk memahami kejayaan Majapahit. Melalui pemahamannya itu, ia menjadikan Majapahit sebagai pertimbangan dalam menentukan tindakan. Majapahit seperti cermin untuk memahami persoalan penting yang terjadi di masanya. Berkat pemahamannya mengenai Majapahit pula, ia mengenal Mahapatih Gajah Mada. Bagi Wiranggaleng, tanpa kebijaksanaan pemimpin mustahil Nusantara dapat bersatu.
Wiranggaleng merupakan pribadi yang berani. Ia berani memimpin penyerangan pada Portugis di Malaka bersama balatentara Aceh dan Bugis. Wiranggaleng menyerang Portugis setelah melihat keberanian Adipati Unus. Adipati Unus berpengaruh dalam membentuk keberanian Wiranggaleng pada Portugis. Melalui Adipati Unus, Wiranggaleng menyadari bahwa Portugis bukan mustahil untuk dikalahkan dan diusir dari Malaka. Adipati Unus telah melawan tapi gagal karena cerobohnya sikap armada gabungan yang dipimpinnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Idayu adalah sosok paling berpengaruh bagi Wiranggaleng. Wiranggaleng berpangkat sebagai Senapati Tuban. Ia memiliki kesempatan pula untuk memiliki pangkat melebihi senapati sejak wafatnya Adipati Tuban. Namun, ia tidak rakus kekuasaan, ia justru lebih memilih untuk menjadi petani di desa. Wiranggaleng mengenal adanya batas dan ia tidak ingin melampauinya. Batas itu diciptakan oleh Idayu, istrinya. Ketika berada di lingkungan praja, Idayu selalu mengeluh pada Wiranggaleng untuk kembali ke desa karena di sana mereka bisa hidup dengan tenang. Di kota, mereka hanya menemui persoalan-persoalan yang menjadi beban hidup. Melalui Idayu, Wiranggaleng belajar untuk tidak melupakan desa yang telah menempanya hingga sedemikian rupa. Wiranggaleng dan Idayu adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sejauh apa pun Wiranggaleng mengelana, ia tetap akan kembali ke desa untuk menemui Idayu, istri yang dicintainya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, melalui novel Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer ingin kembali menegaskan bahwa peran angkatan muda untuk mengubah Indonesia begitu penting. Kemajuan di Indonesia hanya bisa diwujudkan oleh angkatan muda yang bijaksana. Maksudnya, angkatan muda yang peka dalam mendengar maupun melihat. Tanpa kepekaan, angkatan muda akan mati rasa sehingga kemajuan yang diperoleh hanya ditujukan untuk kepentingan sendiri, bukan kepentingan bersama. Ilmu pengetahuan yang diperoleh angkatan muda selama mengenyam pendidikan jangan pernah memunculkan sikap tinggi hati. Wiranggaleng mestinya dijadikan sebagai cermin bagi angkatan muda. Kebijaksanaan Wiranggaleng sehingga diangkat menjadi pemimpin oleh penduduk Tuban, tidak lantas menjadikannya sosok yang rakus kekuasaan. Wiranggaleng tidak ingin menguasai dan dikuasai oleh siapa pun. Ia tetap mengenal adanya batas.
ADVERTISEMENT