Tentang Pelecehan Seksual

Rachmi Yamini
ASN Pemprov. DKI Jakarta - Pustakawan - Pecinta Damai
Konten dari Pengguna
18 Juni 2021 18:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rachmi Yamini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stop Pelecehan Seksual (Ilustrasi dari Unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Stop Pelecehan Seksual (Ilustrasi dari Unsplash.com)
ADVERTISEMENT
Sebuah perilaku dapat dikatakan sebagai pelecehan seksual apabila membuat seseorang merasa terganggu, tidak nyaman, takut, terancam, terintimidasi, direndahkan, atau kecil hati. Tindakan pelecehan seksual mencakup elemen lisan, non-lisan, visual, dan fisik. Pelecehan seksual ini bisa terjadi kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
ADVERTISEMENT
Saya, saat belasan atau puluhan tahun yang lalu mungkin akan bertanya, "apa itu pelecehan seksual"? Yang saya tahu adalah, ketika teringat kembali beberapa peristiwa itu, bulu kuduk seketika bergidik, ada perasaan jijik bercampur malu. Jijik dan malu pada diri sendiri. Perasaan bersalah pada diri sendiri yang membiarkan peristiwa-peristiwa tersebut terjadi tanpa adanya perlawanan dari diri. Pertanyaan kenapa seketika memunculkan penyesalan tiada akhir. Pengandaian atas respons yang tidak saya lakukan membuat saya semakin dalam terpuruk menyalahkan diri sendiri. Dan ingatan-ingatan ini, perasaan ini, yang saya harap dapat saya sembuhkan. Setidaknya, ketika mengingat lagi peristiwa-peristiwa itu, saya tidak lagi merasa terluka dan sakit.
Saya ingat, ketika naik mobil angkot yang biasa saya naiki menuju ke Pasar Minggu, duduk dua orang lelaki paruh baya di ujung tempat duduk bagian belakang, saling berhadapan sedang mengobrol sambil tertawa. Saya yang memilih untuk duduk di pinggir samping pintu angkot, entah kenapa berpikir untuk menjaga jarak dari mereka. Saya duduk di bangku SMA saat itu, memakai kemeja dan rok panjang, ingin mendaftarkan diri masuk ke D3 Perumahsakitan Universitas Indonesia. Kakak kedua saya menunggu di Pasar Minggu untuk mengantarkan ke Salemba, kampus UI.
ADVERTISEMENT
Setengah perjalanan, saat duduk bersandar, saya merasa ada yang bergerak-gerak di punggung saya. Benar saja, tangan lelaki paruh baya itu mendarat di punggung saya dan digerak-gerakkan seraya menggelitik. Saya lihat mukanya yang tersenyum menyeringai menjijikkan ke arah saya sambil menaikkan alisnya. Lelaki di hadapannya pun tertawa-tawa kecil. Saya pun langsung merasa jijik pada tubuh saya sendiri. Tapi hanya bisa terdiam. Membeku. Kemudian mendekatkan diri ke pintu, menjauhi sandaran bangku dan menjauhi tangan lelaki brengsek itu. Selebihnya, yang saya ingat, Pasar Minggu terasa sangat jauh dan perjalanan terasa lama sekali. Ketika saya turun, saya tidak bisa melupakan suara laki-laki yang tertawa kegirangan.
Lama setelah peristiwa itu, sebagai “anak baru” di sebuah instansi, saya cukup kaget dengan kebiasaan para pegawainya. Bercandaan yang tidak pernah lepas dari hal-hal vulgar yang buat saya sangat tidak nyaman mendengarnya. Belum lagi tangan usil para pegawai lelaki paruh baya yang senang sekali menggamit lengan atau menyolek pegawai perempuan saat mengobrol. Saya rasa, tidak ada yang nyaman dengan peristiwa semacam itu.
ADVERTISEMENT
Pernah sekali, seorang atasan laki-laki tiba-tiba memanggil dari belakang sambil mendaratkan tangannya di bahu saya yang sedang duduk di depan komputer. Kaget. Kesal. Mau apa dia? Haruskah begitu? Seketika saya menoleh, menggeser kursi, dan menghindarkan tubuh menjauhi si Bapak.
Beberapa kali saya mencoba untuk menunjukkan sikap tidak suka diperlakukan seperti itu. Saya juga bercerita dan meminta dukungan ke teman di lingkungan yang sama, baik perempuan maupun laki-laki yang saya percayai. Saya mencoba mencari validasi atas apa yang saya rasakan. Ketika menceritakan hal ini, keduanya pun berseloroh “bercanda kali” atau “dia kan emang gitu orangnya”. Lantas, apakah perasaan tidak nyaman yang saya rasakan ini berlebihan dan tidak seharusnya saya rasakan? Tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, saya bercerita kepada teman perempuan lainnya dan dia menyarankan saya untuk menegur orang yang bersangkutan secara langsung.
ADVERTISEMENT
Ada kalanya saya mencoba mengungkapkannya secara langsung kepada si pelaku. Ketika saya menyatakan ketidaksukaan saya atas perlakukan yang mereka lakukan kepada saya, saya mendapati beberapa respons yang berbeda. Ada yang meminta maaf, kemudian menjauh. Ada yang meminta maaf, kemudian mengulanginya lagi di kemudian hari. Ada pula yang menjawab dengan kata-kata yang lebih menyakitkan dan merendahkan.
“Yaelah, begini doang”
“Yaelah, dipegang doang”
“Lebay lu”
“Sok jual mahal lu”
“Si A aja gapapa gw giniin”
Mendengar jawaban seperti itu, rasanya saya tidak lagi dianggap sebagai manusia yang memiliki rasa dan hati. Rasanya diri saya tidak lagi berharga. Jawaban tersebut tidak lebih baik dari perlakuan yang pernah saya terima dari rekan kerja saat dia mengirimkan gambar tidak senonoh kepada saya melalui pesan Whatsapp. Ketika membuka pesan darinya, seketika tangan saya bergetar, jantung saya berdegup kencang. Rasa malu, takut, kesal, marah, dan jijik bercampur jadi satu.
ADVERTISEMENT
Apa yang saya lakukan hingga pantas diperlakukan seperti itu? Apa yang ada di pikirannya? Serendah apa dia berpikir tentang saya? Apa maksudnya? Semua pertanyaan itu saya simpan dalam diam. Saya tidak perlu jawabannya dari siapa pun. Yang saya tahu, saya langsung menghapus pesannya, memblokir nomornya, menghapus namanya dari daftar kontak saya, dan selamanya menghindari dia. Saya berdoa agar kami tidak lagi dipertemukan dalam kesempatan apa pun. Cukup. Saya maafkan dia tapi tidak ada lagi ruang untuk dia di hidup saya.
Yang saya ketahui dan sadari akhirnya adalah bahwa standar “tidak apa-apa” setiap orang berbeda. Begitu juga standar “ada apa-apa”. Bagi beberapa orang, mungkin sentuhan, ucapan tertentu, atau interaksi fisik tertentu adalah hal yang biasa saat berbincang dan bercanda dengan rekan kerja. Tapi bagi orang lain, perlakuan yang terlihat sama mungkin menimbulkan rasa tidak nyaman, tidak aman, mengganggu, bahkan mengancam jiwa dan raga.
ADVERTISEMENT
Apa pun bentuk perlakuan tersebut, pelecehan tetap pelecehan. Bagaimana pun perasaan buruk yang ditimbulkan dari pelecehan, perasaan tersebut adalah valid, tanpa perlu validasi dari siapa pun. Bantuan dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan untuk menghindari dampak buruk dan berkepanjangan dari perasaan tersebut. Setidaknya dengarkan dan berikan ruang yang nyaman untuk mencurahkan perasaan, bukan malah menyudutkan dan meremehkan. Setidaknya itu yang saya pikir saya butuhkan pada saat itu.
Ilustrasi dari Unsplash.com