Ole, Belajarlah dari Sir Alex Ferguson!

Raden Muhammad Wisnu Permana
Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana. Akun ini dikelola oleh beberapa admin. Silakan follow akun Twitternya di @wisnu93 dan akun Instagramnya di @Rwisnu93
Konten dari Pengguna
1 Mei 2019 14:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Muhammad Wisnu Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sir Alex Ferguson
zoom-in-whitePerbesar
Sir Alex Ferguson
ADVERTISEMENT
Musim yang berat tengah dijalani oleh Manchester United. Setelah memecat Jose Mourinho sebelum paruh musim ini, “bulan madu” bersasama Ole Gunnar Solksjaer, pemain Setan Merah yang menjadi pahlawan saat klub ini meraih Treble Winner di musim 1998/1999, ternyata sudah berakhir.
ADVERTISEMENT
Sempat meraih deretan kemenangan beruntut di berbagai kompetisi saat awal menahkodai Setan Merah, saat ini Solksjaer “memecahkan rekor” sebanyak 51 kali kebobolan dalam Liga Primer Inggris. Rekor yang sangat buruk, apalagi, masih ada kemungkinan angka ini masih dapat bertambah di sisa pertandingan Setan Merah pada kompetisi liga domestik.
Tentu saja, ini bukan salah Solksjaer, maupun manajer manapun yang menangani Setan Merah. Sebelumnya, baik Jose Mourinho, Louis van Gaal, hingga David Moyes pun tidak salah sepenuhnya dalam menahkodai klub ini. Klub ini hanya terlalu terlena setelah 25 tahun nyaman dinahkodai Sir Alex Ferguson yang telah memberikan banyak gelar prestisius ada klub ini.
Klub ini hanya terlalu merasa masih menjadi Manchester United yang dulu. Klub ini merasa nyaman dengan status sebagai salah satu klub terkaya dan salah satu klub dengan nilai brand terkuat di dunia saat ini. Mereka tidak lagi berjuang seperti dulu, yang mati-matian mengejar Liverpool yang kala itu sebagai pemegang gelar terbanyak juara Liga Primer Inggris dengan torehan 18 gelar juara.
ADVERTISEMENT
Belajarlah dari Ferguson!
Saya pikir, siapapun manajernya, sekalipun Zinedine Zidane atau Pep Guardiola sekalipun, tidak akan mampu memberikan gelar prestisius pada klub ini jika tidak belajar dari apa yang Ferguson lakukan saat menahkodai klub ini sebanyak 25 tahun.
15 tahun yang lalu, yakni 15 Februari 2003, sebuah insiden yang sempat "menggemparkan" dunia sepakbola. Yakni insiden pelempar sepatu yang dilakukan Sir Alex Ferguson. Setelah Manchester United kalah 2-0 dari Arsenal di putaran kelima Piala FA di Old Trafford, Fergie menunjukkan rasa marahnya terhadap penampilan skuatnya itu dengan melempar sepatu milik Ole Gunnar Solskjaer yang melayang dan mengenai pelipis David Beckham sehingga membuatnya terluka.
Dalam bukunya, Fergie memang sengaja melayangkan sepatu ke arah Beckham. Fergie mengakui dirinya bertengkar dengan Beckham setelah mengkritik penampilan mantan anak asuhnya itu usai kekalahan dari Arsenal. “Tidak Ada Pemain yang Lebih Besar Daripada Klubnya”, ujar Fergie.
ADVERTISEMENT
Insiden sepatu terbang itu terjadi karena Beckham merasa sudah menjadi bintang Setan Merah dan merasa memiliki peran yang lebih besar dari Ferguson. Tidak mau kalah dari gelandang asal Inggris tersebut, Ferguson memutuskan untuk melepasnya ke Real Madrid pada 2003 dan mengantongi 25 juta pound sterling dari hasil penjualannya.
"Ketika seorang pemain Manchester United merasa dirinya lebih baik dari sang manajer, maka ia harus keluar. David Beckham merasa dirinya lebih besar dari Alex Ferguson. Itulah lonceng kematian buat dia," demikian tulis Fergie dalam bukunya. Dan 13 tahun setelah laga itu, David Beckham mengakui bahwa ia sadar tentang apa yang telah Ferguson lakukan saat itu. Bahwa pemain tidak boleh merasa lebih besar dari klubnya.
ADVERTISEMENT
Apa yang Ferguson lakukan sangatlah sederhana. Dia punya batasan yang jelas untuk para pemainnya. Pemain yang sering cedera, yang alay di media sosial, yang merasa lebih tenar di luar lapangan, yang berani bicara pada media di luar izin manajer, hingga yang paling parah, yang tidak ada usaha mati-matian untuk mengejar bola di lapangan saat pertandingan berlangsung, akan langsung Fergsuon buang dari squad utama Setan Merah. Sesederhana itu.
Kemerosotan Moral pemain Manchester United
Para pemain Setan Merah seperti sudah kehilangan gairah dalam mengejar kemenangan dalam setiap pertandingan yang dilakoninya, apalagi untuk meraih gelar juara. Kenapa? Menurut saya, gaji yang terlalu tinggi dan kurangnya persaingan dalam squad Setan Merah adalah penyebabnya. Tingkat persaingan yang sangat rendah sehingga para pemain merasa, tanpa kerja keras pun pasti dipilih dalam starting eleven dan digaji besar pula.
ADVERTISEMENT
Pemain-pemain superstar Setan Merah seperti Alexis Sanchez dan Paul Pogba, saya rasa tidak pantas mengenakan jersey Manchester United. Jiwa dan semangat mereka jauh berbeda dengan Roy Keane, apalagi Eric Cantona yang akan mati-matian membela tim ini apapun yang terjadi. Di luar dan di dalam lapangan. Mereka hanya bermain untuk gaji yang besar, bukan untuk klub ini. Kontribusinya untuk klub ini apa coba? Cuma makan gaji buta.
Itulah faktor yang membuat ruang ganti Setan Merah saat ini kurang kondusif. Ada kesenjangan sosial diantara para pemain superstar yang gabut, tidak ada kontribusinya bagi tim tapi bergaji besar, dengan pemain lainnya.
Tidak ada pemain seperti Nemanja Vidic, Rio Ferdinand, bahkan Eric Cantona yang berani ngotot merebut bola saat lawan menguasai bola, bahkan beberapa kali terlibat baku hantam dengan tim rival. Tidak ada lagi hal seperti itu di darah squad Setan merah saat ini.
ADVERTISEMENT
Bagaimana jika manajer Manchester saat ini bukan Solksjaer ? Misalnya Roy Keane, Eric Cantona atau Gennaro Gattuso? Atau Zlatan Ibrahimovic? Saya jamin Kepa akan meninggalkan Wembley dengan ditandu ambulans dan langsung menuju rumah sakit terdekat! Tendangan kungfu dari Eric Cantona tepat di kepala Paul Pogba, dihajar hingga patah tulang oleh Gattuso, atau tentangan TaeKwonDo oleh Ibrahimovic, tentu tidak bisa saya bayangkan.
Sedangkan, tim-tim papan tengah seperti sepert Watford dan Everton, mereka bisa bermain lepas dan lebih ngotot, apalagi kalo ketemu Big Four. Mereka tidak pernah bermain loyo. Sedangkan Manchester United tadi malam, benar-benar loyo, dan keteteran lawan tim papan tengah.
Bagi saya sendiri, mainkan saja para pemain yang tidak ada kontribusinya sama sekali bagi klub ini, dengan catatan, musim depan harus hengkang dari Old Traffod. Sesederhana itu saja sebetulnya, sesuai cara Ferguson yang 25 tahun telah menahkodai klub ini. Siapapun manajernya kelak, harus belajar dari Ferguson.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, setahu saya ranah urus mengurus gaji ini bukanlah ranah seorang manajer manajer. Board, terutama keluarga Glazer tidak peduli dengan hal-hal teknis persepakbolaan ini asalkan pemasukan tim ini terus besar dan brand tim ini terus stabil. Manajer membutuhkan pemain belakang yang bagus, yang dikasih malah pemain sayap macam Alexis Sanchez karena alasan ekonomi. Itulah salah satu kendala mengapa, bagi siapun yang menahkodai Manchester United, akan selalu gagal.
Apa yang terjadi pada Mourinho, terjadi pada Solksjaer
Saya analogikan, saat rezim Jose Mourinho, para pemain seperti Paul Pogba yang tidak menyukai Mourinho, sengaja bermain jelek agar Mourinho didepak dari kursi manajer. Mungkin Paul Pogba berkata seperti ini pada pemain di belakang Mourinho, “Udah, gak usah menang kita. Main aja. Yang penting enjoy dan digaji.”
ADVERTISEMENT
Terbukti, setelah Mourinho hengkang dan dinahkodai Solksjaer, permainan mereka sedikit meningkat dengan kemenangan beruntun pada berbagai kompetisi yang dilakoni. Sekarang? Kekalahan beruntun. Kasihan Solskaer. Legenda Setan Merah ini sebenarnya baik. Dia selalu positif, optimistis dan memotivasi para pemain. Sayang, para pemainnya tidak ada kebanggaan menggunakan jersey klub sepakbola terbaik dunia.
Mau tidak mau, Solksjaer harus belajar dari Sir Alex Ferguson agar musim depan Manchester United dapat kembali menjadi tim yang diperhitungkan oleh dunia sepakbola. Dia harus tegas kepada pemain, apapun yang terjadi. Pedoman Fergsuon sangat sederhana, seperti yang saya sebutkan di atas. Solksjaer juga harus mampu menekan board, terutama keluarga Glazer agar memberikan apa yang klub ini butuhkan. Dari nilai transfer yang besar, hingga pemain yang dibutuhkan oleh tim ini, dan segala aspek teknis yang diperlukan oleh tim ini yang dirasa perlu oleh Solksjaer, alih-alih memberikan apa yang tidak dibutuhkan oleh tim ini.
ADVERTISEMENT