COVID-19 'Lumpuhkan' Keluarga Kami

Rachmi Yamini
ASN Pemprov. DKI Jakarta - Pustakawan - Pecinta Damai
Konten dari Pengguna
13 Juli 2021 14:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmi Yamini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Covid-19 (foto: Unspash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Covid-19 (foto: Unspash.com)
ADVERTISEMENT
Covid-19 menghampiri kami sekeluarga, berturut-turut, tanpa basa-basi, tanpa perlu menunggu waktu lama. Semuanya bermula saat kakak perempuan saya memperoleh hasil PCR Positif setelah mengeluhkan sakit tenggorokan dan demam sehari sebelumnya. Keputusan untuk tes PCR pun dilakukan karena mendapatkan informasi bahwa salah seorang temannya yang dia temui beberapa hari lalu positif Covid-19. Kami, yang tinggal serumah dengannya, ikut melakukan tes PCR setelah melaporkan hal ini kepada pihak RT untuk ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
Selama menunggu hasil PCR kami sekeluarga, kakak saya melakukan isolasi mandiri di rumah. Sebenarnya dia berharap dapat menjalani isolasi mandiri di rumah sakit ataupun hotel karena tidak ingin membebani keluarga di rumah. Tapi kami tidak berhasil mendapatkan kamar isolasi mandiri di rumah sakit. Seluruh rumah sakit yang kami hubungi secara mandiri mengatakan bahwa kamar isolasi saat itu penuh.
Akhirnya, berbekal antibiotik dan obat-obatan dari Puskesmas setempat, thermogun, oximeter, vitamin C, vitamin D, & zinc, kakak menjalani isolasi mandiri dengan pantauan tenaga kesehatan Puskesmas setempat. Tidak lupa madu, berjemur di bawah matahari, menguapi hidung menggunakan air panas, dan makanan bergizi untuk menjaga imun tubuh.
Hasil PCR suaminya, Ibu, pengasuh bayi, dan saya sendiri negatif. Tujuh hari kemudian, hasil PCR asisten rumah tangga kami yang tiap harinya datang pagi dan pulang sore, positif Covid-19. Di hari yang sama saat mendengar hasil tersebut, Ibu saya mengeluhkan demam, meriang, batuk, dan pilek.
ADVERTISEMENT
Kondisinya naik dan turun sehingga mengurungkan niatnya untuk melakukan PCR. Tiga hari kemudian, ketika Ibu merasa demam, meriang, dan sakit tenggorokan, beliau memutuskan untuk mau tes PCR lagi. Kali ini hasilnya positif Covid-19. Saya pun langsung melakukan tes PCR dan hasilnya negatif.
Kami sekeluarga sempat khawatir, meskipun gejala yang dirasakan Ibu dianggap gejala ringan, tetapi Ibu memiliki beberapa penyakit bawaan, yaitu jantung koroner, diabetes, dan hipertensi. Kami berharap Ibu bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik dibandingkan isolasi mandiri di rumah.
Pihak Puskesmas setempat menggambarkan bahwa dengan situasi dan kondisi saat ini sangat kecil kemungkinan mendapatkan rujukan isolasi mandiri di Rumah Sakit dengan gejala ringan seperti Ibu. Kecuali mendesak dan penyakit sudah berbahaya bagi pasien, tidak mungkin rumah sakit bisa menerima pasien di mana saat ini antrean pasien dengan kondisi lebih buruk dari Ibu sudah sangat banyak. Wisma Atlet pun sudah penuh.
ADVERTISEMENT
Rumah Susun dan hotel berbayar mandiri hanya menerima isolasi mandiri untuk pasien positif Covid tanpa gejala atau OTG. Baiklah, kami tetap menunggu rujukan itu meskipun tidak berharap banyak. Kami berusaha untuk memenuhi kebutuhan Ibu saat isolasi mandiri di rumah.
Setelah informasi tentang adanya varian baru virus Corona, seperti yang kita ketahui juga dari berita di media massa angka positif Covid semakin banyak. Angka pasien meninggal meningkat. Ketersediaan tempat tidur di Rumah Sakit baik untuk penyakit Covid maupun non Covid semakin menipis.
Ruang isolasi mandiri baik di Wisma Atlet, Rumah Susun, Hotel, dan Rumah Sakit pun semakin berkurang. Dari kamar, saya mendengar berita pengumuman tetangga yang meninggal setiap hari, bahkan bisa lebih dari sekali dalam sehari. Suara ambulans hilir mudik pun terdengar pagi, siang, sore, dan malam, tiada henti.
ADVERTISEMENT
Apotek sekitar rumah dipenuhi oleh pasien atau keluarga yang mengantre untuk membeli obat. Farmasi yang membuka jasa swab test baik antigen maupun PCR pun penuh. Hasil PCR yang biasanya bisa didapat dalam waktu 10 jam, kali ini harus menunggu sedikit lebih lama dengan pemakluman “sedang penuh.”
Lima hari berselang, kakak saya sudah menyelesaikan isolasi mandirinya dan kembali bersama kami. Pada hari yang sama, pengasuh anak bayi di rumah saya mengeluhkan batuk dan demam. Dan benar saja, hasilnya PCR-nya positif. Si Mbak pun isolasi mandiri di rumah dengan kamar terpisah. Sampai sini, saya masih berpikiran positif bahwa saya kuat. Kami kuat menghadapi ini. Tidak apa-apa, semua akan terlewati.
Hingga akhirnya, tiga hari kemudian, saya merasakan sakit tenggorokan, lemas, dan pegal di seluruh tubuh. Rasa pusingnya tidak seberapa, tetapi rasa gatal di tenggorokan menciptakan batuk yang sangat mengganggu. Tidak menunggu lama, hasil PCR menunjukkan dalam tubuh saya terdeteksi virus Corona.
ADVERTISEMENT
Selama ini saya merasa sudah menjalankan protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah dan tenaga kesehatan. Saya mengkonsumsi vitamin dan menjaga asupan makan secara teratur. Saya juga sudah mendapatkan vaksin secara penuh.
Akan tetapi Covid-19 tetap dapat melumpuhkan keluarga kami. Tanpa terkecuali, termasuk keponakan saya yang baru berusia 6,5 bulan. Klaster keluarga ini memaksa kami melakukan isolasi mandiri sekeluarga.
Seorang teman yang juga survivor Covid-19 sempat berseloroh “semua akan Covid pada waktunya.” Tidak, saya berharap tidak ada lagi yang menderita sakit karena Covid-19. Saya berharap tidak ada yang kehilangan anggota keluarganya karena Covid-19.
Saya berharap penularan Covid-19 dapat segera berkurang dan terhenti. Jika pemikiran “semua akan Covid pada waktunya” sudah tertanam di dalam kepala, perilaku lengah hingga abai terhadap protokol kesehatan sangat mungkin terjadi.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada banyak sekali pertanyaan dan pernyataan yang membuat gatal dan akal ini rasanya tidak sanggup berpikir lebih jauh. Kenapa sampai berlebihan pakai masker di rumah atau pakai masker dobel di luar rumah? Sudah vaksin Corona, kok masih bisa positif Covid-19? Mobil jenazah hanya mondar-mandir tidak membawa jenazah. Dibayar berapa hingga mau di”covid”kan?
Klaster keluarga (gambar: Unsplash.com)
Iya, kami adalah keluarga yang di”covid”kan. Kami masih merasa beruntung karena beberapa di antara kami sudah mendapatkan vaksinasi sehingga mungkin ini alasan kenapa gejala yang kami alami tergolong ringan. Dan kami berkomitmen untuk mendapatkan vaksin bagi seluruh anggota keluarga kami, tidak terkecuali. Karena gejala yang tergolong ringan tersebut kami tidak perlu mengantre di IGD rumah sakit, berebut tabung oksigen, hingga kehilangan anggota keluarga kami. Dan kami berkomitmen untuk terus menjalankan protokol kesehatan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap waktu, dari kamar saya melakukan isolasi mandiri saya bisa mendengar suara sirine hilir mudik. Saya memang tidak berkesempatan untuk mengintip ke dalam mobil bersirine itu, apakah ada mayat atau pasien yang dibawanya atau hanya kosong belaka. Tetapi saya cukup meyakini, tidak ada yang cukup diuntungkan dari musibah dunia ini hingga terpikir untuk membuat rekayasa dan berkonspirasi sedemikian rupa.
Justru, lihatlah para keluarga yang dirugikan dari sikap abai segelintir orang yang tidak memakai masker karena merasa haknya sebagai manusia. Atau lihatlah dampak dari informasi sesat tanpa dalil dan dasar ilmu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Para tenaga kesehatan yang memperjuangkan nyawa orang lain dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Para keluarga yang menanti anggota keluarganya untuk pulang ke rumah dalam keadaan sehat, hingga para keluarga yang berduka karena kehilangan materi hingga nyawa. Apakah itu tidak cukup untuk mengetuk hati nurani? Apakah seseorang harus di”covid”kan untuk sadar bahwa Covid-19 ini nyata? Apakah seseorang harus merasa kehilangan untuk berempati terhadap orang lain yang berduka?
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya semua akan kembali kepada kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Seperti halnya agama, pemilihan presiden dan gubernur, partai politik, atau klub sepak bola. Mereka yang percaya akan melakukan segala sesuatu sesuai dengan kepercayaannya.
Begitu pula dengan mereka yang tidak percaya. Asalkan semua dilakukan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, serta tidak merugikan apalagi membahayakan orang lain, seharusnya hal tersebut tidak menjadi masalah.
Tetapi bila keyakinan dan perilaku kita sudah merugikan banyak orang, membahayakan nyawa orang lain, dan tidak merasa ada yang salah darinya, lantas sebutan apa yang pantas baginya? Sekali lagi, semua keputusan ada di tangan kita sendiri, keyakinan maupun perilaku kita, kitalah yang akan mempertanggungjawabkannya.