Ujian dari Saudara

Rachmadin Ismail
Sayang anak, doa ibu, takut istri.
Konten dari Pengguna
12 April 2019 14:53 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmadin Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ujian dari Saudara
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Waktu menunjukkan pukul 03.30. Biasanya kalau bangun di jam segini, saya hanya kencing lalu tidur lagi. Tapi ini Madinah, bukan rumah saya di Ciawi. Ini adalah rumah Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, tempatnya kita mencari rahmat di taman surgawi.
ADVERTISEMENT
Suhu pagi itu tidak terlalu dingin, cukup bersahabat untuk orang Indonesia yang suka bersarung dan berbaju koko lengan pendek seperti saya. Jarak hotel dengan masjid hanya 100 meter saja. Banyak ruang kosong di masjid tersedia, sehingga saya bisa duduk di tempat favorit saya: bersandar ke tiang penyangga.
Pagi itu, yang tak mau ketinggalan ibadah di Masjid Nabawi, rupanya bukan hanya saya. Ada ribuan orang lain datang dari berbagai negara dengan wajah berseri, padahal masih dini hari.
Orang Asia Selatan (Pakistan, Bangladesh, dan sekitarnya) datang dengan pakaian khas berbaju satu nada antara celana dan pakaian muslim serta peci haji yang terpotong di bagian tengah. Anda bisa langsung mengenali mereka begitu pertama kali berjumpa.
ADVERTISEMENT
Orang Afrika (Aljazair, Nigeria, dan lainnya) datang dengan motif pakaian yang lebih berwarna. Mereka tak ragu memakai baju gamis terusan seperti Farid Hardja dan ada juga yang memakai peci haji seperti kita.
Ada juga orang dari negara-negara pecahan Uni Soviet yang tampil berjanggut, bergamis, dan tasbih yang ditenteng ke mana-mana. Kulit mereka putih, janggutnya juga putih, pakaiannya pun rata-rata putih. Senyumnya selalu merekah saat kita berpapasan dengan mereka.
Tak lupa, orang Indonesia, Malaysia, dan muslim sekitar Asia Tenggara, yang penampilannya bervariasi. Ada yang berpakaian gamis seperti orang Saudi, ada berbaju koko panjang seperti orang Pakistan. Sisanya seperti saya, memakai sarung kotak-kotak, batik bercap agen travel umrah, peci hitam, dan tas selempang yang melingkar di dada.
ADVERTISEMENT
Melihat orang-orang itu berkumpul di satu tempat, tanpa ada yang meributkan aliran, mazhab, organisasi kemasyarakatan, apalagi urusan politik, sungguh mengharukan. Saya amati satu per satu wajah mereka, terutama ketika sedang beribadah, sungguh tenang, jauh dari pikiran konflik apalagi perang.
Ada seorang kakek yang saya duga datang dari salah satu negara pecahan Uni Soviet mendadak kesulitan untuk salat berdiri. Tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya bergerak untuk mencari kursi, semua membantu sang kakek tanpa bertanya siapa dia, dari mana asal usulnya, dan apa aliran Islamnya.
Tindakan kemanusiaan tidak memerlukan penerjemah. Dia datang sendiri dari hati.
Di sinilah saya merasa, jargon ‘kita adalah saudara’ menemukan maknanya. Selama ini, jargon itu hanya muncul dalam forum-forum diskusi, wacana, pendidikan, dan teori. Tapi di sini, semua benar-benar terjadi.
ADVERTISEMENT
Setidaknya sampai saya diuji…
Saat sedang asyik menikmati perasaan bersaudara ini, tiba-tiba saya dihampiri oleh seorang pria. Dia mengaku sebagai bagian dari suku Rohingya. Bahasa Indonesianya fasih. Wajahnya memang mirip orang Asia Selatan. Badannya kurus, tatapan matanya tajam, dan di tangannya menggenggam uang ratusan ribu rupiah.
“Saya sedang umrah bersama ibu saya dari Rohingya. Saya kehabisan uang. Bisakah kamu membantu saya? Boleh dalam rupiah juga,” katanya setelah membuka obrolan dengan salam.
Hati kecil saya mengatakan, orang ini bohong. Saya sudah sering mendengar cerita-cerita tentang orang yang memanfaatkan isu Rohingya, isu Palestina, untuk mendapatkan keuntungan dari jemaah Indonesia di Saudi.
Tapi saya sedang terlena oleh rasa persaudaraan. Orang ini adalah saudara saya. Kalau pun dia bohong, hal terburuk yang mungkin terjadi adalah duitnya dipakai untuk makan atau kebutuhan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Tak mungkin dipakai judi, karena ini kota suci. Urusan bohong, biarlah itu jadi tanggung jawabnya sendiri di mata Tuhan, apalagi beraksi di Masjid Nabawi, mungkin siksanya bisa lebih pedih. Akhirnya saya tetap memberinya uang.
Lalu di hari yang sama, ujian itu datang lagi. Kisahnya hampir serupa. Ada orang yang mengaku Palestina dan sedang belajar di Saudi, namun kekurangan uang untuk membeli buku. Sorenya, saya didatangi lagi, orang yang mengaku dari Palestina juga yang datang bersama ibunya untuk umrah namun kehabisan uang. Mirip dengan cerita Rohingya sebelumnya, mereka meminta uang rupiah.
Di sini saya menduga, Tuhan mengingatkan saya untuk tidak membabi buta percaya dengan saudara. Secukupnya saja. Tetap perlu pasang kuda-kuda, waspada, dan curiga.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, semoga kita bisa terhindar dari penipu yang memanfaatkan emosi kita, ayah yang tega memperkosa anaknya, pacar yang tega memutilasi kepala pacarnya, dan kakak-kakak yang tega menyiksa adiknya hanya karena asmara. Aamiin.