Dharma Anak Karang Taruna

Lifeatkumparan
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2018 1:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dharma Anak Karang Taruna
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Saya mau berbagi satu lagi cerita menarik dari kampung saya di Cigombong, Kabupaten Bogor, sana. Ada seorang pemuda yang sekarang jadi ketua karang taruna punya tulisan menarik saat hendak mengakhiri jabatannya. Namanya Rama.
ADVERTISEMENT
Ini isi postingannya:
Insya Allah, besok lusa saya akan mengundurkan diri secara resmi sebagai ketua Karang Taruna Cigombong Raya. Organisasi akan mengadakan rapat pleno yang dilanjutkan dengan temu karya untuk memilih ketua baru, dan mungkin kepengurusan baru.
Banyak tawaran dan dorongan untuk tetap bertahan, dan maju ke tingkat yang lebih tinggi. Banyak pula yang mendorong untuk terjun ke bidang politik. Tapi bagi saya, menjadi ketua karang taruna Kecamatan Cigombong adalah jabatan tertinggi. Karena sejak awal, niatnya untuk fokus pada Kecamatan Cigombong. Tidak ada yang lain. Tapi ini punya syarat penting, seperti slogan Karang Taruna Kabupaten Bogor, bertindak lokal berpikir global. Visinya, mesti global.
2 tahun lalu saya mendaftar sekolah dokter spesialis Orthopaedi dan Traumatologi di Universitas Indonesia. Ada 14 orang yang mendaftar, program hanya menerima 6-7 orang. Saat ujian wawancara, di depan saya ada 12 orang penguji, 3 di antaranya adalah profesor senior. Itu adrenalin luar biasa. Saya ditanya, apa aktivitas sosial saya. Saya jawab, saya ketua pemuda di tingkat kecamatan. Sebuah kecamatan yang istimewa. Mereka bertanya banyak hal tentang itu. Selama wawancara, pembicaraan tentang karang taruna mendominasi.
ADVERTISEMENT
Lulus? Tidak. Ya sudah, kegagalan adalah petunjuk. Tapi maksud saya, mereka sangat menghargai aktivitas sosial saya.
Visi kami sejak awal bukan memperkuat organisasi karang taruna, namun mempersatukan dan mengkolaborasikan seluruh elemen pemuda di Kecamatan Cigombong melalui karang taruna. Ketangguhan dibangun di sana. Dan alhamdulillah, sejauh ini kami bisa bekerjasama dengan berbagai pihak. Kolaborasi.
Substansinya bukan pada keuangan, keberhasilan program, atau hal-hal lain yang bersifat proses. Substansinya adalah dampak psikologis, rasa bersatu sebagai sesama pemuda Cigombong. Karena setelah bersatu, kita akan lebih tangguh dan bertenaga untuk bergerak. Bersatu dan bergerak.
Untuk itu kami berikhtiar menyelenggarakan berbagai kegiatan, aksi-aksi sosial, diskusi terbuka, dan sebagainya. Hanya untuk bersatu, bersilaturahmi.
Karang taruna ini sama sekali bukan kegiatan mengisi waktu luang, karena 3 tahun ini saya sama sekali tidak luang. Dan termasuk pos pengeluaran finansial yang sampai tahap minus. Membuat saya mengurangi uang belanja istri. Bahkan tidak jarang saya pinjam uang istri untuk membiayai kegiatan. Dan, termasuk bahan perkelahian saya dengan banyak sahabat. Ini, sama sekali bukan hal santai, ini adalah darah dan air mata.
ADVERTISEMENT
Maka ini mesti terus berlanjut. Hanya sedikit yang saya lakukan, masih banyak sekali hal yang dapat pemuda se-Cigombong Raya lakukan. Dan hingga kapanpun, support total saya bagi mereka.
Visinya mestilah Cigombong.
Cigombong united kan niet verslagen worden
Pakuat, pakait.
Kecamatan kita, tidak boleh kalah oleh negara lain.
Dari desa-desa, untuk negara.
Diengke-engke, jadi bangke.
Edankeun, or die!
====
Dharma
Kebetulan, saya sedang membaca buku menarik rekomendasi dari Mas Yusuf Arifin (Dalipin) yang judulnya; Monk who Sold his Ferrari. Buku ini terlontar saat saya, Ikhwanul Habibi, dan Mas Dalipin sedang ngobrol ringan soal sosok pria di Yogya yang hidup selaras dengan alam. Pria yang punya restoran tapi organik, pria yang mewakafkan hidupnya untuk kepentingan orang lain.
ADVERTISEMENT
Buku tersebut bercerita tentang sosok pria yang hidup sukses sebagai pengacara, kaya raya, punya Ferrari, tapi kosong jiwanya. Dia mencari uang hanya untuk mengobati penyakit. Tak ada kebahagiaan, tak ada kegembiraan. Semua materi yang dia punya tak bisa memenuhi ruang kosong dalam jiwanya. Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk berkelana dan menjual seluruh hartanya.
Singkat cerita dalam perjalanannya, pria tersebut menemukan sebuah desa di Pegunungan Himalaya yang berisi para biksu yang berumur ratusan tahun. Para biksu itu kemudian bercerita tentang rahasia turun temurun soal umur panjang dan kebahagiaan di kehidupan mereka.
Sang pengacara itu pun tinggal di sana selama berbulan-bulan. Setelah selesai menimba ilmu, dia pulang ke Amerika Serikat dan menceritakan pengalaman tersebut ke rekannya. Dia mengajak rekannya untuk hidup seperti biksu di sana, dalam konteks yang lebih modern.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang diajarkan, tapi untuk tulisan ini saya ingin mengulas satu poin, terutama soal dharma. Biksu-biksu di Himalaya sana percaya, hidup itu harus punya tujuan. Nah, tujuan yang mereka yakini sebagai pegangan sehari-hari adalah hidup untuk memberi manfaat pada orang lain. Itulah yang ada di kepala mereka setiap hari.
Apapun yang mereka kerjakan hari itu, harus punya nilai manfaat untuk orang banyak. Jika tidak, maka harus ditinggalkan. Itulah yang mereka sebut sebagai dharma.
The purpose of life is a life of purpose,” itu kata mereka.
Dharma menurut si pengacara, tidak harus melulu soal sosial. Para biksu itu meyakini, semua orang punya dharma-nya masing-masing tergantung apa yang mereka suka.
ADVERTISEMENT
Bila sebagai pengacara, maka dharma-nya untuk menolong orang yang tertimpa kasus atau masalah. Bila dharmanya sebagai dokter, maka menolong orang sakit. Sebagai jurnalis, dharma-nya menyebarkan informasi yang bermanfaat. Tukang parkir, dharma-nya membantu orang lain terhindar dari kecelakaan.
Dharma ada dalam diri kita semua. Termasuk juga sebagai karang taruna. Apa yang ditunjukkan Rama adalah bentuk dharma dia sebagai seorang pemuda. Semoga bisa menginspirasi kita semua.. Aamiin.