Kenapa Muslimah Diperdebatkan?

Rachmi Yamini
ASN Pemprov. DKI Jakarta - Pustakawan - Pecinta Damai
Konten dari Pengguna
14 Februari 2022 11:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmi Yamini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi muslimah. Sumber: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi muslimah. Sumber: Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Muslimah yang Diperdebatkan.” Judul buku karya Kalis Mardiasih ini sangat menarik karena menimbulkan banyak pertanyaan bagi saya; kenapa muslimah diperdebatkan, apa yang membuatnya diperdebatkan, dan siapa yang memperdebatkannya?
ADVERTISEMENT
Saya, sebagai seorang perempuan yang terlahir dengan agama Islam, yang mengaku sebagai seorang muslimah, merasa bingung dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Lalu, bagaimana saya menyikapi perdebatan ini?
Kita sepakati, bahwa Islam sangat memuliakan wanita, muslimah. Semua hal yang berkaitan dengannya, semua hal yang mengatur cara hidupnya, mulai dari ujung kepala hingga kaki, mulai dari membuka mata hingga menutup mata, menjadi perdebatan. Tentang bagaimana pendidikannya, ibadahnya, caranya berpakaian, sikapnya, cara bicaranya, caranya bersosialisasi, kodratnya, tugas mulianya sebagai anak, istri, dan ibu, hingga caranya memilih dan mengambil keputusan dalam hidupnya. Semua karena Islam sangat memuliakan muslimah.
Namun, perdebatan dimulai ketika pada praktiknya, orang-orang Islam dianggap sama sekali tidak memuliakan muslimah, justru dirasa merendahkan, menginjak-injak, memasung, dan mengebiri apa-apa yang dianggap hak dan kebebasan muslimah. Nilai seorang muslimah pun kemudian dipertanyakan. Seberapa berharga di mata yang lain? Perdebatan ini bahkan sudah dimulai sejak seorang muslimah dilahirkan hingga dewasa dan menua, oleh para muslimah itu sendiri dan orang-orang yang mengaku membela hak muslimah.
ADVERTISEMENT
Satu pihak merasa sudah melakukan semua sesuai dengan yang disyariatkan. Pihak lain merasa ada yang salah dengan penafsiran dan penerapan mereka terhadap syariat sehingga ada pihak yang merasa dirugikan. Belum lagi muslimah, atau wanita secara umum, sering kali dijadikan kambing hitam atas musibah yang terjadi pada diri mereka dengan dalih karena mereka tidak atau belum menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar. Maka musibah itu adalah harga yang perlu dibayar.
Membaca buku ini sejak di halaman pertama, saya merasakan kemarahan yang meluap-luap dari pemilihan kata dan kalimat yang penuh dengan nada sinis. Penghakiman, label, dan tuntutan yang ditujukan bagi seorang perempuan muslim seakan tidak ada habisnya. Saya sendiri bisa mengerti dari mana datangnya kemarahan itu.
ADVERTISEMENT
Membaca buku ini, entah mengapa ingin sekali saya bilang “Islam yang saya kenal tidak seperti ini.” Mungkin karena pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang dimiliki penulis jauh lebih banyak dibanding saya. Meskipun di beberapa poin, saya mengangguk mengiyakan pendapatnya.
Membaca buku ini membuat saya merasa lelah, energi saya terasa diserap habis. Menurut saya, ini bukan tipe buku yang menyenangkan untuk melepas penat. Bukan tipe buku yang menghibur dan melegakan pikiran. Karena perasaan dan pikiran justru dibuat dan dipaksa untuk bekerja, ikut merasa dan berpikir perdebatan yang ada dan diada-adakan. Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk menghabiskan buku ini. Saya paksa untuk terus menyelesaikannya meskipun rasanya saya ingin sekali menyerah sejak awal.
ADVERTISEMENT
Nabi Muhammad memang telah mengatakan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya 1 di antaranya yang selamat. Kita tidak pernah tahu siapa golongan yang selamat tersebut.
Sampai di sini, saya menyadari bahwa perbedaan tanpa akhir ini melahirkan perdebatan hingga permusuhan yang didasari oleh rasa diri paling tahu dan paling benar. Ketika kita merasa kitalah yang paling benar dan menganggap yang berbeda dari kita adalah salah, mulailah mengotak-kotakkan Islam, muslim, dan muslimah. Marah terhadap hal ini, tetapi tanpa sadar mengotak-kotakkan diri sendiri agar terlepas dari mereka yang berbeda darinya.
Pada akhirnya semua kembali pada keyakinan dan kepercayaannya masing-masing, tentang Islam. Kita berusaha menjalankan agama sesuai dengan yang kita yakini, meski kita bersumber pada Kitab Suci dan teladan yang sama.
ADVERTISEMENT