Baiq, Prita, dan Konten Emosional yang Menyelamatkan Kita

Lifeatkumparan
Konten dari Pengguna
23 November 2018 20:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Baiq, Prita, dan Konten Emosional yang Menyelamatkan Kita
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sebuah artikel di medium ini menarik perhatian saya. Sudah lama memang. Judulnya: Emotions will save journalism in the digital age.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya ada rujukan jurnal yang ditulis oleh pengajar media di London School of Economics, yakni Charlie Becket dan Mark Deuze dari University of Amsterdam. Isinya mengenai konten emosional yang akan menyelamatkan produk jurnalistik di era digital.
Tulisan dan rujukan itu memberi banyak pengaruh terhadap cara pandang saya terhadap konten saat ini. Ditambah lagi dengan konten-konten yang selama ini saya pelajari di kumparan, saya yakin apa yang mereka tulis dan bahas itu benar adanya. Begini elaborasinya.
Konten Emosional
Kenapa emosi akan menyelamatkan jurnalisme di era digital? Menurut para peneliti tadi, penyebabnya adalah media sosial. Di era sekarang, kita tidak lagi hidup bersama media, tapi kita hidup di dalam media, terutama media sosial. Dan karena kita hidup sehari-hari di dalam media sosial, maka konten-konten yang kita konsumsi di media sosial akan terbawa saat melihat konten jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Apa sebenarnya konten yang kita konsumsi di media sosial? Jawabannya adalah konten emosional. Facebook, Instagram, Twitter mengeksploitasi emosi di dalam jiwa kita agar kita menghabiskan waktu banyak di laman mereka. Konten-konten yang kita lihat dari teman, pacar, keluarga, istri bahkan mantan, adalah konten-konten emosional. Mulai dari pandangan politik, aktivitas mengasuh anak, jalan-jalan ke luar negeri, aktivitas makan, drama di jalanan sampai cerita-cerita mengharukan.
Tanpa banyak disadari, kebiasaan harian itu membuat kita mencari konten yang relatif sama ketika membaca media online. Berita-berita yang banyak dikonsumsi adalah berita yang sedikit-banyak membuat emosi kita tergerak. Emosi dalam konteks ini bisa jadi gembira, sedih, marah, terinspirasi, terharu, dan perasaan lainnya.
We feel faster than we think
ADVERTISEMENT
Kebiasan kita untuk lebih cepat merasa daripada berpikir ini bila dimanfaatkan secara baik lewat konten, maka bisa jadi memang menyelamatkan produk jurnalistik di era digital. Pembaca akan lebih banyak mencari konten yang bisa membuat emosi mereka tergerak. Bukan konten-konten pada umumnya.
Dalam hal ini, saya meyakini diskusi soal konten media tidak lagi pada bentuk konten. Tapi lebih kepada isinya. Kita tidak perlu lagi sibuk berdebat soal konten in depth, konten breaking, konten pendek-panjang, konten video, hingga konten infografik. Tapi kita sebaiknya membahas apakah konten ini cukup emosional bagi user atau tidak.
Bentuk konten bisa menjadi sangat cair mengikuti kebutuhan emosional tadi. Misalnya, konten tentang sebuah peristiwa akan lebih emosional bila lebih banyak ditonjolkan secara visual. Artinya, kebutuhan konten ini adalah video dan foto, bukan tulisan narasi panjang-panjang. Sementara konten yang kuat secara emosional dari sisi pernyataan cukup diberi kumpulan quotes saja atau dalam bentuk format tanya jawab. Dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Ada banyak pendekatan untuk bisa membuat konten lebih emosional. Namun bagi saya, pendekatan yang paling mudah adalah pendekatan manusia. Konten yang semakin dekat dengan manusia, biasanya lebih mudah memicu emosi.
Sebagai contoh: saat bicara soal gadget, kita bisa angkat kisah tujuan produk itu buat manusia, para manusia hebat di balik produknya, dan para user penggila produk tersebut. Bicara soal sepak bola, kita tidak hanya bicara soal pertandingan, tapi juga membahas keluarga, hubungan antar manusia dan rasa cinta fans terhadap klubnya. Bicara soal ekonomi, otomotif, dan sains pun demikian. Manusia jadi sisi pembahasan utama.
Konten Emosional x CTA
Kasus Baiq Nuril dan Prita Mulyasari adalah contoh sebuah konten emosional. Dua perempuan berjuang melawan ketidakadilan yang didukung secara luas oleh publik. Dukungan diberikan karena semua konten tentang mereka membuat kita semua jadi marah dan sedih sekaligus iba. Unsur kedekatannya dengan para ibu-ibu sangat tinggi. Wajar, langsung viral di mana-mana.
Baiq, Prita, dan Konten Emosional yang Menyelamatkan Kita (1)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi terlepas dari persoalan itu, fenomena dua kasus ini memberi saya pelajaran berharga. Bahwa sesungguhnya konten emosional itu akan berujung pada sebuah aksi atau bahasa digitalnya disebut call to action (CTA).
ADVERTISEMENT
Baiq Nuril yang dilecehkan secara verbal, malah dihukum penjara dan denda. Setelah membaca kontennya, sontak masyarakat kemudian melakukan action dalam bentuk petisi, penggalangan donasi, bahkan sampai aksi demonstrasi. Hal yang sama terjadi pada kasus Prita Mulyasari. Berawal dari konten, publik ramai-ramai mengumpulkan koin sampai menggelar aksi damai untuk membela Prita.
Dengan formula konten emosional berujung aksi, maka saya membayangkan hal ini bisa membantu menyelesaikan beberapa persoalan yang berkaitan dengan konten di masyarakat, di antaranya:
1. Rilis. Pemerintah, perusahaan atau NGO ketika membuat rilis, tidak melulu soal seremoni belaka. Sebaiknya, mereka mulai mencari hal-hal yang bisa membuat konten itu lebih emosional. Sehingga apa pun pesan mereka jadi lebih tersampaikan.
2. Konten data. Banyak orang pesimistis ketika menyajikan konten berbasis data karena effort-nya besar, namun kadang pembacanya sedikit. Menurut saya, konten data itu bisa dibumbui dengan unsur emosional dulu. Setelah orang suka dan masuk, maka data bisa dimasukkan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
3. Konten donasi. Saat membuat program penggalangan dana, beberapa lembaga mengaku sulit meraih atensi publik. Bisa jadi karena persoalan kontennya. Ada kemungkinan bila kontennya dibuat lebih emosional, maka tanpa perlu panjang lebar berkampanye, donasi akan lebih mudah masuk.
4. Advertorial. Brand yang mau membuat produknya lebih dekat dengan user, maka sebaiknya membuat narasi konten yang lebih emosional daripada berjualan langsung atau direct sell. Supaya bisa membuat kemungkinan call to action membeli produknya lebih besar.
5. Konten kritik. NGO atau komunitas masyarakat banyak yang mengkritik kebijakan pemerintah atau lembaga lainnya dengan aksi atau konten bernada ‘keras’. Saya usul, agar konten-konten dan narasinya diubah jadi lebih emosional dan menyentuh pembaca agar lebih dekat dan menggugah orang untuk ikut mengkritik. Cara LBH Jakarta menyampaikan informasi soal korban-korban fintech nakal beberapa waktu lalu bisa jadi rujukan menarik.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, saya akan meninggalkan Anda dengan kumpulan konten emosional yang berhasil saya himpun di kumparan. Baik yang datang dari tulisan personal atau redaksi. Semoga berkenan.
Beatrice dan Perjuangan Melahirkan di Bui
Aku, Si Anak Beda Agama
Mau Bunuh Diri? Sini Gue Kasih Tahu Caranya
Kisah Saya Ambil Alih Mobil Travel Bandung-Jakarta
Adu Nyali Hadapi Catcalling di Jakarta
Demi Cinta, Hadiya Melawan Pengadilan
Aninda dan Ancaman Kebocoran Data Warga
Endang Irawan Driver Go-Jek yang Bekerja untuk Hidupi 126 Santri
Kloning Sukses, Dunia Selangkah Menuju Manufaktur Manusia
Sudah Saatnya Mengubur Istilah Pelakor
Reza Rahadian: Keluarga Saya Nasrani, Saya Saja yang Muslim dan Puasa
Di kumparan, Akhirnya Sutopo dan Raisa Bertemu
Duka dan Airmata Elly, Ibunda Kompol Fahrizal
ADVERTISEMENT
Pengakuan Mahasiswi IPB yang Beasiswanya Dicabut
Malam Jahanam di Pondok Gede
Pedagang dan Pengangguran Paling Banyak Tertimpa Azab di TV
Mengenal Ismail Sang Sultan PNS 42 Tahun Kolektor Produk Xiaomi
Kisah Cinta Burung Nigel yang Mati Kesepian
dll.