Sunat Adalah Momen Privat

Lifeatkumparan
Konten dari Pengguna
4 Juli 2018 19:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sunat Adalah Momen Privat
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pagi ini, anak laki laki saya yang pertama disunat. Saya ingin cerita soal betapa pentingnya kita menjaga privasi mereka di saat momen penting dalam hidupnya tersebut.
ADVERTISEMENT
Si Ujang disunat di salah satu Rumah Sunat di Bogor. Rumah sunat ini konon adalah tempat disunat hampir seluruh pria di kota Bogor. Setiap kami bertanya ke siapapun, rekomendasinya selalu di tempat tersebut. Murah, berpengalaman, bisa langsung pakai celana. Itu isi testimoninya.
Setelah mendaftar dua pekan lalu, akhirnya kami sepakat untuk menyunat Ujang di hari Rabu ini. Sebab prediksinya butuh waktu dua minggu untuk sembuh total. Kalau kami sunat di akhir pekan, kemungkinan Ujang harus bolos sekolah.
Biayanya Rp 850 ribu. Bila anak Anda punya berat badan yang di atas ideal, biayanya bisa naik sampai Rp1,2 jutaan. Sebab menurut dokter, tingkat kesulitan anak yang gemuk lebih tinggi ketika disunat. Asumsi saya, anak gemuk cenderung lebih kecil penisnya, jadi sulit mungkin untuk 'dieksekusi'.
ADVERTISEMENT
Sejak awal mendaftar, kami sudah diwanti wanti agar tidak heboh mengabarkan saudara atau tetangga soal rencana sunat. Berdasarkan pengalaman pihak rumah sunat, banyak anak batal disunat saat tiba di sana karena persoalan kesehatan, berat badan dan drama takut melihat ruang sunat, lihat dokter dan alat alatnya.
"Mending ngabarinnya setelah disunat. Daripada udah datang satu rombongan tapi batal sunatnya," kata salah seorang perawat.
Sunat Adalah Momen Privat (1)
zoom-in-whitePerbesar
Saya sepakat. Bukan karena persoalan khawatir batal, tapi saya memandang urusan sunat adalah momen privat. Ini adalah peristiwa yang sulit kita lupakan seumur hidup. Beda dengan putus cinta atau utang ke teman yang dengan mudah bisa kita skip dari memori otak.
Saya disunat lewat sebuah tradisi yang baik tapi efeknya pada kondisi psikologis saya sampai dewasa. Seluruh tetangga datang sebelum saya berangkat ke dokter. Mereka berzikir dan mendoakan keselamatan. Sebagian saudara dan tetangga kemudian ikut mengantar saya ke tempat sunat.
ADVERTISEMENT
Masih teringat dengan jelas wajah saudara dan tetangga yang melihat simbol kelaki lakian saya diusap betadine, disuntik, sampai dipotong kulupnya oleh dokter. Ada yang bertugas memegangi tangan, ada yang memegangi kaki, bahkan ada yang memegang kepala. Total bisa hampir enam orang di dalam ruangan. Mirip adegan penyiksaan mengerikan di film seri bandar narkoba el Chapo atau Narcos.
Momen itu yang saya ingat. Dan saya yakin para tetangga itu juga ingat. Rasanya malu membayangkan simbol kehormatan raga kita dipelototi oleh banyak orang. Nyatanya, menjaga aurat itu berat. Bukan hanya rindu.
Pengalaman adik saya lebih drama lagi. Tapi rasanya tidak perlu saya ceritakan di sini karena dia sudah menanggung beban pengalaman waktu berumur 6 tahun itu sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Intinya, saya mencapai pada titik kesimpulan bahwa sunat adalah momen intim antara anak dan orang tua saja. Saat dia meronta sampai meringis, hanya kami yang boleh menyaksikannya. Momen itu wajib kami simpan sebagai rahasia bersama. Hal hal memalukan (bila ada) yang berpotensi jadi bahan bully di kemudian hari akan kami tutup rapat.
Bila ada yang berkunjung ke rumah juga tolong jangan lihat titit anak saya tanpa seizinnya. Bahkan sebenarnya tak perlu dilihat. Buat apa sih? Bentuknya pasti gitu gitu aja. Tidak akan banyak beda.
Biarlah dia menjaga auratnya. Sehingga kelak dia dewasa nanti, dia tahu bahwa kehormatannya tetap terjaga. Oleh kita semua.
Kepada sanak saudara dan tetangga, saya memohon doanya saja.
ADVERTISEMENT
Dan untuk anakku: Sing cageur, bageur jeung pinteur nya Jang... Ayah bangga padamu.