news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ancaman Defisit Demokrasi di Pilpres 2019

Rafyq Panjaitan
Wajar Tak Sempurna Hanya Manusia Biasa. User story pikiran pribadi. Genggam Dunia Teman!
Konten dari Pengguna
22 April 2018 11:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rafyq Panjaitan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemungutan suara ulang di TPS 01 Gambir (Foto: Aprilio Akbar/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Pemungutan suara ulang di TPS 01 Gambir (Foto: Aprilio Akbar/Antara)
ADVERTISEMENT
Kalaulah 2019 hanya dua paslon. Kemudian, terburuk lagi rematch Jokowi-Prabowo. Betapa rakyat merugi, memilih dengan keterpaksaan.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan nasional sangat krusial menentukan arah bangsa dan negara, apakah jalan di tempat, mundur ke belakang atau melaju pesat.
Ada penyakit dalam sistem dan para elit politik kita. Dari sistem pemilu, syarat presidential treshold 20 persen kursi di Parlemen atau 25 persen suara sah nasional menjadi batu sandungan yang nyata.
MK mengatakan bahwa pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu tidak diskriminatif kendati menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai ambang batas pemilu presiden 2019.
Saat bersua di DPR, Pakar hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa UU Pemilu menurutnya memang sudah didesain untuk skenario calon tunggal.
"Kalau dari awal ini (UU Pemilu) skenario calon tunggal, dan mengulang 2014. Kalau calon tunggal saya dukung kampanye kotak kosong," kata Yusril di DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, (9/4)
ADVERTISEMENT
Presidential treshold ini memang politik tingkat tinggi. 'Goalnya' memang diperuntukkan bagi petahana. Tujuannya memang agar petahana mulus berjalan di karpet merah melanjutkan tahta. Tak bisa dimungkiri petahana masih rawan dikalahkan jika tak dikunci lewat presidential treshold.
Pesona petahana sulit dilawan, kekuasaan yang semerbak dijalankan selama periode pertama: menggaet dukungan partai politik sebanyak-banyaknya, bagi-bagi kue secara merata. Dengan begitu partai oposisi tak akan berdaya mengalahkan petahana.
Hal ini terbukti dari koalisi merah putih (KMP), hanya PKS-Gerindra yang 'istiqomah' di garisnya. Selebihnya tergiur dengan lezatnya kue kekuasaan.
Yang paling ironis bisa dilihat dari tweet Ketum PPP, Romahurmuziy, Sabtu (21/4). Romy sapaan akrabnya menyebut salah satu penyebab orang yang nyinyir terhadap pemerintahan akibat tak kebagian kue.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini datang dari seorang Ketua Umum partai politik. Begini kah kelas Ketua Partai Politik di Indonesia? Wallahua'lam, silahkan interpretasikan sesuka anda.
Selain kecewa dengan sistem pemilu kita. Kita harus melayangkan tamparan kepada partai politik. Akibat kegagalan fungsi kaderisasinya, rakyat dihadapkan dengan keterpaksaan untuk memilih.
Di dalam buku biru kitab masyhur Miriam Budiardjo, kalau ingatan masih kuat, fungsi partai politik sejatinya ada empat: sosialisasi politik, komunikasi politik, manajemen konflik serta rekrutmen politik.
Partai politik hari ini cenderung hanya menjalankan fungsi keempat saja. Lupa, bahwa peran partai politik begitu esensial dalam pendidikan politik.
Pendek kata, kalau untuk kader partai politik sendiri fungsi partai politik tidak berjalan. Maka, wajar saja jika kita pesimistis melihat kondisi partai politik saat ini. Belum lagi oligarki elite, politik dinasti dan cengkraman para pemodal. Ah, sudahlah.
ADVERTISEMENT
Seluruh temuan elektabilitas lembaga survei, juga simulasi pemilu, menunjukkan keunggulan Jokowi. Temuan survei itu tentu menjadi pertimbangan politisi untuk merancang rencana, sikap politik, menyerang atau bertahan dan sebagainya.
Bukti bahwa partai politik telah gagal, hingga saat ini tak ada nama yang begitu kuat dalam bursa Pilpres 2019 selain Jokowi-Prabowo. Semua elite politik tak ada yang berani secara terang-terangan membentuk poros baru selain dari kedua itu. Sialnya, para elite malah berebut menjadi orang nomor dua.
Bukan rahasia, partai politik kita memang organisasi yang sangat pragmatis. Partai politik kita masih mengimani apa yang dikatakan Ilmuan politik AS, Harold Dwight Laswell: Politics is who get what, when and how (politik adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana).
ADVERTISEMENT
Pantaskah kita berharap ada persaingan yang sehat dan mendidik di Pilpres 2019? Untuk demokrasi substansial, ini perlu. Karena kedaulatan rakyat harus tercermin dengan pergolakan pemikiran rakyat dan ini hanya bisa dihasilkan dengan banyaknya opsi memilih pemimpin.
Para elite politik seharusnya berpikir ke depan bagaimana menghidupkan budaya debat ilmiah di peradaban politik kita, bukan melulu mengamankan kas partai di setiap momen pemilu.
Melihat perilaku politik yang ada saat ini tak sepenuhnya salah jika kita khawatir, jangan sampai rakyat dijebak dengan pilihan tak berkualitas. Harapan yang membuat kita bertahan, menjelang 4-10 agustus 2018, kita berharap lahir penantang-penantang tangguh, pejuang peradaban politik Indonesia. Semoga!