Gender Dan Politik: Menguak Ketimpangan Kekuasaan Dan Peluang Partisipasi

Rafi Pramudana Ariya
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatul Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum program studi Hukum Tata Negara
Konten dari Pengguna
5 Juni 2024 14:52 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafi Pramudana Ariya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by August de Richelieu: https://www.pexels.com/photo/female-lawyers-in-an-office-looking-at-a-computer-4427552/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by August de Richelieu: https://www.pexels.com/photo/female-lawyers-in-an-office-looking-at-a-computer-4427552/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gender dan politik adalah topik penting dalam memahami dinamika kekuasaan dan partisipasi dalam masyarakat. Meskipun telah terjadi kemajuan signifikan dalam meningkatkan kesetaraan gender, ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan masih jelas terlihat di berbagai bidang, terutama dalam politik.
ADVERTISEMENT
Perempuan masih sangat kurang terwakili dalam banyak parlemen di seluruh dunia. Menurut data Inter-Parliamentary Union (IPU), pada 2022, perempuan hanya menduduki sekitar 25% dari seluruh kursi parlemen secara global. Ini menunjukkan bahwa keputusan politik masih didominasi oleh laki-laki, meskipun perempuan merupakan separuh dari populasi dunia.
Posisi kepemimpinan dalam politik, seperti presiden, perdana menteri, dan menteri, juga didominasi oleh laki-laki. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk diskriminasi gender, stereotip gender, dan hambatan struktural seperti kurangnya dukungan untuk perempuan dalam politik.
Norma dan nilai budaya yang patriarkal seringkali menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Persepsi bahwa politik adalah "dunia laki-laki" dan peran tradisional perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh anak menghalangi perempuan untuk terlibat aktif dalam politik.
ADVERTISEMENT
Perempuan sering menghadapi hambatan ekonomi yang lebih besar daripada laki-laki. Kurangnya akses ke sumber daya keuangan, pendidikan yang lebih rendah, dan tanggung jawab domestik yang lebih besar menghalangi perempuan untuk terjun ke dunia politik yang memerlukan sumber daya yang cukup besar.
Sistem politik dan hukum seringkali tidak mendukung partisipasi perempuan. Misalnya, sistem pemilihan yang tidak proporsional dan kurangnya kuota gender dapat menghambat keterlibatan perempuan dalam politik. Selain itu, intimidasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam politik adalah isu serius yang membatasi partisipasi mereka.
Banyak negara telah menerapkan kebijakan kuota gender untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Kebijakan ini memerlukan sejumlah minimum kursi parlemen yang harus diisi oleh perempuan. Misalnya, Rwanda telah mencapai representasi perempuan sebesar 61% di parlemen berkat kebijakan kuota gender yang ketat.
ADVERTISEMENT
Program pelatihan dan pemberdayaan bagi perempuan calon politisi adalah langkah penting. Pelatihan ini mencakup keterampilan kepemimpinan, strategi kampanye, dan pengetahuan tentang sistem politik. Organisasi non-pemerintah (LSM) dan lembaga internasional seringkali menyediakan pelatihan ini.
Mengubah norma sosial dan budaya yang menghambat partisipasi perempuan adalah upaya jangka panjang. Ini bisa dicapai melalui pendidikan, kampanye kesadaran, dan dukungan dari media untuk mempromosikan peran perempuan dalam politik.
Pemerintah perlu mengadopsi kebijakan dan undang-undang yang mendukung kesetaraan gender dalam politik. Ini termasuk perlindungan hukum terhadap kekerasan dan intimidasi terhadap perempuan dalam politik, serta dukungan untuk keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bagi politisi perempuan.
Meskipun terdapat berbagai hambatan, peluang untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik tetap ada dan terus berkembang. Upaya bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional sangat penting untuk menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif dan setara gender. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa suara perempuan terdengar dan dihargai dalam proses pengambilan keputusan politik, yang pada akhirnya akan mengarah pada masyarakat yang lebih adil dan seimbang.
ADVERTISEMENT