Ibu menyusui

Salah Siapa Ibu Gagal Menyusui?

Raden Prisya
🤲🏻 Mindful Living & Parenting 🍃 Mental Health ✨ Self-Healing Journey
3 Agustus 2019 13:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah Siapa Ibu Gagal Menyusui?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bicara world breastfeeding week, mungkin tahun-tahun lalu rasanya akan sangat melankolis. Sangat penuh haru, penuh air mata, penuh drama, dan juga perjuangan fisik dan mental di kala berjuang menyusui. Namun, setelah 3 tahun berlalu setelah 4 tahun lamanya menyusui kedua anak laki-laki saya (mereka kini berusia 7 dan 5 tahun), saya akhirnya memahami bahwa menyusui tak hanya sekadar ‘berhasil’ atau ‘tidak berhasil’.
ADVERTISEMENT
Bukan cuma sekadar ‘bisa’ atau ‘tidak bisa’. Bukan sekadar ‘ASI eksklusif’ atau ‘anak sufor’. Yang akhirnya selalu berujung pada perang self-esteem sesama ibu atau bahkan Mom-shaming.
Sebelum teman-teman lanjutkan membaca, let me give you a little disclaimer semua kebaikan-kebaikan menyusui yang kita dengar dari portal dan juga talk show parenting itu memang benar adanya. Namun, selalu pahami bahwa setiap kebaikan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan memiliki arti dan makna.
Bahwa kalau memang anak-anak kita belum berkesempatan mendapat ASI Eksklusif (seperti saya sendiri, yang memiliki seorang ibu dengan ASI yang dahulu tidak pernah bertahan lebih dari 30 hari—dalam pengalamannya memiliki 3 anak), then it’s okay, saya percaya bahwa semua hal terjadi untuk suatu alasan. So, I’m happy for you no matter what. Dan bagi yang sudah melewati masa ASI dengan nyaman, I’m happy for you too!
ADVERTISEMENT
Kembali ke judul kita, ya. Kalau Ibu gagal menyusui, salah siapa?
Sesungguhnya, ini adalah sebuah topik yang begitu sensitif. Dan saya berharap bisa menjawabnya dengan konkret saja—salah ibunya. Salah bapaknya. Salah para nenek. Salah susternya. Salah dokternya. Salah anaknya juga enggak mau nyusu, mungkin?
Padahal kalau dipikir-pikir, sudah ada banyak sekali guideline dan aturan yang kita lihat di berbagai portal, cerita, maupun media. Tapi di mata saya, ada banyak sekali micro-step di antara langkah-langkah yang kita dapatkan tersebut. Belum lagi skenario yang tak terlihat di awal—banyaknya keadaan yang tak terduga dan tak disangka akan terjadi.
Di mana sang Ibu mengalami kondisi ‘kejar setoran’ antara membangun dirinya sendiri dari kondisi hormonal yang tak menentu, ‘deadline’ menaikkan berat badan anak, sampai mencoba memberi citra orang tua baru yang ‘mampu’ kepada suami, mertua, maupun anggota keluarga lainnya.
ADVERTISEMENT
Lebih tricky-nya lagi, tidak ada solusi yang fixed untuk semua orang. Mengatasi tantangan di 2 minggu pertama menyusui bisa terlihat seperti rumus yang harus kita temukan sendiri, dengan pengisian variabel yang kita isi sendiri, dan nikmati hasilnya sendiri.
Saya masih ingat drama menyusui saya di kala melahirkan anak pertama. Anak saya waktu itu tounge-tied; payudara saya luka parah sekali dan baru sembuh di bulan ke-4. Suami saya berkali-kali saya minta pulang dari kantor.
Masukan dari ibu dan mertua tak pernah saya dengar karena minimnya self-esteem yang saya miliki—rasanya saya hanya ingin menunjukkan bahwa saya mampu. Namun, pengalaman membuat saya belajar. Dan pilihan saya untuk tetap menyusui, memberi saya kekuatan untuk maju dan stick to the plan.
Saya dan kedua anak saya yang kini sudah beranjak besar, Athar (7 tahun) dan Bhamas (5 tahun).
Dulu, ada masanya saya fanatik dengan yang namanya menyusui. Harus, harus, dan harus. Tidak ada koma, cuma ada tanda titik. Tapi jujur saja, keinginan saya untuk menjadi ibu yang mampu menyusui secara sempurna pernah membuat saya stress dan unhappy berat!
ADVERTISEMENT
Di luar waktu saya menyusui, saya kerap menyiapkan diri untuk merasakan sakit yang luar biasa—sesuatu yang tidak saya sesali sama sekali karena akhirnya berhasil menyusui anak-anak saya hingga 2 tahun—namun sejujurnya, I kinda wish that I could be happier those days.
Saya cukup berandai-andai, akan seperti apa saya apabila lebih baik kepada diri saya sendiri. Lebih sayang kepada diri sendiri. Saya berharap dulu bisa membiarkan diri saya menghela nafas beristirahat… dan meyakinkan diri saya bahwa ketidaksempurnaan itu tidak apa adanya, karena ibu terbaik bagi bayi adalah ibu yang bahagia.
Bayi baru lahir adalah makhluk yang paling peka. Tanpa kemampuan bicara, melihat, dan mendengar penuh, yang mereka rasakan adalah hati. Amunisi pertama yang membuat mereka mampu merasakan kasih sayang. Dan saat ibu mereka tak punya rasa bahagia, itu pula yang mereka rasakan.
Ibu menyusui Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Apakah Ibu yang menyusui eksklusif dengan hati depresi terhitung sebagai berhasil menyusui?
Apakah Ibu yang menyusui dengan tandeman susu formula, namun dengan hati bahagia sentosa terhitung Ibu yang gagal menyusui?
Tentu saja, apabila kita mampu menyusui dengan hati bahagia itu adalah sebuah karunia yang sangat patut disyukuri. Tapi hambatan itu sungguh terjadi adanya. Berjuang, tentu perlu menjadi hal pertama yang kita lakukan. Tapi satu hal yang saya ingatkan, be kind to yourself. You have a right to be happy. Kita semua sudah tahu manfaat menyusui--jadikanlah itu penyemangat yang membuat kita semangat dan penuh harapan; bukan stress, terintimidasi, atau bahkan depresi.
ADVERTISEMENT
Dan akhirnya di paragraf terakhir tulisan ini, saya akan menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. “Ibu gagal menyusui, salah siapa?”
Well my answer is “Buat apa menyalahkan? Semua hal yang sudah terjadi, pasti memiliki alasan yang baik. Apapun yang telah terjadi, hargai diri kita. Hargai setiap proses yang terjadi. Karena, selalu ada waktu untuk menjadi orang tua yang lebih baik.”
___
Follow me on Instagram: @radenprisya
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten